Amanah Moral Sang Raja

satyawacana atau ‘satunya kata dengan perbuatan’. Apalagi karena sekarang ini, terlalu banyak keteladanan verbal ketimbang keteladanan aktual. Demikian juga, lebih sering kita mendengar ungkapan simbolik daripada transparansi informasi. Karena sekarang ini banyak dari kita, baik penguasa maupun masyarakat, senantiasa mencari makna-makna simbolik di hampir segala peristiwa. Sampai batas tertentu simbolisme itu perlu dan baik, asal tidak over simbolisasi yang tidak mengakar pada realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna mencapai makna yang nyata dari simbol-simbol yang kita ciptakan sendiri itu. Kita menaruh kekhawatiran besar, jika kemudian yang menjadi penting adalah ungkapan- ungkapan simbolik itu sendiri, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku budaya masyarakat. Sejalan dengan proses dialektika, di mana selalu terjadi penggeseran nilai-nilai zaman, maka apa yang terungkap pada masa-masa yang kemudian, adalah terbentuknya sintesa-sintesa baru tentang konsep kepemimpinan dalam suatu setting sistem kenegaraan yang amat berbeda dengan masa Mataran dulu. Namun kita tetap mendambakan sosok kepemimpinan yang melekat pada dirinya kesempurnaan karakter seorang Satria Pinandhita, yang mungkin hanya dapat kita raih melalui mimpi-mimpi kita. Sungguh kita sedang berada diujung ajalan, atau dipermuaan jalan baru, yang mungkin saja masih pajang untuk bisa mendapatkan saripati manajemen dan kepemimpinan model Jawa yang bernuansa modern untuk bisa diterapkan.

B. Moralitas sebagai Ukuran Kepemimpinan Jawa

Moral merupakan ukuran abstraksi kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan Jawa dapat diukur dari moralitasnya. Jika ada seorang Kapolsek melakukan pelecehan seksual dengan bawahannya, hingga pergi sampai empat bulan, ini jelas dipertanyakan moralitasnya. Begitu pula seorang Kapolsek yang ada main dengan Kapolsek lain, jelas diragukan acuan moralnya. Begitu pula seorang pimpinan partai yang memiliki isteri simpanan di mana-mana, demi pencucian uang, patut dipertanyakan sisi moralnya. Moral menyangkut baik buruk tingkah laku pimpinan. Moral adalah aturan ideologis yang membingkai tindakan seorang pimpinan. Moral merupakan ukuran baik buruk terhadap tindakan seseorang. Pimpinan yang bermoral, tentu memiliki tindakan yang baik. Pimpinan yang tidka bermoral, tentu tindakannya bertentangan dengan nalar. Jika pimpinan Jawa yang sudah jelas kaya, kalau harus korupsi, menumpuk uang, mencuci uang, ini sebenarnya kurang atau tidak bermoral. Sudah jelas ketahuan kalau korupsi, ketika di persidangan masih mengelak, ini juga pimpinan amoral. Setiap wajah kepemimpinan memiliki ideologi, yang memuat moralitas. Ideologi adalah paham kepemimpinan yang melandasi gerak seorang pimpinan. Di Jawa ideologi selalu berhubungan dengan kejawen. Orang Jawa selalu memasalahkan hidup individual yang bermodus kekerasan. Oleh karena orang Jawa menghendaki kepemimpinan berjalan dalam lingkup komunal, penuh kehalusan budi. Pimpinan yang halus budinya adalah orang yang bermoral tinggi. Pimpinan yang menjaga moralitas pun akan mendapat tantangan dan musuh yang tidak ringan. Menurut Mulder 2001:79-85 sekarang musuh di dalam kepemimpinan yang menyebabkan kerisauan sosial, yang dikaitkan oleh kata-kata yang sama, adalah mereka para individu dan kelompok yang terbelenggu oleh individualisme atau liberalisme yang berlebihan dan pemahaman yang keliru mengenai makna hak - hak asasi manusia. Kaum liberal di Jawa ada sebenarnya, hanya berkedok halus . Ketika dia memerintah menurut keinginan wudele dhewe, benar sendiri, merasa hebat sendiri, itulah pimpinan yang tak bermoral bagus. Dalam wawasan Anderson 1986:50 dari segi moral kekuasaan itu berarti ganda. Kekuasaan dan kepemimpinan adalah dua hal yang saling terkait. Kekuasaan itu sebagai akibat sekuler dari peristiwa politik sebagai hubungan antar manusia. Hubungan antar manusia itu dibingkai secara moral lewat kebijakan seorang pimpinan. Dari sisi moral, kekuasaan itu tidak boleh semena -mena, Kekuasaan butuh kepemimpinan yang moralis. Yakni kepemimpinan yang arif, bisa memahami orang lain. Seharusnya kepemimpinan butuh moral, yang dapat membimbing kekuasaan. Selanjutnya wawasan Mulder 2001 menyoroti keadaan pemimpin Jawa, dikaitkan dengan nasionalisme yang sudah mulai bergeser. Pergeseran penekanan ini dapat dipahami dipandang dari sudut penafsiran resmi dan final Pancasila, ideologi negara yang diberikan sebagai pedoman bagi bangsa dan penduduknya sebagai individu untuk melayari perjalanannya menuju masyarakat yang sempurna. Komunisme jelas-jelas tidak sesuai dengan doktrin yang berawal dari Ketuhanan Yang Maha Esa, individualisme dan liberalisme pun demikian yang, menurut penafsiran Indonesia, merupakan tindakan tercela karena hanya mengagung- agungkan kebebasan dan kepentingan pribadi. Hal ini juga dibenci oleh kiblat kepemimpinan Jawa. Moralitas pimpinan Jawa biasanya anti liberal, sayangnya banyak paham liberal yang berkeliaran, atau berpura-pura non liberal. Liberalisasi adalah paham barat, yang oleh orang Jawa dianggap tidak relevan. Moralitas Jawa selalu berpikir komunal, sehingga kebersamaan menjadi penting. Implikasi moral tentu amat penting demi keberlanjutan kepemimpinan. Telah lama orang Jawa didulang dengan pendidikan moral, lewat pendidikan formal, namun ketika menjadi pemimpin juga tak bermoral. Dalam berbagai siding pimpinan ada yang tidur melulu di DPR RI, ada lagi yang memperjuangkan nasib keluarganya, kroninya sendiri, ini menandai moralitas rendah. Tema yang berulang-ulang dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang harus dipelajari oleh semua pelajar dari kelas satu hingga akhir sekolah menengah adalah harus tunduknya individu kepada mayarakat dan Negara,menurut hemat saya masih banyak dilanggar. Dua hal itulah yang mewujudkan kepentingan beragama yang harus didahulukan di atas kepentingan pribadi atau individu. Sikap tunduk ini ditambah lagi dengan penekanan yang terus-menerus bahwa semua hak itu harus bersama- sama dengan kewajiban terhadap orang lain, terhadap masyarakat dan terhadap negara Indonesia. Sikap tunduk dan kewajiban terhadap apa yang lebih besar daripada individu juga menyatakan bahwa hak asasi manusia itu bukanlah pernyataan yang valid secara universal mengenai martabat manusia dan dengan demikian memberikan pembenaran kepada penafsiran Indonesia. Pimpinan Jawa memang orang multidimensi. Akibatnya, di satu sisi mereka sering lamis dan berpura-pura bersih, namun sebenarnya mengambil keuntungan pribadi. Pimpinan semacam ini, sebenarnya lebih kotor dari sampah. Gemblengan pimpinan di sekolah ABRI, Akademi Kepolisian, dan sekolah keagamaan pun kurang mampu membekali moralitas kepemimpinan Jawa. Umumnya para pimpinan Jawa masih mudah memegang konsep ungkapan rubuh-rubuh gedhang, artinya mengikuti arus melulu biarpun tidak bermoral. Buktinya, banyak rekening gendut para anggota polisi dan hakim. Kondisi ini menunjukkan bahwa moralitas kepemimpinan Jawa yang santu, bersih, jujur dan tanggung jawab diabaikan. Moralitas Jawa yang mampu menjawab, apakah seorang pimpinan akan bertahan dalam suasana kotor atau bersih. Sungguh akan menjadi tantangan berat bagi seorang pimpinan yang moralitasnya rendah. Moralitas rendah menandai jiwanya sedang berada pada tataran terhina. Moral merupakan cerminan jiwa yang benar-benar cemerlang. Moral pimpinan yang bagus, tentu akan taat pada janji, tidak menyelewengkan wewenang, tanggung jawab, dan tidakmerugikan pihak lain. Dengan kata lain, benteng moral sangat penting bagi seorang pimpinan yang ingin langgeng kedudukannya. C. Moralitas dan Ilmu Rasa dalam Kepemimpinan Jawa Ilmu rasa dalam kepemimpinan Jawa amat diperlukan. Rasa Jawa itu sebuah dilosofi hidup yang halus. Jika rasa ini dikembangkan, para pimpinan akan mampu menyelami rasa yang dimiliki bawahan. Suryamentaram 1990:29 memaparkan panjang lebar bahwa ilmu rasa Jawa itu tidak lain merupakan raos gesang, artinya rasa hidup. Rasa hidup itu ditandai dengan bergerak dna berubah. Pimpinan yang menguasai raos gesang, akan berusaha agar mampu mengubah keadaan. Ilmu rasa akan membangkitkan kerja pimpinan semakin percaya diri. Rasa yang paling utama dalam kepemimpinan yaitu, 1 Bisa rumangsa dan bukan rumangsa bisa, artinya pimpinan tidak merasa mampu apa saja. Filosofi ini sering membuat orang terlalu percaya diri, namun jika terlalu berlebihan akan menjadi sombong. Jika rasa ini dapat dikelola, pemimpin akan mampu bersikap rendah hati; 2 Angrasa wani, artinya pimpinan yang berani menghadapi resiko apa pun yang dibebankan diamanahkan. Pimpinan yang tidak berani mengambil resiko, biasanya lamban dalam mengambil keputusan; 3 Angrasa kleru lan bener tur pener. Artinya, pimpinan yang baik adalah mampu menyadari bila keliru dalam berbuat. Begitu sebaliknya, pimpinan yang baik tentu dapat merasa bahwa yang dilakukan itu benar dan tepat. Keputusan yang baik, selain harus sesuai aturan juga tepat. Falsafah rasa banyak terkait dengan pribadi seseorang. Rasa dapat memmbingkai kejiwaan pimpinan. Orang yang rasa Jawanya tinggi, tentu tidak akan keras kepala dalam memimpin. Filosofi kepemimpinan Jawa terkait dengan kepribadian orang Jawa. Falsafah hidup yang dipegang para pimpinan selalu menunjukkan kekhususan. Orang Jawa memang memiliki tradisi yang melingkupi jagad kepemimpinan. Rasa selalu membekali orang Jawa ketika memutuskan sesuatu. Pimpinan jelas akan mengambil putusan apa saja. Kepemimpinan orang Jawa itu memiliki kekhasan. Biarpun ada yang tidak sependapat kalau kepemimpinan Jawa itu memiliki sifat halus, penuh hati-hati, dan tidak mau konflik, realitasnya memang demikian. Orang Jawa memimpin tidak hanya dengan pikiran, tetapi memanfaatkan rasa. Kepemimpinan Jawa jelas banyak mengolah rasa Jawa. Rasa itulah ruh budaya Jawa. Pemimpin Jawa tentu memegang teguh budaya Jawa. Banyak generasi muda sekarang tidak memahami budaya Jawa. Dalam era globalisasi sekarang ini bahasa Inggris boleh saja dipelajari, tetapi bahasa, budaya Jawa, dan filosofi Jawa tetap perlu didalami agar tidak hilang ditelan zaman.