keluarga. Karena itu hubungan pengayom dengan pengayem yang dilindungi seperti halnya hubungan patron dengan client. Oleh karena dalam politik bapak yang sangat
menentukan, maka semua orang berusaha agar diterima sebagai anak buah. Pada gilirannya anak buah sering mengucapkan: ndherek ngarsa dalem terserah kehendak
raja. Sistem kekuasaan patrimonial adalah diturunkan dari sosiolog Weber, pada suatu saat akan terjadi transisi ke arah kewenangan birokratik.
Tipe budaya politik demikian dinamakan budaya affirmatif yaitu budaya isitana yang selalu menyetujui terhadap apa yang diputuskan. Berbeda dengan budaya critical
yaitu sebagai pengritik jalannya roda pemerintahan. Budaya critical ini, rupanya memang tidak berjalan atau beku. Itulah sebabnya pemerintahan negara kita selalu
diwarnai budaya politik affirmatif yang memonopoli budaya critical. Dari pendapat itu memang telah banyak dirasakan pada masa orde baru, yaitu manakala ada rakyat yang
bersuara mengritik pemerintah, harus dicekal, dipenjara. Dengan adanya napol dan tapol yang telah bebas atau yang masih mendekam di penjara, seperti Sri Bintang
Pamungkas, Moktar Pahpahan, Budiman Sujatmika, Xanana Gusmou, dll. -- adalah refleksi budaya politik orde baru yang kurang sehat. Sementara Mempen Harmoko
ketika masih menjabat, pernah mengucapkan lafal Al Fatikah keliru saja, pada saat membuka Festival Dalang di Surakarta, cukup menghadap Presiden Soeharto, sudah
bebas dari ancaman hukum.
Budaya politik itu, jelas belum mencerminkan masyarakat civil society, masyarakat madani
– namun baru sampai organization society. Budaya birokrasi yang ambaudhendha, serba kuasa, hanyalah demokrasi semu. Birokrasi ini adalah sebuah
kekeliruan besar dari manipulasi budaya Jawa yang adiluhung.
BAB X POLITIK DAN ESTETIKA KEPEMIMPINAN JAWA
A. Sastra dan Estetika Politik
Dalam bab II buku Kepemimpinan dalam Sastra, yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DIY, Endraswara dan Santosa 2012:17-30 mengemukakan panjang
lebar keterkaitan kepemimpinan, kekuasaan, politik, dan sastra. Bagian sub bab ini sungguh penting dipertimbangkan, sebab ternyata kepemimpinan Jawa itu butuh
estetika. Di antara estetika yang unik adalah sastra. Sastra adalah dunia symbol estetis. Sastra dan politik adalah dua hal yang sering bersentuhan. Gramsci Anwar, 2010:76-
78 termasuk tokoh penting yang mencoba menghubungkan antara sastra dan politik. Hubungan keduanya menandai hadirnya sebuah kepemimpinan dalam ranah sastra.
Menurut dia,nilai estetika sastra tergantung keindahan karya. Karya yang bagus, bernuansa politik, sekaligus menjadi wahana gairah estetik dan mencerdaskan
intelektual.
Sastra sering menjadi kendaraan politik, guna meneguhkan kekuasaan. Oleh sebab itu, dalam membaca sastra, patut menggunakan sikap cermat. Contohnya, saya
sangat selektif soal membaca karya sastra yang berbau politik. Sastra semacam ini disebut sastra politik. Karya ini yang akan merefleksikan pandangan politik, yaitu
sebuah pencarian kekuasaan. Oleh sebab itu, dalam menghadapi sastra politik bukan selektif yang menyaring kemanfaatan buku secara objektif, tapi benar-benar selektif.
Sastra sering disisipi permasalahan politik. Bnayak buku yang menungkan gagasan bahwa sastra dan estetika politik selalu berkaitan.
Ketika membaca buku, saya sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk mencari sesuatu yang bermanfaat buat kehidupan sehari-hari saya. Jadi, koleksi buku yang
saya baca sering beragam, yang terkait dengan sastra dan getaran politik. Kalau tidak bertemakan cinta kehidupan sosial seperti dalam novel dan puisi pasti sastra sering
berhubungan dengan ilmu politik. Ada yang diinginkan oleh seseorang terhadap sastra, antara lain nuansa politiknya. Dalam politik, seringkali kekuasaan pribadi masuk ke
dalam ranah sastra. Jika pembaca adalah seorang penguasa, tentu dapat berpengaruh lain terhadap kondisi sastra. Kekuasaan pembaca sering menghegemoni teks-teks
sastra politik.
Kalau begitu sastra dan politik memang sering berkaitan satu sama lain. Eagleton 2006:283-286 menyatakan bahwa sastra dan politik tidak akan pernah lepas.
Keduanya jalin-menjalin, mewujudkan hubungan sinergis. Bahkan, menurut dia sering ada hubungan antara politik internasional terhadap teori sastra. Dalam bagian buku
teori sastra dia membahas secara khusus tentang ”kritik politik”. Maksudnya, bahwa politik sering berpengaruh terhadap sastra. Redupnya teori sastra, besar atau kecil
dapat dipengaruhi oleh cara kita mengorganisir kehidupan sosial.
Tema-tema yang tidak pernah dan tidak mungkin saya sentuh adalah yang berhubungan dengan politik, baik yang masuk kelompok bersih maupun kotor, yang
bersifat jujur-menjujur ataupun tipu-menipu, dan politik bersayap yang kiri dan yang kanan itu lho. Saya segera menjauhkan pikiran dan tubuh jika bersinggungan dengan
hal tersebut. Misalnya, ketika di televisi sedang ada program berita, cepat-cepat saya ganti sangat sempit pikiran. Banyak orang mengakui hal demikian, ketika sastra
disandingkan dengan ihwal politik. Apalagi, jika politik itu sudah dikaitkan dengan partai tertentu, jelas kelahiran sastra sering diboncengi niat “dalam rangka”.
Kini, saya sudah cukup berdamai dengan bacaan, pun tontonan. Tontonan sastra, entah berupa potongan adegan, garapan seni, pertunjukan puisi, dan sebagainya selalu
bermuatan masalah politik. Pada saat digelar seleksi pertunjukan seni tradisional oleh Dinas Kebudayaan DIY di Socitet Taman Budaya, tanggal 18Juli 2012. Dalam
pagelaran yang berbasis musik gamelan itu, syair-syair dan tabuhan pun tampak nuansa poliitik. Bahkan hasil keputusan dewan juri untuk memenangkan kelompok
tertentu, yaitu Bantul, Kulon Progo, kemudian disusul kabupaten yang lain, juga masih terkakit dengna politik.
Ya, masalah saya sekarang adalah menulis. Entah mengapa pikiran saya selalu menjurus pada sastra khusus sastra Indonesia aja ya. Sehingga, ketika niatnya
menulis sesuatu tentang politik pun hasilnya akan bergaya sastra, ah, ternyata segala kebiasaan saya dulu dalam hal membaca berdampak ketika saya ingin menulis. Sudah
dicoba untuk menolak ide- ide yang ’nyastra’ tapi gak bisa, malah jadi kepikiran gini, kok
jadi aneh ya, kayak gak berpakaian gitu kesannya, Kesan semacam ini pun memiliki nilai politik. Politik itu, adalah ranah pribadi dan sosial yang hendak menguasai keadaan
demi kepentingan tertentu. Politik itu hadir karena adanya kepentingan.
Soekito 1984 menyatakan bahwa dia tidak sempat mengikuti sejarah sastra pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Ketika sastra masih banyak menyeruakkan
kritik seputaran adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu, sampai yang menyangkut area nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Kemudian direvisi oleh
sastrawan Angkatan ’45 yang memilih untuk realistik dengan konsep baru, ”berkarya dengan bebas sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani”. Pada masa lalu, kubangan
sastra senantiasa berkiblat pada masalah ideologi, menuju kemerdekaan. Sastra senantiasa berwawasan politik. Sastra selalu bertuan politik.
Bagi saya sastra sudah begitu tergeneralisasi untuk saat ini, tidak lagi dianggap berat. Ibarat pacaran. Dulu pacaran masih jauh-jauhan, penuh bahasa pujangga,
berbalas pantun bak nyanyian burung yang bersahut-sahutan, sampai janji setia menunggu sang kekasih yang tertuang dalam syair lagu; sekarang, pacaran tidak tabu
lagi, di sinetron saja anak SD sudah dibuat pacaran oleh produsernya. Bisa dilihat dari situs jejaring sosial, Facebook, Twitter, misalnya, bahasa sastra begitu marak
dipergunakan, mungkin dipakai sebagai sarana menumpahkan ekspresi, bahkan forum- forum yang serius pun tak jarang disipi bahasa sastra. Baik itu kutipan dari karya yang
sudah jadi maupun ciptaan sendiri.
Kalau begitu sastra memang memiliki arti politik, yang menawarkan gelagat sosial. Sastra dapat menyadarkan diri agar manusia paham terhadap hidup ini. Orang bercinta
pun sebenarnya sedang bersastra dan sekaligus berpolitik. Keduanya saling asah-asih- asuh menjalin sebuah makna. Hal ini
—saya khawatir—akan bernasib sama dengan tren, di satu sisi maraknya pengguna sastra ini akan menciptakan suatu budaya
apresiasi sastra yang kuat, sehingga akan lebih mudah melahirkan sastrawan- sastrawan baru yang karyanya orisinal, yang akan merajai meja-meja penikmat,
apresiator dan kritikus sastra. Di sisi lain saya takut posisi sastra bisa terjungkal olehnya, apalagi jika pemahaman sastra ini dianggap hanya sebagai sarana
pengungkap perasaan saja, tidak punya kekuatan konstruktif. Bukankah hal ini mungkin sudah terjadi dengan musik kita, ketika ujung pisau komersialisasi
menikamnya, kemudian bermunculan penyanyi-penyanyi instan, bersuara pas-pasan, namun tampang ’menjual’, lagu-lagu plagiat, sampai penipuan publik dalam penampilan
panggung lypsinc. Dalam pandangan saya, biarpun sastra dimanfaatkan secara politik, tidak akan
kehilangan jati dirinya. Sastra tetap berperangai indah. Sastra sejatinya adalah cerita panjang yang dirangkum dalam baris kata, diksi tertentu, nilai keindahan makna dalam
gaya bahasa, hingga titik-koma. Adapun sastra menyimpan energi perjuangan: terhadap ketidakbenaran, menolak penindasan, hingga mengkoarkan kemerdekaan,
itulah muatan politik. Lagu politik sering bertebaran dalam setiap baris sastra. Maka, sastra yang bermuatan politik sering berbelok-belok, mengikuti arus perjuangan.
Lalu, apa bedanya dengan politik. Semakin lama saya merenung semakin pusing kepala saya. Dalam hati saya mempercayai bahwa politik dan sastra mempunyai
hubungan yang tak terlihat namun sejatinya, sangat erat. Apakah ketidakmampuan melihatnya adalah sebab menjamurnya politisi-politisi tak punya idealisme, pun
sastrawan yang pendiam? Dalam larik-larik puisi WS Rendra yang bergolak pada masalah pembangunan, itu pun muatan politik. Sang penyair sedang gerah dengan
kata pembangunan, yang lebih luas lagi ihwal politik. Dalam kacamata penyair, politik selalu tidak menguntungkan sastra.
Pada suatu titik saya berhenti jika dianimasikan seperti lamunan Thomas A.E.: lampu yang tiba-tiba bersinar di atas kepala, Akhinya, dapat disimpulkan bahwa sastra
adalah masalah ”keindahan dan kebaikan”. Indahdan baik itu pun kata-kata politik. Sentuhan politik senantiasa berupaya memeluk hasrat kemanusiaan. Sastra dan politik
selalu bersentuhan dengan persoalan hidup manusia. Usaha manusia mencari kemenangan dan jati diri, itulah basis sastra dan politik. Sastra membangun irama
kehidupan, agar semakin harmoni. Sementara politik ialah tentang ”mengatur kelangsungan hidup” individu maupun kelompok. Hidup pun sering memerlukan
sastra. Gayutan sastra dan politik, seperti air dengan teh, menyatu tidak terpisahkan.
Ketika seorang politikus tidak memahamitidak mempunyai ’jiwa’ sastra maka ia akan menjadi pemimpin yang tidak peka terhadap kebutuhan rakyat, menjadi ‘anak buah’
politiknya sendiri. Politikus yang buta sastra, seringkali pernyataanya kekring dalam memahami kemanusiaan. Sebaliknya, ketika sastrawan buta politik, ia hanya menjadi
’gula-gula’ yang cakupan pengaruhnya hanya sebatas dunia ciptaannya sendiri, boro- boro ikut membangun bangsa. Oleh sebab itu, politikus tidak seharusnya alergi sastra,
begitu pula sastrawan semestinya haus pada plitik.
Jika demikian, sastrawan harus fleksibel, saatnya belajar politik. Begitu pula politikus, sudah saatnya mau melirik sastra. Dalam hal kekuasaan, sastra dan politik
senantiasa berperan penting. Sastra dapat menjadi wahana seseorang meraih kepemimpinan. Lewat sastra kepemimpinan semakin humanis. Begitu pula dengan
politik, seorang pemimpin dapat melanggengkan kepemimpinanna. Pimpinan yang bernaung pada sastra dan politik, jauh lebih disegani dibanding yang sekedar dingin-
dingin saja. B. Politik Sastra dan Sastra Politik Kepemimpinan
Politik itu suatu perilaku yang seharusnya bijak. Politik semestinya halus, penuh dedikasi, dan menenteramkan. Begitu juga politik sastra, adalah tindakan bijak untuk