BAB XIII PARODI KEPEMIMPINAN JAWA
A. Parodi Kepemimpinan Punakawan
Parodi adalah sindiran yang sedikit mengejek para pimpinan. Lewat tokoh yang unik, seringkali ki dalang melakukan lakon parodial. Tokoh punakawan adalah figur
yang paling tepat dalam menjalankan parody. Parodi punakawan memang memunculkan kontroversial. Punakawan termasuk tokoh kawula alit, yang dianggap
tidak mungkin menduduki pimpinan. Karena itu dalang yang cerdas akan melakukan parodi yang unik.
Dalam tataran tertentu, setiap orang adalah pemimpin. Punakawan termasuk golongan kelas bawah dalam wayang, namun sebenarnya juga termasuk pemimpin.
Kata puna atau pana dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-
peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan
seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam
kehidupan manusia.
Punakawan adalah pimpinan di lingkungan khusus. Paling tidak mereka adalah memimpin dirinya sendiri. Sebagai seorang pengasuh, punakawan merupakan dunia
yang spesifik. Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas,
sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah
budaya Jawa menyebutnya sebagai watak yang senantiasa tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita. Artinya, mampu memahami keadaan baik yang berupa
tindakan simbolik maupun tindakan nyata.
Dalam istilah pewayangan, panakawan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan
gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Wulucumbu adalah gambaran dunia bawah, namun tetap penting dalam kebermaknaan kehidupan. Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua
kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling
kontradiksi.
Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya. Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong Sunda: Cepot. Mereka menggambarkan kelompok punakawan
yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah
Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegara” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan
menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengembanmomong para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama
dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadagfisik, tetapi yang ada dalam keadaan samarsemar. Dalam uthak-athik-gathuk
dalam budaya Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati sukma sejati, yang ada dalam jati diri kita.
Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud
Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api idu geni. Apa yang diucapkan oleh guru sejati menjadi sangat bertuah, karena
ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah
sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria
Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu dituakan
dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam menghadapi pahit getirnya
kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan sebutan “kakang”. Kelompok punakawan ini bertugas menemani mengabdi para bendhara bos
nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke
masa. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala
susah. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan
kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus
dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang
bendhara mengalami kesedihan.
Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa nafsu al mutmainah.
Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf. Adapun watak
kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana. Dengan demikian, di bawah pimpinan punakawan, satria
akan berjalan lurus. Manakala satria akan bengkok, punakawan yang meluruskan.
B. Petruk Dadi Ratu: Sebuah Pembangkangan Pemimpin
Banyak yang mengartikan lakon Petruk Dadi Ratu sebagai sebuah simbol ketidak becusan seorang pemimpin, atau seorang yang tidak layak menjadi pemimpin dijadikan
pemimpin wal hasil adalah kekacauan. Bisa juga di artikan sebagai khayalan yang berlebih, lha masak Petruk ingin menjadi pemimpin, jongos mau jadi Raja.
Meski sebenaranya hal itu tidaklah tepat, karena pada dasarnya Petruk adalah bukan manusia biasa, Petruk merupakan cerminan dari salah satu pribadi Semar. Kesaktian
Petruk melebihi kesaktian para Dewa dan Penguasa mayapada Baca Tentang Siapa Petruk. Lantas apa yang mendasari kemudian keluarnya lakon Petruk Dadi ratu ?,
jawabannya adalah kekacauan dan ketidakseimbangan.
Segalanya berjalan sudah tidak pada fitrahnya, sudah tidak pada tempatnya. Dimana Pebisnis menjadi pejabat, dimana pemuka agama menjadi wakil rakyat, dimana
pelawak menjadi wakil rakyat. Apa yang terjadi jika kuda makan sambal, bahkan doyan sambal ? yang terjadi adalah keliaran, sang kuda ngamuk. Apa yang terjadi jika
kambing suka makan daging ? yang terjadi adalah kambing menjadi buas. Apa yang terjadi ketika harimau memakan rumput ? yang terjadi adalah harimau menjadi
pengecut.
Dalam dunia pewayangan, saat gonjang-ganjing sudah sampai pada taraf yang sangat tidak wajar, para punakawan
—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—mulai membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan
Jonggring Saloko istana para penguasa, mengobrak-abrik dan mendekonstruksi tatanan yang selama ini dipakai para penguasa serta para elite untuk berselingkuh dan
melakukan manipulasi. Arjuna, sang sang pimpinan yang biasanya dilayani punakawan, dipaksa mematuhi titah Petruk, sang raja baru. Saat itulah Petruk membuka seluruh aib
para penguasa. Yang perlu disingkapi dalam lakon ini adalah bukan khayalan seperti versi umum, melainkan adalah Petruk sebagai pemimpin Revolusi yang menjungkir
balikan tatanan khayangan yang pada saat itu memang sudah sangat kacau. Petruk merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya.
Hal itu hanya dilakukan oleh Petruk dalam satu malam, hal ini menyiratkan bahwa Petruk adalah pribadi yang sadar akan peranannya, setelah semua baik, semua
berjalan normal, maka Petruk kembali kepada peranan awalnya menjadi seorang pengabdi. Episode Petruk Dadi Ratu Ini ditutup dengan turunnya Semar mengatasi
kondisi
………Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu
tahu apa
isi hatiku,
selain Dia
aku tak
perduli” Kembali dia mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung
tembang pangkur: “Mingkar-mingkuring angkara, akarana karanan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinubo sinukarto….”
Sebagai salah satu punakawan resmi mayapada. Petruk sudah mengabdi kepada puluhan”ndoro” tuan, sejak jaman Wisnu pertama kali menitis ke dunia. Hingga saat
Wisnu menitis sebagai Arjuna Sasrabahu, menitis lagi sebagai Rama Wijaya, menitis lagi sebagai Sri Kresna. Petruk tetap di sini sebagai seorang pengabdi, karena itu
adalah peranan agungnya.
Petruk hanya bisa tersenyum kadang tertawa geli, dan sesekali melancarkan protes akan kelakuan “ndoro-ndoro” tuan-tuan-nya yang sering kali tak bisa diterima
nalar. Tapi ya memang hanya itu peran Petruk di mayapada ini. Dia tidak punya wewenang lebih dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk tidak akan mampu
ditandingi oleh tuannya yang manapun juga.
Berbeda dengan Gareng yang meledak-ledak dalam menanggapi kegilaan mayapada, berbeda pula dengan Bagong yang sok cuek dan selalu mengabaikan
tatakrama. Petruk berusaha lebih realistis dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Meskipun nyeri dadanya acapkali muncul saat melihat kejadian-kejadian hasil rekayasa
ndoro-ndoro nya.