Parodi Putih Lakon Petruk Dadi Ratu
berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini, jawab Petruk.
Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah
hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti
ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dib
unuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia…. Raja dan rakyat harus wengku-winengku saling memangku, rangkul-merangkul,
seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk, kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.
D. Anekdot Kepemimpinan pada Lakon Petruk Dadi Ratu
Dalam jagat pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dalam laut
bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang
berkelahi. Ia tokoh yang selalu hadir ketika suasana buntu, membeku, dan menjadi tokoh ‘satir’ ketika priyayi andalannya ternyata mengecewakan publik. Dengan
demikian ia hadir sebagai pemimpin atau tokoh keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain.
Kehadiranya selalu dengan gaya humor, ngelantur, omong kosong, ngalor ngidul dan menghibur. Memecah kebekuan, menghalau kesunyian dan menebarkan
kesahajaan. Ia seorang abdi yang selalu lekat dengan kaum priyayi. Ia merepresentasikan kaum kecil, berpendidikan rendah, dan merakyat. Ia pun
seben arnya pernah sekolah, tapi nggak lulus, kemudian menempuh ‘kejar paket’, hanya
untuk label etiket. Selang beberapa tahun kemudian, kariernya meroket. Ia duduk-duduk dan masuk
dalam link pemerintahan Pandawa dan bala tengen. Ia sering ikut priyayi besar dalam acara-acara kenegaraan dan peperangan. Ia pun akhirnya berfikir bagaimana agar
dirinya sejajar dengan priyayi atasannya. Maka ia pun menempuh kuliah ‘instan’ di
pertapan ‘Tanpakariya’, dan berkat kesaktiannya, ia pun menyandang gelar sarjana. Sarjana hiburan, untuk pantas-pantasan, untuk menghibur hatinya agar kelihatan
mentereng di hadapan priyayi juragannya.
Yang jelas, walau gelar sarjana sudah menempel. ia sendiri nggak paham dengan gelar kesarjanaannya, apa keahliannya, bagaimana menerapkannya, dan bagaimana
prosesnya. Yang penting gelar sarjana sudah melekat di pundaknya. Yang penting lagi, orang desa semakin bangga dengan dirinya. Di samping ia merakyat, ia juga sarjana.
Maka tak heran, pada waktu pilkades, ia pun terpilih menjadi lurah, yang didukung penuh oleh rakyatnya. Gelar barunya Ki Lurah Petruk Kanthong Bolong.
Sekarang kita kembali pada kisah di atas. Pada suatu hari, Bambang Pecruk Panyukilan ingin berkelana mencari lawan tanding, guna menguji kekuatan dan
kesaktiannya. Semua rapalan mantra, ajian kebal, senjata pethel sakti, keris junjung luhur, junjung derajat, dan lainnya, telah disiapkan dalam ransel dan lipatan sarungnya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang tengah refreshing jogging di atas bukit, sambil bermain ruyung di tangannya. Melihat
ada orang yang kelihatan kemlelet tergerak hatinya untuk mencoba kekebalannya. Ia pun segera menghampiri pemuda tersebut, dan menantangnya duel.
Tak dinyana, ternyata Bambang Sukodadi pun mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam,
bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian
ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta Semar dan Bagong yang tengah mengiringi Batara Ismaya menghabiskan masa resesnya di Ngarcapada. Mereka kemudiaan
dilerai dan diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada SmaraSemar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya.
Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena wujud tampannya telah rusak gara-gara berkelai tadi, maka mereka pun segera berganti nama. Mereka segera datang di kantor catatan sipil; Pecruk Panyukilan
mengubah namanya menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng. Sebuah nama yang indah dan top markotop untuk dirinya, sesuai dengan bentuk
tubuhnya.
Dalam kisah Ambangaun Candi SpatahargaSaptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan
menyamar sebagai Gatutkaca, sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara negeri Imantaka dan negara
Ngamarta.
Di dalam kekeruhan dan kekacauan politik tersebut, Petruk yang biasa blusukan di kampung-kampung itu, mengambil kesempatan mencuri Jamus Kalimasada ndik
rumahnya Dewi Mustakaweni , yang kebetulan tengah pergi ke salon kecantikan. Petruk hafal betul dengan kebiasaan Dewi Mustakaweni istri pengusaha terkenal itu.
Tepat pada jam 8.00, Petruk berhasil menyelinap di halaman luas dan kamarnya Mustakaweni. Sehingga dengan leluasa, Petruk berhasil mencuri Jamus Kalimasada. Ia
pun segera meninggalkan negeri Imantaka, dan segera mensosialisasikan kehebatannya pada penduduk desa di negeri Lojitengara.
Kontan, karena kekuatan dan pengaruhnya Jamus Kalimasada yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana kerajaan Lojitengara dan bergelar
Prabu Welgeduwelbeh Wel Edel Bey. Petruk yang dulunya jadi abdi para satriya Pandawa termasuk Prabu Dwarawati, atau Prabu Kresna, kini berbalik, Prabu Kresna
dan Pandawa jadi anak buahnya. Ya, kalau dalam tv mirip tayangan ‘tukar nasib’. Dasar namanya saja Si Petruk, maka dalam masa pemerintahannya penuh dengan
‘lonyotan’, banyolan ngalor-ngidul omongannya ngawur, tak terukur, nggak koneks dengan masalah yang tengah dibicarakan. Setiap memimpin rapat hanya menyerahkan
persoalan pada kabagnya. Ia nggak memiliki kompetensi dan nggak nyandak
kemampuannya dalam kontek kenegaraan yang lebih luas. Gaya ‘kepala desa’ masih melekat di dalam dirinya. Para kabag, dan camat dan para sarjana sejati yang dulu jadi
atasannya, disamakan dengan orang-orang desa yang miskin pengetahuannya. Kadang marah-marah, emosi tinggi gara-
gara mereka nggak segera bekerja.”Bekerja apa??, lha wong programnya saja nggak nggenah” kata camat terheran-heran.
Prabu Kresna, Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa yang menjabat jadi kabag, serta Gathutkaca, Abimanyu, Antarja, Antasena yang menjadi
camat, nampak termangu , tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Prabu
Welgeduwelbeh yang PD terlalu tinggi. Berkali-kali mereka bertatap muka saling berpandangan geli. Mereka menatap jauh. Pemerintahan nampak mulai rapuh tidak
berwibawa lagi. Sang Prabu Welgeduwelbeh semakin mabuk kekuasaan, ia benar- benar nggak faham dengan kepemimpinannya serta kondisi dirinya. “Inilah
pemerintahan coba-coba. Yang diaplikasikan da ri konsep parsial ‘merakyat’ saja” desah
Prabu Kresna mengingatkan “Werkudara…”
“Apa Jlitheng kakangku” “Lakon iki kudu ndang dipungkasi, mesakne para kawula lan Negara Ngamarta ing
tembe mburi. Mula tugasmu Werkudara, murih lakon iki ndang babar jeneng sira enggal papagen Si Bagong mara..”
Singkat cerita, akhirnya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan badarterbongkar rahasianya menjadi Ki Lurah Petruk
kembali. Petruk yang asli dulu, yang badut dulu, yang kepala desa dulu. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
Dengan demikian berakhirlah anekdot kepemimpinan di negeri wayang, yang penuh dengan kepura-puraan. Intinya, seorang pemimpin tidak cukup hanya
bermodalkan merakyat saja. Akan tetapi kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional sangat amat diperlukan dalam rangka kebijakan yang sangat strategis dalam
kerangka kebutuhan zaman yang semakin canggih. E. Parodi Hitam Kepemimpinan Jawa
Saya pernah menulis sebuah cerita pendek Jawa berjudul Togog Dadi Ratu 2006. Cerita ini saya muat dalam antologi Senthir, yang mendapatkan hahdiah sastra
Rancage tahun 2006, di UPI Bandung. Yang perlu saya garis bawahi, cerita pendek itu saya ungkapan sebagai parodi kepemimpinan Jawa. Pimpinan Jawa yang saya
simbolisasikan lewat tokoh Togog sebagai punakawan garis kiri hitam, harus disembah oleh majikannya. Pimpinan Jawa dari elit khusus itu, saya jungkirbalikkan.
Yakni, seorang tokoh Togog yang biasanya menyembah Dasamuka, justru terbalik Dasamuka yang harus menyembah.
Dalam jagad kepemimpinan Jawa, memang jarang ada punakawan menjadi penguasa. Manuver politik dan kepemimpinan Jawa biasanya lebih tersembunyi. Jika
ada Togog dapat menjadi raja, ini tentu sebuah parody politik yang sudah konyol. Biarpun hal itu sangat mungkin, namun di jagad Jawa gerakan vulgar untuk
mencalonkan rakyat jelata ke kancah kepemimpinan belum jelas sejarahnya. Cerpen
saya di atas adalah fiksi, imajinasi, yang suatu saat dapat terjadi. Gerakan “di bawah tanah” untuk menjadi pimpinan di Jawa selalu ada, hanya saja bersifat halus. Maka
sang Togog pun harus ekstra hati-hati ketika mimpi jadi raja. Kelompok Ki Lurah Togog termasuk punakawan jalur hitam, biarpun pemikirannya
putih. Kelompok ini terdiri dua personil yakni: Ki Lurah Togog Sarawita dan Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara yakni
para Ratu Sabrang. Konteks dur ini yang menyebabkan sebuah parodi hitam. Ketika Togog juga sah-sah saja disembah, menandai suat keadaan era masa kini bahwa
pimpinan dari jalur hitam akan terbolak-balik. Pimpinan yang dur angkara, sudah selayaknya berserah diri, agar menyerahkan pada kawula alit. Sebut saja misalnya
Prabu Baladewa di negeri Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu
Dasamuka Rahwana di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman- Imantaka dan beberapa kesatria dari negara Sabrangan yang berujud berkarakter
raksasa; pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Prinsip utama sang Togog selalu mengingatkan kepada bendara bila akan berniat jelek.
Ki Togog secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara, untuk selalu eling dan waspada, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua nafsu
negatif. Beberapa tugas mereka antara lain: 1 Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendara-nya, 2
Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling dan waspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya rahsaning karep. Gambaran tersebut
sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri manusia jagad alit. Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter yang
berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil jati diri manusia terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar
dari dalam cahya sejati nurulah merasuk ke dalam sukma sejati ruhulah. Di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria
yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya.
Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun
tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara
nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan dengan perang Baratayuda antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan kesatria
momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang Kurusetra, yang
tidak lain menggambarkan hati manusia.
Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri
seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar
antagonis, para “ksatria” angkara murka dur angkara, hingga para pimpinan raksasa jahat.
Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya.
Pada intinya Ki Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini
memiliki karakter buruk.
Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan pepeling kepada majikannya agar tetap waspada
dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan
lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik.
Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya menang tanpa ngasorake.
Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang
disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk walaupun menjabat posisi sentral sebagai
penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun
Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. Bukan
berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki,
dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap
teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya.
Itulah nasib Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining
power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di
hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan
apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara nagri. Sekalipun sekian banyak
pelajaran berharga di depan mata, namun manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk memihak rakyat kecil.