Gaya Kepemimpinan Jawa 5-M

Selain kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sebagaimana telah disebutkan, setidak-tidaknya ada 3 tiga hal yang tidak boleh ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu. Pertama,molak-malik, yang berarti seorang pemimpin tidak boleh mencla-mencle, inkonsisten dan tidak tepat janji. Memang berat menjadi pimpinan yang taat asas. Pimpinan yang mampu menepati kata-kata sendiri itu tidak mudah. Pimpinan yang bersifat esuk tempe sore dhele, artinya molak-malik biasanya gamang. Pimpinan semacam ini sebenarnya lebih kotor daripada telur busuk. Dia hanya manis di bibir, tetapi hatinya keras, ingin menindas. Saya memiliki pengalaman, dipimpin oleh figure yang molak-malik. Pimpinan itu, pernah menghukum saya dengan sanksi, bahwa saya dilarang membimbing mahasiswa di rumah. Katanya, kalau di rumah, mahasiswa harus membawa sesuatu makanan, jika tidak rasanya tidak enak. Ternyata, pimpinan “gembus” itu, seperti melanggar sendiri, bahkan mempersilakan mahasiswanya bimbingan di rumah. Ini jelas pimpinan yang pantas dimasukkan lubang sampah saja. Dia itu seorang pengecut. Kedua, muluk-muluk, terlalu berlebihan dalam segala hal, tidak bisa mensinkronkan antara idealitas dan realitas. Maksudnya, pimpinan ini selalu bercita-cita tinggi, namun terjebak dalam ungkapan kegedhen empyak kurang cagak. Artinya, hanya gagasan yang melambung tinggi, bicaranya muluk-muluk, namun tanpa kenyataan. Seringkali pimpinan melegitimasi kekuasaan sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan dibuktikan pula dengan usaha-usaha untuk menjadikan keraton sebagai replika daripada istana keinderaan yang penuh dengan kekayaan dan keagungan. Namun jika di balik itu banyak rakyat yang kelaparan, berarti keterlaluan. Dalang di dalam menggambarkan keadaan istana raja dengan teliti sekali menyebutkan perhiasan-perhiasan di Tamansari keinderaan, hingga sampai pada batu-batu pualam yang oleh karena samparan kaki-kaki dayang-dayang tuan putri permaisuri, melecit mengkilap seperti sekian bintang beralih. Jika yang terakhir ini hanya ada dalam mimpi, berarti hanya muluk- muluk saja, sementara rakyat banyak menderita. Ketiga, malak, artinya bahwa seorang pemimpin harus terhindar dari sikap mental koruptif, tidak boleh merampok harta negara dan rakyatnya, atau dalam tataran yang paling sederhana, tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Di samping itu, tidak seharusnya juga kita memilih pemimpin hanya berdasarkan molek- nya praupan serta dunya-brana dari si calon pemimpin. Para koruptor seringkali pandai bersilat lidah, untuk memperkaya diri. Watak semacam ini, sebenarnya sudah saatnya dikubur. Biasanya pimpinan serupa sering mencari kesalahan orang lain. Dalih apa pun, seringkali ingin benar sendiri, demi meladeni sikapnya yang malak. Pimpinan yang ingin mengeruk harta rakyat, sebaiknya dimasukkan saja ke penjara. Artinya, jangan memilih hanya karena bagusnya tampang dan besarnya mahar yang bisa ia berikan atau bahkan hanya ia janjikan. Oleh karena itu, sebagai rakyat yang mendamba pemimpin dan kepemimpinan yang pinilih, setidak-tidaknya kriteria-kriteria di atas dapat kita jadikan sebagai tolok ukur untuk memilih penguasa yang akan memimpin kita semua, mulai dari tingkatan yang paling kecil nan sederhana sampai dengan yang paling besar dan penuh kompleksitas. Jika penguasa yang memimpin kita adalah orang-orang yang melek, muluk, milik, melok dan meluk serta tidak suka muluk-muluk, molak-malik, dan malak, ditambah lagi kita memilihnya tidak berdasarkan molek-nya saja, niscaya target kepemimpinan untuk mengantarkan rakyat sejahtera dunia tembus akhirat akan tercapai. Kebahagiaan kepemimpinan apabila hubungan atasan dan bawahan aman dan damai.Manakala masing-masing pihak ada kecurigaan, berarti pertanda tidak adanya kenyamanan.

BAB V DUNIA BATIN PEMIMPIN JAWA

A. Tanggap Sasmita dan Lelana Brata Seorang Pimpinan Dalam peta kepemimpinan bangsa, orang Jawa sudah semakin berpikir praktis. Idealisme Jawa sering diruntuhkan oleh politik dagang sapi atau dagang ayam. Kepemimpinan semakin lama menjadi komoditi ekonomis. Hal ini diakui oleh Moertono 1986:151-154 bahwa budaya, kekuasaan, dan kepemimpinan pada zaman abad ke-18 dan ke-19 ini adalah lebih bersifat politis praktis. Manusia pada umumnya, entah itu karena rasa kemanusiaannya, entah karena rasa kepentingan diri sendiri, selalu berusaha menemukan cara-cara, atau jalan untuk melindungi dirinya dari segala sesuatu yang merugikan baik yang dapat menimbulkan akibat- akibat yang tidak baik maupun yang mengakibatkan penderitaan untuknya - apakah yang menimbulkannya itu alam, dewa-dewa, dunia lain, ataupun sesama manusia sendiri. Alat-alat pengamanannya dapat berupa benda-benda yang berguna langsung seper - ti senjata, benda-benda penolak yang bersifat magis seperti azimat dan sebagainya, atau kepercayaan-kepercayaan, konsepsi-konsepsi baik yang bersifat sederhana maupun yang bersifat rumit. Umumnya hal itu sesuai dengan iklim berpikir, taraf pengetahuan dan lingkungan fisik masyarakat yang mencetuskannya. Dengan demikian maka baik fungsi janur kuning dari daun kelapa muda yang merupakan gapura pada upacara-upacara hajatan yang mempunyai makna magis membersihkan siapa pun yang lewat di bawahnya, serta fungsi kera untuk memantapkan rasa kejantanan seseorang, ataupun budi dan akhlak dalam memberi dasar moral pada kekuasaan, ketiga-tiganya menjalankan fungsi yang sama, ialah sebagai alat pengaman, agar tercapai maksud dan tujuan yang telah ditentukan, tanpa timbulnya ekses-ekses yang akan merusak atau menodainya. Dalam kaitan spesifik yang demikian itulah harus kita lihat hubungan antara budi dan kekuasaan pada zaman kerajaan-kerajaan di Jawa. Kebenaran pandangan ini akan kita kaji pula pada sikap orang umumnya masih banyak dilekati oleh pola-pola pemikiran dari masa yang lalu, baik yang dibawakan oleh kelestarian adat, kesinambungan tutur kata, kreativitas pentas serta karya seni lainnya, maupun yang diabadikan di pusat-pusat kebudayaan, oleh sastra tertulis atau tercetak. Harapan-harapan yang dikaitkan menurut tradisi pada konsepsi- konsepsi kuna itulah yang sering mengundang frustrasi-frustrasi politik karena hendak dipaksakan berlakunya dalam konteks kesejarahan yang lain. Karena sumber bagi penulisan karangan ini terutama berupa hasil-hasil karya sastra dari abad-abad tersebut, maka di sini kiranya perlu dikemukakan sifat-sifat hasil karya sastra Jawa pada umumnya. Kecuali genre sastra Jawa yang mengemukakan pengetahuan yang bersifat teknis, biasanya termasuk syarat-syarat keahlian yang perlu diketahui, yang pada umumnya berupa literatur pakem, serat kawula, katuranggan, serat panutan, maka hasil-hasil karya sastra Jawa sebagian besar menggambarkan keinginan dani penulis atau penyusunnya untuk menyampaikan hal-hal yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup atau contoh sikap Ian tindak tanduk; wara-wara, cecepengan, kaca benggala. Setiap cerita selalu diakhiri dengan kata-kata liding dongeng adapun maksud cerita ini adalah begini atau begitu. Sifat yang didaktis ini pun tidak begitu jauh daripada sifat magis - religius yang dilekatkan C.C. Berg, pada tulisan babad suatu genre sastra Jawa. Dengan demikian membaca hasil karya sastra Jawa seharusnya disertai dengan kemahiran dan kepekaan untuk merlginterpretasikan apa kehendak dan maksud sang penulis, justru karena kebiasaan orang Jawa untuk mernasukkan maksud-maksud yang lebih dalam daripada kesan yang diperoleh pembaca secara sepintas kilas. Tanqgap sasmita kemahiran untuk menangkap apa yang tersirat merupakan suatu adu kecakapan sosial yang menguji kemampuan dan kehalusan persepsi pihak-pihak yang bersangkutan. Di samping digunakannya peralatar~ sastra yang biasa seperti peri bahasa, aliterasi Ian sebagainya dipakai pula sasmita-sasmita lain seperti pralambang, siklus, zaman maupun kebiasaan- kebiasaan yang pada umumnya bersifat lokal dan pribadi seperti bermacam tahta. Dalam membaca dan menahami tulisan-tulisan Jawa perlu diperhatikan pula tema- tema cerita yang sering kita jumpai seper - ti lelana atau ngumbara sebagai masa ujian daripada si pelaku utama cerita, adanya sayembara, hidup mandhita pada waktu tua, dan sebagainya. Dengan demikian interpretasi tidaklah terlepas daripada pengertian yang mendalam akan pola-pola pemikiran dan pola kehidupan masyarakat yang menghasilkan karya-karya sastra itu. Berpedoman pada pendekatan terhadap sejarah yang bersifat kategoris - historis tersebut di atas, maka di dalam meneliti kaitan antara budi dan kekuasaan baiklah kita berpegang pada apa yang ditulis oleh seorang nayaka bupati keparak di Surakarta, R.M. Hariya Jayadiningrat I dalam karangannya yang dimaksudkan sebagai pegangan sikap dan tindak-tanduk bagi para pejabat abdi dalem Raja yang antara lain berbunyi: lan ana patang prakara kagunganing kang prajadi prajurit lawan pandhita tri sudagar catur tani prajurit pagering ratu tani bujaning praja sudagar buh weh raharjaning pamuja Yang terjemahannya sebagai berikut. dan ada empat hal yang menjadi milik kerajaan prajurit dan pendeta tiga saudagar empat tani prajurit pagar bagi kerajaan petani makan negeri saudagar pakaian negara sang pendeta memberikan kesentosaan doa. Jadi empat unsur inilah yang perlu diperhatikan oleh negara. Kiranya tidak ada suatu masyarakat yang tidak mempunyai ukuran atau standar yang dipergunakan untuk mengukur ata u membandingkan tindakan atau sikap pribadi anggota-anggotanya. Jika bagi kebanyakan orang syarat itu terletak pada sikap yang rasional, yang didasarkan atas pengetahuan yang nyata, maka bagi orang Islam ukuran terletak kepada kegiatan orang Yang menunjukkan ketakwaan yang mutlak kepada Tuhannya dan taat pada apa yang difirmankan oleh Nya serta diperintahkan oleh Nabinya. Orang Jawa sangat peka akan perasaan bahwa ia tidak hidup sendiri di dunia ini. Oleh harena keinginan mencari hubungan yang baik dengan dunia lain dan di dalam jangkauan yang lebih luas dengan seluruh alam semesta ini, juga sebagai suatu cara pengamanan kehidupannya orang berusaha untuk tahu akan seg ala sesuattr yang ada di sekelilingnya dengan cara-cara dan peralatan-peralatan yang dipandang lebih halus daripada pancainderanya. Oleh karena itu orang Jawa suka akan kata-kata yang mempunyai arti yang berlawanan terutama bukan dalam arti harfiahnya; tet api lebih dalam arti kiasnya, kadang-kadang menuju ke arah pemberian makna yang winadi, sinengker atau dirahasiakan. B. Kepemimpinan Jawa Anti Konflik Batininiah kepemimpinan Jawa, pada dasarnya cenderung anti konflik. Biarpun ada masalah, sedapat mungkin diselesaikan secara halus, tidak vulgar. Perintah halus adalah strategi kepemimpinan Jawa yang anti konflik. Orang Jawa enggan melakukan konflik secara terbuka, maka diredam, dibungkus kado secara tersembunyi, hingga menetas menjadi perintah halus. Konsep kepemimpinan a dhupak bujang, artinya di dunia rakyat kecil, pemerintahan dengan bernada keras perintahnya, b esem bupati, artinya pemerintahan cukup dengan perubahan raut muka, rakyat sudah paham, c sasmita narendra, artinya seorang pimpinan hanya member isyarat, bahkan dengan batin, diharapkan lebih halus. Ketiga hal ini masih terasa dalam peta pemimpin Jawa. Sampai detik ini, kekuasaan Jawa yang bernuansa halus, penuh sasmita, masih bergema di tanah air. Hampir seluruh pejabat pemerintah dan peja bat negara menggunakan kepemimpinan perintah halus, yang sebenarnya otoriter. Perintah halus diberikan untuk menghindari konflik yang meluas. Kehalusan perintah, yang bergaya raja itu dipoles dengan pura-pura demokratis, yang sering diakhiri dengan voting. Bayangkan, tanggal 18 lalu DPR RI bersidang ingin memutuskan kenaikan BBM, yang telah memakan banyak korban demonstrasi, tetapi pimpinan Negara tetap menurutp mata buta, tidak mau menghiraukan keinginan rakyat. Itulah getah perintah halus yang dibungkus ala partai politik. Buktinya, hingga kini sudah amat sedikit pejabat yang mewakili rakyat, melainkan hanya memikirkan golongan dan partainya masing-masing. Menurut Antlov dan Cederroth 2001:10- 12 nuansa militer masih terasa di era demokrasi ini. Pimpinan negara, yang dibungkus kejawaan halus, ternyata tetap saja keras. Birokrasi kepemimpinan Jawa yang gemar menyemaikan perintah halus, sudah harus dibayar dengan