Falsafah Kepemimpinan Suket teki

BAB III MORALITAS KEPEMIMPINAN JAWA

A. Amanah Moral Sang Raja

Amanah adalah perintah dhawuh, yang memuat tugas dan kesanggupan moral. Amanah adalah kewenangan pimpinan sesuai dengan kitah raja. Kerajaan adalah potret tatanan moral simbolik yang adiluhung. Dari sisi antropologi budaya, keraton selalu meletakan legitimasi sebagai sebuah amanah moral. Semakin tinggi tingkat legitimasi keraton, tatanan moral akan dianut oleh warga. Dalam pandangan Geetz 1992:145 secara antropologis legitimasi itu merupakan upaya pimpinan menguasai orang lainnya. Penguasaan tersebut diakumulasikan dengan tatanan moral. Sri Sultan HB X 2010 adalah sosok pemimpin kerajaan Jawa, yang telah berhasil mengikuti perkembangan jaman, tetapi tetap memperhatikan tatanan moral. Sang raja selalu menegaskan dalam berbagai pertemuan dengan warga masyarakat bahwa masalah kepemimpinan Jawa tampaknya masih sangat relevan untuk dikaji dan diaktualisasikan dalam era global sekarang. Tentunya, dengan beberapa sentuhan yang benar-benar disesuaikan dengan tuntutan, tantangan, dan saat yang tepat untuk penerapannya. Falsafah Kepemimpinan Jawa sendiri sebenarnya dapat kita telaah dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti, yang mengandung dua substansi, yakni kepemimpinan dan kerakyatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari perwatakan patriotis Sang Amurwabumi gelar Ken Arok yang menggambarkan sintese sikap bhairawa-anoraga atau ‘perkasa di luar, lembut di dalam’. Kepemimpinan raja memang memiliki kekhususan. Raja adalah sentral pengambilan keputusan. Hal ini dimanifestasikan dalam sikap yang selalau menunjuk dan berakar ke bumi, atau bhumi sparsa mudra. Intinya adalah kepemimpinan yang berorientasi kerakyatan yang memiliki komitmen setia pada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik, dan sosial. Dalam sebuah seminar tentang Kepemimpinan di Milenium III, beberapa waktu lalu, saya pernah memaparkan prinsip- prinsip kepemimpinan Sultan Agung, diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing, yang memuat tujuh aturan moral. Tujuh aturan itu merupakan wujud pimpinAN Jawa sebagai amanah. Karya besar ini merupakan akumulasi ajaran moral kepemimpinan sang raja Mataram. Pertama, Swadana Maharjeng-tursita, seorang pemimpin haruslah sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, Bahni -bahna Amurbeng- jurit, selalu berda di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, Rukti-setya Garba-rukmi, bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa. Keempat, Sripandayasih- Krani, bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, Gaugana- Hasta, mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, Stiranggana-Cita, sebagai lestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu, dan pembawa obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh, Smara bhumi Adi-manggala, tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada. Ada juga ajaran kepemimpinan yang lain, misalnya, Serat Wulang Jayalengkara yang menyebutkan, seorang penguasa haruslah memiliki watak Wong Catur empat hal, yakni, retna, estri, curiga, dan paksi. Retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem, karena khasiat batu permata adalah untuk memberikan ketenteraman dan melindungi diri. Watak estri atau wanita adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun, mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Sedangkan curiga atau keris, seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah pikir dalam menetapkan policy dan strategi di bidang apapun. Terakhir simbol paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang bebas terbang kemanapun, agar dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat. Ini sekadar menunjukkan contoh, betapa kayanya piwulang para leluhur, selain yang sudah teramat masyur, yan termuat dalam episode Astha Brata. Atau yang lain, kepemimpinan ideal berwatak Pandawa Lima, yang dikawal dengan kesetiaan dan keikhlasan seorang sosok Semar dan punakawan lainnya, anak Semar. Di mana, deskripsi, derivasi dan penjabaran serta aplikasinya dalam suatu kepemimpinan aktual mengundang kajian para budayawan dan cendekiawan kita. Sementara, untuk memahami keberadaan kita sekarang, mungkin ada baiknya jika membuka lembaran babad Giyanti, tatkala Pangeran Mangkubumi sebelum jumeneng Sri Sultan Hamengku Buwono I, bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran, pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyanti, Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti Wijayanti. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliu, bahwa kultur barat sebagai akses gencarnya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, niscaya akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah lunglai tanpa daya. Keadaan ini harus dihadapi dengan wijayanti, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. maka dianjurkannya, puwarane sung awerdi, gagat-gagat- wiyati, untuk menjadi pemenang, seorang Raja haruslah meneladani sikap tulus tampa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala. Ungkapan ini rasanya amat relevan dengan keadaan sekarang ini, karena ada paralelisme histori, di saat kita menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi, yang mengharuskan kita untuk tidak hanya berpangku tangan, melainkan harus bersiap diri untuk lebih meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan. Harus eling lan waspada menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman kalatidha ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba tidha-tidha, penuh was-was, keraguan, dan ketidakpastian. Dalam sebuah seminar tentang kepemimpinan, saya juga pernah mengungkapkan bahwa budaya Jawa masih memegang peran strategis dalam strategi penyiasatan kultural. karennya, ‘perebutan lahan’ di atasnya sulit dihindarkan. Sering terjadi benturan kepentingan antara hegemoni kekuasaan kultural dari berbagai bentuk intervensi. Dalam perbenturan itu, nilai-nilai budaya Jawa sering sulit ditangkap. terlebih yang bersifat immateriil, misalnya kawruh jiwa, sebuah potret Ki Ageng Suryomentaram dan Raden Ngabehi Ranggawarsita yang begitu kabur di hadapan generasi kontemporer. Jika membuka khasanah budaya Jawa, serat Niti Raja Sasana, misalnya, untuk mempertahankan kewibawaan di mata rakyat, setiap pemegang kekuasaan haruslah satyawacana atau ‘satunya kata dengan perbuatan’. Apalagi karena sekarang ini, terlalu banyak keteladanan verbal ketimbang keteladanan aktual. Demikian juga, lebih sering kita mendengar ungkapan simbolik daripada transparansi informasi. Karena sekarang ini banyak dari kita, baik penguasa maupun masyarakat, senantiasa mencari makna-makna simbolik di hampir segala peristiwa. Sampai batas tertentu simbolisme itu perlu dan baik, asal tidak over simbolisasi yang tidak mengakar pada realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna mencapai makna yang nyata dari simbol-simbol yang kita ciptakan sendiri itu. Kita menaruh kekhawatiran besar, jika kemudian yang menjadi penting adalah ungkapan- ungkapan simbolik itu sendiri, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku budaya masyarakat. Sejalan dengan proses dialektika, di mana selalu terjadi penggeseran nilai-nilai zaman, maka apa yang terungkap pada masa-masa yang kemudian, adalah terbentuknya sintesa-sintesa baru tentang konsep kepemimpinan dalam suatu setting sistem kenegaraan yang amat berbeda dengan masa Mataran dulu. Namun kita tetap mendambakan sosok kepemimpinan yang melekat pada dirinya kesempurnaan karakter seorang Satria Pinandhita, yang mungkin hanya dapat kita raih melalui mimpi-mimpi kita. Sungguh kita sedang berada diujung ajalan, atau dipermuaan jalan baru, yang mungkin saja masih pajang untuk bisa mendapatkan saripati manajemen dan kepemimpinan model Jawa yang bernuansa modern untuk bisa diterapkan.

B. Moralitas sebagai Ukuran Kepemimpinan Jawa

Moral merupakan ukuran abstraksi kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan Jawa dapat diukur dari moralitasnya. Jika ada seorang Kapolsek melakukan pelecehan seksual dengan bawahannya, hingga pergi sampai empat bulan, ini jelas dipertanyakan moralitasnya. Begitu pula seorang Kapolsek yang ada main dengan Kapolsek lain, jelas diragukan acuan moralnya. Begitu pula seorang pimpinan partai yang memiliki isteri simpanan di mana-mana, demi pencucian uang, patut dipertanyakan sisi moralnya. Moral menyangkut baik buruk tingkah laku pimpinan. Moral adalah aturan ideologis yang membingkai tindakan seorang pimpinan. Moral merupakan ukuran baik buruk terhadap tindakan seseorang. Pimpinan yang bermoral, tentu memiliki tindakan yang baik. Pimpinan yang tidka bermoral, tentu tindakannya bertentangan dengan nalar. Jika pimpinan Jawa yang sudah jelas kaya, kalau harus korupsi, menumpuk uang, mencuci uang, ini sebenarnya kurang atau tidak bermoral. Sudah jelas ketahuan kalau korupsi, ketika di persidangan masih mengelak, ini juga pimpinan amoral. Setiap wajah kepemimpinan memiliki ideologi, yang memuat moralitas. Ideologi adalah paham kepemimpinan yang melandasi gerak seorang pimpinan. Di Jawa ideologi selalu berhubungan dengan kejawen. Orang Jawa selalu memasalahkan hidup individual yang bermodus kekerasan. Oleh karena orang Jawa menghendaki kepemimpinan berjalan dalam lingkup komunal, penuh kehalusan budi. Pimpinan yang halus budinya adalah orang yang bermoral tinggi. Pimpinan yang menjaga moralitas pun akan mendapat tantangan dan musuh yang tidak ringan. Menurut Mulder 2001:79-85 sekarang musuh di dalam kepemimpinan yang menyebabkan kerisauan sosial, yang dikaitkan oleh kata-kata yang sama, adalah mereka para individu dan kelompok yang terbelenggu oleh individualisme atau