Wewenang dalam Kepemimpinan Jawa

Hubungan sebab akibat itulah yang menganjurkan bahwa pimpinan menggunakan wewenangnya. Wewenang selalu bersifat pribasih dikelola secara samar-samar. Terlebih kepudi. Namun demikian kewenangan pimpinan sering dibatasi oleh aturan dan undang-undang. Di Jawa wewenang seorang pimpinan diatur oleh aturan. Setiap orang boleh melakukan klarifikasi jika hasil kepemimpinannya kurang sempurna.

E. Tiga Kategori Pemimpin Jawa

Pemimpin Jawa memang berbeda dengan yang lain. Setiap pimpinan memiliki gaya tersendiri. Setiap kondisi bawahan berbeda pun membutuhkan gaya yang berlainan. Clarker Barker, 2005:342 menyebutkan bahwa gaya adalah kondisi pemaknaan budaya. Gaya membentuk sebuah identitas baru. Setiap gaya kepemimpinan memiliki nilai kategori yang berbeda. Kategori itu juga tergantung dengan kondisi yang dipimpin. Kategori kepemimpinan Jawa terbagi menjadi tiga hal, yakni, tingkatan 1 nistha 2 madya, dan 3 utama hina-tengah-utama. Tentu saja yang paling berkualitas adalah tingkat utama. Keutamaan pemimpin Jawa akan banyak disukai oleh rakyat. Manakala pimpinan setiap elemen bangsa memahami keutamaan menjadi pemimpin, dia tidak akan jatuh pada kenistaan. Pimpinan nistha adalah yang paling banyak dibenci orang. Merebaknya kasus KKN di kalangan pemimpin, mungkin sekali karena mereka kurang tak paham tiga tingkatan kepemimpinan. Korupsi adalah barometer apakah pimpinan Jawa termasuk nistha ataukan utama. Belum lagi ditambah dengan persoalan grativikasi seks, yang sering melilit para pejabat negara. Kalau ada yang tahu, mungkin pimpinan kita baru sampai tingkatan madya tengah. Bahkan, mungkin sekali ada yang sengaja memilih tingkatan nistha hina. Jika yang terakhir ini yang menjadi pilihan, akibatnya tak jarang di antara pemimpin kita yang berurusan dengan hukum. Orang Jawa memang memiliki falfasah hidup madya tengah. Namun dalam hal kepemimpinan, yang paling hebat tentu yang terkategorikan utama. Pimpinan utama jauh lebih membahagiakan rakyat. Pimpinan tersebut akan disanjung-sanjung, dihormati, dan dijaga keselamatannya oleh rakyat. Ketika pimpinan tersebut turun ke bawah, meninjau ke desa-desa, yang termasuk utama tidak perlu dipagar betis, rakyat akan menjaga dengan sendirinya. Berbeda pimpinan yang jatuh ke lembah kenistaan, keamanan dirinya akan selalu terganggu. Setiap keluar rumah, pimpinan tersebut banyak mengundang masalah. Menurut Babad Tanah Jawa, ada tiga kriteria seorang pemimpin bangsa dan negara. Yakni, mereka yang tergolong pemimpin nistha, madya, utama. Pertama, pemimpin yang tergolong nistha, adalah mereka gila terhadap harta kekayaan melikan arta. Pemimpin semacam ini, biasanya ingin menyunat hak-hak kekayaan rakyat dengan aneka dalih dan cara. Harta kekayaan rakyat diatur sedemikian rupa, sehingga tampak legal, kemudian dikuasai semaunya sendiri. Biasanya, pemimpin nistha tersebut banyak dalih julig dan alibi betubi-tubi. Dia pandai bersilat lidah, seakan-akan bisa merebut hati rakyat, padahal ada pamrih. Pemimpin tipe ini hanya akan menyengsarakan rakyat terus-menerus. Dari sini, dapat kita teropong jauh – bagaimana pemimpin bangsa yang sedang bergulir ini. Bukankah, di antara para pimpinan memang ada yang sengaja atau tidak berusaha memakan harta rakyat? Bagaimana dengan kasus BLBI, Bulogate I dan II, yang telah “menelan” elit politik. Cukup jelas. Berarti, ada kan pemimpin yang nistha? Silahkan dipertimbangkan, kalau kasus Akbar Tandjung yang berlarut-larut. Tarik ulur pembentukan Pansus Bulogate II, yang ditolak mentah-mentah partai Golkar – jelas sekali mengindikasikan ketercelaan pemimpin kita. Hal itu artinya di antara para pimpinan kita belum ada yang berani sebagai satria pinandhita, artinya mau legawa mengakui kesalahan. Yang ada, justru mencari pembenaran dengan dalih yang bertubi-tubi. Umumnya, pimpinan kita lalu menganggap rakyat masih bodoh seperti ketika orde baru. Kedua, pemimpin tergolong madya, bercirikan dua hal. Yakni, 1 pemimpin yang mau memberikan sebagian rejekinya kepada rakyat. Pemberian disertai niat tulus dan keikhlasan. Apalagi, kalau ada rakyat yang minta. Pimpinan madya, tak berusaha menggemukkan badan sendiri sementara rakyat di kanan kiri jatuh miskin tujuh turunan. Pemimpin madya, mau memberi sebagian harta tetapi tak boros. 2 pimpinan yang mampu menghukum rakyat yang berbuat dosa dengan sikap adil. Dalam menghukum tetap memperhatikan HAM nganggo kira-kira lan watara. Jadi, pemimpin madya di negeri ini mustinya bersikap tak membedakan warga negara di depan hukum. Kalau masih ada orang yang kebal hukum dengan pura-pura sakit, sakit tak bisa disembuhkan, jelas tak adil. Mengapa tak dari dulu-dulu, ketika sehat diadili – kalau tak ingin mempermainkan hukum. Ketiga, pemimpin yang tergolong utama memiliki ciri bersikap berbudi bawaleksana. Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara iklas lahir batin. Mereka juga tak mengharapkan apa-apa dari rakyat, kecuali hanya pengabdian yang sesuai kewajibannya. Kecuali itu, mereka juga memiliki sikap teguh janji. Apa yang dijanjikan harus ditepati. Terlebih lagi janji kepada Tuhan, melalui sumpah jabatan. Jika sebelum menjadi pimpinan, pada saat kampanye mereka mengobral janji muluk-muluk – kini saatnya pimpinan kita membuktikan. Jika Megawati ingin ke derajat pemimpin utama, tentu pemberantasan KKN tak setengah hati. Kalau Mega mau mempelopori “hidup sederhana” dan membenahi birokrasi di negeri ini yang berbelit-belit, seperti diusulkan Barnas Barisan Nasional – memang oke, dia termasuk tingkat utama kepemimpinan. Berarti, demokrasi telah mengalir, tak tersumbat. Dengan demikian, sudah sepantasnya para pimpinan bangsa berlomba meraih derajat utama. Orang yang mampu mencapai derajat utama, akan terpilih terus dalam suksesi kepemimpinan. Berbeda dengan pimpinan yang hina, akan menjadi sampah masyarakat. Ketika mereka mati pun kadang-kadang rakyat tidak mau mengubur jenazahnya. Oleh sebab itu, setiap pimpinan mau tidak mau harus berupaya mencapai keutamaan.

BAB II FALSAFAH KEPEMIMPINAN JAWA

A. Falsafah Kepemimpinan Politik Sumur dan Sungai

Sumur dan sungai jelas amat popular di telinga kita. Keduanya berkaitan dengan air. Metafor ini, ternyata terkait dengan falsafah kepemimpinan Jawa. Sikap kekuasaan feodalistik Jawa terlihat pada cita-cita hidup yang menghormati kepahlawanan. Pahlawan dianggap memiliki kekuatan superior. Hal ini pun tidak salah, sebab penghargaan terhadap leluhur itu hal yang tidak dapat dilupakan dalam ranah kehidupan orang Jawa. Dengan falsafah sumur dan sungai, terlihat bagaimana orang Jawa menjalankan kepemimpinan. Penghargaan terhadap pahlawan, sebenarnya mengikuti falsafah sungai, artinya banyak memperhatikan pihak lain. Orang Jawa sering menggunakan falsafah sumur dan sungai. Sumur adalah sumber mata air yang jernih. Yang menarik, dari penggali sumur, selalu berprinsip sedalam-dalamnya, yang penting ada air bersih. Dia biasanya tidak memperhatikan kanan kiri yang kekurangan air. Penggali sumur juga tidak mau tahu, apakah airnya itu bermanfaat bagi orang banyak atau tidak.Umumnya, sumur di Jawa, hanya berguna bagi lngkungan keluarga terbatas. Yang paling menyusahkan, falsafah sumur itu sering digelitik dengan ungkapan Jawa: sumur lumaku tinimba. Artinya,sumur itu dapat berfungsi ketika ditimba airnya. Air sumur akan diam jika tidak ditimba. Jika pemimpin Jawa menerapkan falsafah sumur, berarti selalu ingin dilayani. Pimpinan yang minta dilayani bawahan, jelas menyusahkan. Sudah sepantasnya seorang pimpinan itu melayani rakyat, bukn sebaliknya. Berbeda dengan politik model sungai. Falsafah yang dijunjung tinggi oleh sungai adalah kegunaan bagi orang lain. Air sungai jelas banyak brmanfaat bagi banyak orang. Air sungai juga bertugas membawa sampah-sampah hingga masuk ke lautan. Politik sungnai sungguh emiliki nilai lebih, dibanding sumur yang hanya mengandalkan kedalam dan kejernihan. Sungai, masih sering dicabang-cabang ke selokan dan parit-parit hingga menunjukkan kebermanfaatan air yang luar biasa. Jadi, kepemimpinan yang berfalsafah sungai pun harus mengalir terus-menerus, air berganti terus ibaratnya. Biarpun konteks sumur dan sungai terkesan tradisional, namun kalau berkiblat pada wawasan antropologi politik dan antropologi budaya Geertz 1992:169 kepemimpinan modern pun sering memanfaatkan drama -drama politik masa kuna lampau. Bahkan, menurut dia masa lalu adalah “sebuah ember abu- abu” yang dapat muncul di dunia kontemporer. Maksudnya, kepemimpinan masa lalu pun masih banyak yang relevan jika diterapkan di era sekarang. Maka, sudah jelas bahwa politik sumur dan sungai memang ada plus minusnya. Sumur memang ditanggung bersih airnya, tidak terkontaminasi. Adapun sungai jelas sering kotor, namun manfaatnya luar biasa. Politik sumur sering hanya mementingkn pribadi. Kebutuhan pribadi dan keluarga atau kroninya yang diutamakan. Kini jelas sekali bahwa politik sumur sedang mewabah di negeri ini. Poliitik itu ada yang menyatakan keras, sering ada sentiment pribadi. Orang yang semula kawan, dalam politik bisa menjadi lawan. Dari detik ke detik, menit ke