BAB II FALSAFAH KEPEMIMPINAN JAWA
A. Falsafah Kepemimpinan Politik Sumur dan Sungai
Sumur dan sungai jelas amat popular di telinga kita. Keduanya berkaitan dengan air. Metafor ini, ternyata terkait dengan falsafah kepemimpinan Jawa.
Sikap kekuasaan feodalistik Jawa terlihat pada cita-cita hidup yang menghormati kepahlawanan. Pahlawan dianggap memiliki kekuatan superior. Hal ini pun tidak
salah, sebab penghargaan terhadap leluhur itu hal yang tidak dapat dilupakan dalam ranah kehidupan orang Jawa. Dengan falsafah sumur dan sungai, terlihat
bagaimana orang Jawa menjalankan kepemimpinan. Penghargaan terhadap pahlawan, sebenarnya mengikuti falsafah sungai, artinya banyak memperhatikan
pihak lain.
Orang Jawa sering menggunakan falsafah sumur dan sungai. Sumur adalah sumber mata air yang jernih. Yang menarik, dari penggali sumur, selalu berprinsip
sedalam-dalamnya, yang penting ada air bersih. Dia biasanya tidak memperhatikan kanan kiri yang kekurangan air. Penggali sumur juga tidak mau
tahu, apakah airnya itu bermanfaat bagi orang banyak atau tidak.Umumnya, sumur di Jawa, hanya berguna bagi lngkungan keluarga terbatas.
Yang paling menyusahkan, falsafah sumur itu sering digelitik dengan ungkapan Jawa: sumur lumaku tinimba. Artinya,sumur itu dapat berfungsi ketika
ditimba airnya. Air sumur akan diam jika tidak ditimba. Jika pemimpin Jawa menerapkan falsafah sumur, berarti selalu ingin dilayani. Pimpinan yang minta
dilayani bawahan, jelas menyusahkan. Sudah sepantasnya seorang pimpinan itu melayani rakyat, bukn sebaliknya. Berbeda dengan politik model sungai. Falsafah
yang dijunjung tinggi oleh sungai adalah kegunaan bagi orang lain. Air sungai jelas banyak brmanfaat bagi banyak orang. Air sungai juga bertugas membawa
sampah-sampah hingga masuk ke lautan. Politik sungnai sungguh emiliki nilai lebih, dibanding sumur yang hanya mengandalkan kedalam dan kejernihan.
Sungai, masih sering dicabang-cabang ke selokan dan parit-parit hingga menunjukkan kebermanfaatan air yang luar biasa. Jadi, kepemimpinan yang
berfalsafah sungai pun harus mengalir terus-menerus, air berganti terus ibaratnya.
Biarpun konteks sumur dan sungai terkesan tradisional, namun kalau berkiblat pada wawasan antropologi politik dan antropologi budaya Geertz
1992:169 kepemimpinan modern pun sering memanfaatkan drama -drama politik masa kuna lampau. Bahkan, menurut dia masa lalu adalah “sebuah ember abu-
abu” yang dapat muncul di dunia kontemporer. Maksudnya, kepemimpinan masa lalu pun masih banyak yang relevan jika diterapkan di era sekarang. Maka, sudah
jelas bahwa politik sumur dan sungai memang ada plus minusnya. Sumur memang ditanggung bersih airnya, tidak terkontaminasi. Adapun sungai jelas
sering kotor, namun manfaatnya luar biasa. Politik sumur sering hanya mementingkn pribadi. Kebutuhan pribadi dan keluarga atau kroninya yang
diutamakan. Kini jelas sekali bahwa politik sumur sedang mewabah di negeri ini. Poliitik itu ada yang menyatakan keras, sering ada sentiment pribadi. Orang yang
semula kawan, dalam politik bisa menjadi lawan. Dari detik ke detik, menit ke
menit, ketika kepemimpinan sudah bercampur politik akan semakin panas. Tidak ada yang kekal dalam peristiwa politik tingkat apa pun. Politik, kekuasaan,dan
kepemimpinan adalah tida hal yang saling terkait. Ketiganya dapat memoles suasana hingga melahirkan isme-isme baru.
Pemimpin Jawa itu sebenarnya kaya strategi politik. Sri Sultan HB IX, adalah sosok pemimpin Jawa yang ahli politik dalam memimpin bangsa. Selain itu, dia
juga ahli dalam laku kejawen. Kepahaman pimpinan tentang politik sejak era kerajaan, sudah teruji, hingga mampu menundung dan menendang penjajah,
Pemimpin Jawa tahu kalau penjajah itu keras dan feodalistik, sehin gga membutuhkan strategi politik untuk memukul mundur para pejajah. Politik
semacam ini ternyata bermanfaat bagi bangsa Indonesia umumnya. Buktinya dengan politik sungai, mengalir deras, mengedepankan kegunaan, orang Jawa
dapat menikmati kebebasan.
Kepemimpinan yang dipandang bagus apabila secara politik bersifat demokratis. Demokratisasi adalah pancaran falsafah politik sungai. Sungai itu ada
sumber, dari hulu menuju ke hilir, tidak pernah berat sebelah, semua yang membutuhkan dialiri sungai. Demokratisasi Jawa sebenarnya tergambar pada
wawasan musyawarah. Musyawarah adalah seperti aliran sungai, yang mengutamakan kepentingan bersama. Dalam musyawarah terdapat ajaran
ngemong sesama, artinya tolerensi terhadap sesame. Politik memang kadang- kadang menyakitkan sesame. Tolerensi adalah wujud falsafah kepemimpinan
sungai. Sungai senantiasa mengeluarkan sumber mata air, yang tidak pernah ada henti-hentinya,
Namun, ketika politik Jawa berubah menjadi politik sumur, terlebih lagi kalau salah satu pihak sudah tersandung masalah hukum, seringkali politik berubah
menjadi saling
ejek dan
mencemooh. Akibatnya
sering hilang
nilai demokratisasinya. Padahal, salah satu dari pemain kunci di dalam proses
demokratisasi adalah para politisi. Politik sumur sering sudah mementingkan kebutuhan pribadi atu golongan partai, hingga kesejahteraan rakyat terganggu.
Sumur tidak pernah mengalir sendiri dalam kejernihan, kecuali limbah sumur.
Ketika politikus mau mengendalikan diri, tidak otoriter, melainkan selalu menjunjung tinggi kehormatan orang lain, jadilah demokrasi. Demokrasi
merupakan pantulan konsep air sungai, yang dalam budaya Jawa disebut mbanyu mili, artinya mengalir tiada henti. Sebenarnya kita tidak membicarakan hal ini
secara terpisah di dalam naskah, dan ada alasan yang bagus untuk itu. Seorang politikus di bawah Soeharto bukanlah politikus pada umumnya, dalam pengertian
demokratis, mendapatkan prestise dan membawa aspirasi rakyat, bertindak sebagai perantara kekuasaan antara rakyat dan penguasa negara, dan
mengadakan tawar-menawar dengan pendukung kekuasaan yang lain dan di dalam pikirannya terdapat kepentingan yang terbaik dari pemilihnya. Orang -orang
yang menjalankan negara di bawah Soeharto merupakan birokrat patrimonial, menjadi klien negara seperti yang telah dibicarakan di atas.
Politik Jawa biasanya tetap berpegang teguh pada nilai sopan santun. Sekecil apa pun, politik Jawa harus bermanfaat bagi orang lain. Itulah getah dari
sebuah aliran sungai, yang sangat berbeda jauh dengan politik sumur. Politik yang berbau seperti orang mengeduk sumur, sedalam apa pun, sejernih apa pun
hanya bermanfaat secara terbatas. Penggali sumurpun tidak mau menengok apa yang terjadi di akanan kiri, yang penting mendapatkan mata air. Berbeda dengan
politik bergaya sungai, sedikit banyak tentu banyak bermanfaat bagi orang lain. Sungai memiliki mobilisasi yang hebat biarpun tidak terlalu jernih seperti sumur.
Yang lebih hebat ketika sungai itu mengalir dalam kondisi jernih, berasal dari sumber mata air asli. Sungguh akan lebih bermanfaat apabila sungai itu mengalir
jernih, menyehatkan, dan indah dipandang. B. Falsafah Kepemimpinan Prasaja dan Manjing Ajur-ajer
Kepemimpinan prasaja sederhana adalah suatu falsafah hidup. Pemimpin yang memegang teguh kepemimpinan prasaja diduga tidak akan menyengsarakan rakyat.
Paling tidak, dengan hidup sederhana, tentu tidak ada niat untuk korupsi ketika memimpin bangsa. Selain sikap sederhana, tanpa keinginan bermacam-macam neka-
neka, pemimpin perlu bersikap ajur-ajer. Artinya, pemimpin mampu melakukan treatment, untuk menjadi rakyat. Ajur-ajer akan mendorong pimpinan merasa memiliki
rakyat, sehingga ingin melindungi dan mensejahterakan.
Kepemimpinan memang membutuhkan hati. Kalau diperhatikan, kepemimpinan Jokowi, sungguh dapat meyakinkan hati rakyat Jakarta. Dia memimpin dengan hati,
dengan gaya blusukan. Blusukan merupakan strategi ampuh untuk merebut hati rakyat. Bahkan ada pendapat dengan gaya blusukan, rakyat menjadi semakin dekat. Seolah-
olah pimpinan dapat “menjadi” rakyat, mampu merasakan keinginan dan perasaan rakyat. Inilah kepemimpinan yang mampu manjing ajur ajer.
Blusukan di era para raja disebut bercengkerama. Mulkhan 2919:274-275 membenarkan bahwa bersengkerama, berdialog, dan berkomunikasi dengan warga
agar setiap warga dapat curhat kepada pemimpin, merupakan wujud pemimpin kultural. Jokowi memang memang memiliki magnit kepemimpinan, dalam hal cengkerama
blusukan. Dia mampu menakhlukkan hati rakyat, dengan gaya yang lugu polos dan sederhana. Bahkan ada yang mengusulkan agar dia mencalonkan atau dicalonkan
menjadi presiden RI pada Pemilu mendatang. Sampai saat ini sudah terbit belasan buku yang mengupas Jokowi. Semenjak memenangkan pilkada DKI Jakarta, Jokowi
menjadi sebuah magnet yang memiliki daya tarik besar bagi Indonesia. Ia sosok pemimpin yang memiliki khariamatik, dekat dengan rakyat kecil, hidup sederhana.
Keadaan inilah yang menaikkan daya pilih rakyat. Oleh karena, rakyat sudah lama merasa dibuat resah dengan sosok kepemimpinan yang tidak merakyat.
Sebagai orang Jawa, Jokowi benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai falsafah hidup Jawa dalam kehidupannya, terlebih dalam menduduki kursi
kepemimpinan. Ki Nardjoko Soeseno, yang menulis buku “Falsafah Jawa Soeharto Jokowi menyatakan bahwa kedua pemimpin tersebut tergolong pemimpin yang
kharismatik. Berbeda dengan buku-buku lain, dalam buku ini Nardjoko mengupas jati diri Jokowi sebagai orang Jawa yang mampu menjadi sosok pemimpin ideal terlebih
lagi jika dibandingkan dengan Soeharto, presiden RI ke-2.
Nardjoko menghadirkan buku ini di tengah-tengah zaman dimana sulit kita temukan teladan pemimpin sejati. Menurut dia, gaya kepemimpinan Soeharto dan
Jokowi patut dicontoh semua pemimpin di negeri ini. Saat ini Jokowi tidak hanya dicintai rakyat Jakarta dan Solo, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu Soeharto,