Kepemimpinan Agung Binathara IDEOLOGI KEPEMIMPINAN JAWA

keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan material biasanya diutamakan, bukan kepuasan batin. Memang akhirnya tidak mudah menemukan pemimpin sejati. Yakni pemimpin yang benar-benar ikhlas, penuh kesungguhan hati dalam mengabdikan dirinya. Jika dahulu ada pemimpin berjiwa sepi ing pamrih rame ing gawe, artinya memimpin tanpa pamrih, tetapi banyak bekerja secara tulus. Pemimpin demikian adalah lebih mulia. Dia adalah pemimpin yang layak dihargai. Jika pemimpin ada imbalan, itu wajar. Setiap orang bekerja, aada imbalan tentu itu sebuah konsekuensi. Yang tidak wajar itu,manakala pemimpin berharap imbalan lebih besar dari tenaga yang dikeluarkan. Jika imbalan yang diterima melebihi kewajaran, dicari-cari, inilah pemimpin palsu. Pemimpin semacam ini dalam konteks budaya Jawa disebut rame ing pamrih sepi ing gawe. Artinya, menjadi pemimpin hanya beroya-foya, ada maksud untuk menggerogoti harta bawahan, tetapi kerjanya tidak meyakinkan pecus. Gaya pemimpin semacam ini penuh pamrih, sedikit aktivitas. Yang dipentingkan adalah dirinya sukses. Suwarni 2010 dalam artikelnya tentang kepemimpinan Jawa dalam naskah Jawa, banyak membahas pemimpin sejati. Dia menyatakan dengan isitilah bijak sebagai pemimpin. Pemimpin sejati, tentu harus bijak. Menurut dia, bangsa Indonesia mencari pemimpin yang bijak, mengabdi kepada rakyat dan merakyat. Konsep kepemimpinan bangsa yang didambakan rakyat terdapat dalam berbagai pustaka lama khususnya pustaka Jawa. Konsep tersebut dituangkan dalam bentuk cerita, seperti Ramayana, Babad Baratayuda, Babad Majapahit, Pararaton, dan berbagai serat piwulang Wulang Reh, Wulangpraja, Ajipamasa, Panitisastra, Slokantara dsb. menyajikan berbagai konsep citra pemimpin bangsa. Dari berbagai karya sastra wulang dapat diketahui, bahwa banyak ajaran pemimpin yang tanpa pamrih dan banyak pamrih. Kedua gaya kepemimpinan itu selalu ada di semua jaman. Pamrih adalah dorongan nafsu yang mengajak para pimpinan bermain api ibaratnya. Pemimpin yang gemar bermain api, dalam memimpin biasanya penuh 1 main-main, 2 memainkan, dan 3 ada main. Dia gemar main di atas penderitaan rakyat, demi keluarga dna kroninya. Inilah pemimpin yang masih menaruh pamrih dalam urat nadinya. Babad Bharata menunjukkan sikap pimpinan yang agung, antara lain ditunjukkan oleh tokoh Parikesit putra Abimanyu, asuhan ki lurah Semar, dewa yang mangejawantah dan merakyat. Menurut hemat saya, tokoh ini memang bijak, namun masih sering menggunakan nafsu juga. Dia pernah marah ketika melakukan anjangsana ke hutan, ada seorang pendeta bertapa ditanya tetapi diam saja. Manakala pemimpin masih sering marah, itu jelas belum masuk kategori pemimpin sejati. Pemimpin yang sering marah akan menyebabkan rakyat jengkel dan antipati. Oleh sebab itu, untuk menjadi pemimpin sejati memang harus mampu mengendalikan diri. Babad Majapahit dan Pararaton mengungkap kepemimpinan raja-raja Singasari dan Majapahit, di bawah asuhan Nayagenggong dan Sabdapalon, serta peran Patih Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara, dengan Sumpah Palapa. Kepemimpinan Singasari, ternyata berjalan dengan kekerasan. Yang terjadi adalah hadirnya sikap balas dendam, hingga memunculkan hokum karma yang harus dibayar dengan darah. Kematian Tunggul Ametung, Ken Arok, Anusapati, dan Toh Jaya, sungguh tragis. Banjir darah yang menurut mitos sebagai kesalahan empu Gandring itu, banyak mendatangkan korban. Era masa lalu, pemimpin tanpa pamrih biasanya lebih mementingkan kerajaan atau rakyat. Dia memimpin dengan hati, dekat dengan rakyat. Bahkan dia juga memimpin dengan perihatin, tetap sederhana, dan mau membagi-bagi kebahagiaan pada rakyatnya. Konsep mengencangkan ikat pinggang selalu dipegang teguh. Sebaliknya, bila penuh pamrih, dia akan memimpin dengan mementingkan dirinya. Kebutuhan diri, keluarga, dan kroninya dinomorsatukan. Bahkan dalam membela kebutuhan pribadi sampai dibayar dengan pertumpahan darah dan rakyat dikorbankan. C. Kepemimpinan Jawa Legendaris dan Adil Adil itu sebuah mutiara kepemimpinan yang tidak mudah diraih. Pemimpin yang adil seratus persen, hampir sulit dicapai. Slogan kepemimpinan yang mulai dihembuskan oleh pencitra orde baru, sudah mulai ada getaran. Di papan reklame dan truk- truk, sering muncul ungkapan “Piye Kabare Le, enak jamanku biyen ta?” Sebuah pertanyaan oratoris ini, sebenarnya memiliki implikaksi historis dan politik dan historis yang dahsyat. Paling tidak, dengan disertai gambar Soeharto, orde baru hendak lahir kembali menjadi neoreformasi, yang menganggap dirinya lebih adil disbanding era reformasi ini. Figur Soeharto dianggap lebih menjanjikan keadilan dan kedamaian. Begitulah strategi perebutan pengaruh, yang kuncinya adalah pada pemimpin legendaries dan adil. Banyak rakyat yang memiliki imaji bahwa di era masa lalu jauh lebih enak, kesejahteraan dan keamanan terjamin. Selama 32 tahun memang memungkinkan seorang pemimpin merebut hati rakyat. Selama itu pula pemimpin legendaries dapat terwujud. Sungguh aneh memang sang legendaries, kadang-kadang kotroversial, tetapi hakikatnya disegani rakyat. Kalau menegok masa lalu, sungguh banyak pemimpin Jawa legendaries dan adil. Kebijakan yang mereka tempuh biarpun ada nuansa otokratik, tetap solid. Nama Gajah Mada sudah menjadi bunga-bunga penting dalam sejarah. Dia memang orang bijak, biarpun hanya sebagai patih warangka dalem. Kalau dibandingkan dengan patih- patih dalam pewayangan dan ketoprak, seperti patih Sengkuni, patih Suwanda, patih Logender, Patih Bestak, dan sebagainya dia termasuk patih yang bijak dan luar biasa dalam berjuang. Sosok patih yang mampu melebihi ketenaran raja adalah Gajah Mada. Sampai saat ini nama patih ini justru dijadikan nama perguruan tinggi terbesar dan terkenal serta pertamkali, yaitu Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hal ini menandai bahwa kepemimpinan tokoh ini memang tidak perlu diragukan lagi. Dia adalah sosok berwibawa, yang merupakan mahapatih terkenal di era kerajaan Majapahit. Di jaman raja Hayam Wuruk, tokoh Gajah Mada dikenal sebagai pemimpin sejati. Kepemimpinan dia mengelola negara dan bawahan, patut diteladani. Apalagi di era masa kini,memang sulit menemukan teladan yang tangguh dalam kepemimpinan. Dalam hal kepemimpinan Gajah Mada memiliki ajaran yang disebut Asta Dasa Brata Pramiteng Prabu. Arti kata Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu adalah Asta Dasa artinya 18 delapan belas. Brata artinya pengendalian diri yang merupakan kewajiban pokok seorang pemimpin. Pramiteng Prabu artinya Raja Kepala Negara. Jadi secara keseluruhan arti dari ajaran Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu yaitu 18 delapan belas kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin. Konteks pengendalian diri memang penting bagi seorang pimpinan, karena godaan selalu