Budaya Politik: Ewuh Pekewuh

D. Budaya Politik: Menyenangkan Atasan

Hardjowirogo 1989:13-14 memberikan tanda deskripsi zaman edan adalah terletak pada sikap masyarakat Jawa yang ‘senang ‘ menyenangkan hati atasan. Sikap ini sebagai buntut dari tradisi kekuasaan feodalistik. Hal ini memang pernah kabarnya disugestikan oleh R Ng Ranggawarsita bahwa: “Sing sapa ngerti ing panuju, prasat pagere wesi.” Barangsiapa yang bagaimana menuju hati seseorang, bagaikan ia berpagar besi. Maksud dari sugesti ini, mestinya bagi bawahan yang selalu bisa melegakan atasan, dengan sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih sendika dhawuh, kalau perlu mengelabuhi kesalahan atasan, dan sebagainya – ia akan diselamatkan. Hal tersebut pernah dikritik oleh Eki Syahrudin, anggota Komisi VII DPR RI tahun, tanggal 17 Desember 1997 di Taman Mini Indonesia, yang menyatakan bahwa budaya daerah Jawa yang cenderung bersifat kratonik itu sudah kurang layak sebagai modal menyongsong abad XXI nanti. Budaya stratik itu harus dirombak, diganti dengan budaya demokratik. Pasalnya, budaya kratonik itu justru menghambat kemajuan dan kreativitas bangsa. Budaya semacam ini, sering ‘anti kritik’, melainkan lebih ke arah ‘ABS’ asal bapak senang dan jilatisme. Implementasi budaya Jawa yang kraton life dan terlalu hirarkhis itu, menghendaki bawahan harus patuh. Bawahan harus bisa ngapurancang, tutup mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih, jika pinjam istilah Darmanta Jatman. Budaya ini akan ‘mematikan’ prestasi. Kurang memupuk jiwa untuk berkembang secara wajar. Kemungkinan besar, gaya politik semacam itu memang disaat orde baru semakin menjadi-jadi, karena kekuasaan adalah sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Kekuasaan sebagai upaya untuk mencapai tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat, yang jika mengalami perlawanan, dapat didukung dengan sanksi negatif. Pandangan Parson ini cenderng melihat kekuasaan sebagai wewenang authority yaitu keinginan mencapai tujuan yang terkesan ada “paksaan”. Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Parson. Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat dan timur Indonesia-Jawa memang dimungkinkan ada perbedaan. Hal tersebut telah dikaui oleh Anderson 1972:5-8 yang menjelaskan bahwa kekuasaan dalam pola pikir budaya Jawa berbeda dengan kekuasaan di Barat. Di Jawa kekuasaan memiliki ciri-ciri, yaitu: 1 kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada batu, kayu, api dan sebagainya. Kekuasaan adal ah “daya” yang merupakan kaitan paham animisme desa dengan paham panteisme metafisik perkotaan. 2 kekuasaan itu homogin, kekuasaan itu sama sumbernya, dan 3 jumlah kekuasaan di alam semesta selalu tetap. Alam semesta tidak bertambah luas dan sempit. Pendek kata, kekuasaan Jawa sangat terkait dengan konsep kasekten. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh kewibawaan seorang pimpinan. Cara memperoleh kekuasaan ini, menurut Ali 1986:30 sering dilakukan melalui semedi. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa orang Jawa sering neges kersaning hyang ingkang murbeng pandulu. Maksudnya, mencoba melihat apa yang dikehendaki oleh Tuhan yang Maha mengetahui. Orang Jawa sadar bahwa kedudukan seseorang, termasuk raja, dalam tata dunia ditentukan oleh faktor esensial-imanen yang disebut titah atau pesthi atau takdir atau juga wahyu. Karena itu tidak mengherankan jika dalam sejarah Jawa dikenal adanya gerakan raja idaman atau gerakan Ratu Adil seperti halnya zaman Sultan Agung yang menjadi penguasa tunggal dalam beberapa wilayah seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Pandangan ini mengakui bahwa konsep kekuasaan Jawa selalu tidak dapat meninggalkan unsur-unsur kosmis, sehingga di Yogyakarta pun terdapat mitologi Ratu Kidul yang melegitimasi kekuasaan Panembahan Senapati. Kegiatan semacam ini, juga telah banyak ditiru pada saat rezim Soeharto, yaitu dengan membangun permandian di Clereng, Kulon Progo. Pemandian yang disertai tempat pertemuan strategis peristirahatan ini, menurut penduduk setempat, Dhanu Priyo prabowo ada gua Semar yang sering dipakai Soeharto mengadakan pertemuan dengan pimpinan negara sahabat. Mungkin, hal ini dipengaruhi oleh pandangan hidup Soeharto yang selalu mengidentikan dirinya sebagai tokoh Semar. Dari pendapat ini, kita tidak bisa selalu membenarkannya, sebab tidak seluruh konsep kekuasaan Jawa, terutama setelah periode kerajaan, harus bersumber pada kasekten. Mungkin juga konsep kekuasaan Jawa, juga sudah berubah menjadi ‘kasekten’ dalam bentuk lain. Kekuasaan Jawa tetap memiliki sifat kepemimpinan universal yang bermutu. Hal ini dapat dilihat melalui buku-buku kesusasteraan Jawa. Dalam konteks ini, seorang raja dalam kepemimpinan tradisional harus memiliki syarat adil adil tan pilih sih, berhati murah berbudi; ber dari luber dan bijaksana wicaksana. Ketiga syarat itu merupakan syarat universal pemimpin dimana pun. Negara tradisional memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini seperti halnya konsep kekuasaan Jawa dapat dilihat dari konteks kerajaan Mataram yang menerapkan konsep keagungbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathara, bau dhendha nyakrawati sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia Kamajaya 1995:204. Dalam kaitan ini raja berhak mengambil tindakan apa saja dan dengan cara bagaimana saja terhadap kerajaannya, segala isi yang ada di dalamnya, termasuk hidup manusia. Karena itu kalau raja menginginkan sesuatu, dengan mudah ia akan memerintahkan untuk mengambilnya. Kalau yang merasa berhak atas sesuatu itu mempertahankannya, diperangilah dia. Dalam keadaan semacam itu, orang menjadi takut kepada raja dan hanya tunduk. Kalau berbicara harus menyembah terlebih dahulu. Berkali-kali ia berbicara berarti berkali-kali pula harus menyembah. Namun demikian, dalam konsep kekuasaan Jawa, kenyataan itu harus diimbangi dengan sikap berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil terhadap siapa saja, atau adil dan penuh kasih sayang. Raja yang baik harus bisa menjaga keseimbangan antara kewenangan yang besar dengn kewajiban yang besar juga. Seperti halnya janturan ki dalang wayang kulit, tugas raja adalah menjaga agar negara tata titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung pasir wukir lohjinawi gemah ripah karta tur raharja negara yang aman tenteram, terkenal karena kewibawaannya besar, luas wilayahnya ditandai dengan pegunungan dan laut sebagai wilayahnya, di depannya sawah luas, sungai selalu mengalir. Sistem politik kerajaan sering disebut sistem politik patrimonial atau monarchy. Dalam hal ini raja adalah penguasa dan pengayom seperti halnya bapak dalam sebuah keluarga. Karena itu hubungan pengayom dengan pengayem yang dilindungi seperti halnya hubungan patron dengan client. Oleh karena dalam politik bapak yang sangat menentukan, maka semua orang berusaha agar diterima sebagai anak buah. Pada gilirannya anak buah sering mengucapkan: ndherek ngarsa dalem terserah kehendak raja. Sistem kekuasaan patrimonial adalah diturunkan dari sosiolog Weber, pada suatu saat akan terjadi transisi ke arah kewenangan birokratik. Tipe budaya politik demikian dinamakan budaya affirmatif yaitu budaya isitana yang selalu menyetujui terhadap apa yang diputuskan. Berbeda dengan budaya critical yaitu sebagai pengritik jalannya roda pemerintahan. Budaya critical ini, rupanya memang tidak berjalan atau beku. Itulah sebabnya pemerintahan negara kita selalu diwarnai budaya politik affirmatif yang memonopoli budaya critical. Dari pendapat itu memang telah banyak dirasakan pada masa orde baru, yaitu manakala ada rakyat yang bersuara mengritik pemerintah, harus dicekal, dipenjara. Dengan adanya napol dan tapol yang telah bebas atau yang masih mendekam di penjara, seperti Sri Bintang Pamungkas, Moktar Pahpahan, Budiman Sujatmika, Xanana Gusmou, dll. -- adalah refleksi budaya politik orde baru yang kurang sehat. Sementara Mempen Harmoko ketika masih menjabat, pernah mengucapkan lafal Al Fatikah keliru saja, pada saat membuka Festival Dalang di Surakarta, cukup menghadap Presiden Soeharto, sudah bebas dari ancaman hukum. Budaya politik itu, jelas belum mencerminkan masyarakat civil society, masyarakat madani – namun baru sampai organization society. Budaya birokrasi yang ambaudhendha, serba kuasa, hanyalah demokrasi semu. Birokrasi ini adalah sebuah kekeliruan besar dari manipulasi budaya Jawa yang adiluhung.