keseimbangan hubungan-hubungan antar negara. Nafsu berperang suatu negara pertama-tama ditujukan kepada satu atau beberapa negara tetangga terdekat, dan
dengan demikian diperlukan persahabatar: negara yang berada di sebelah sana dari musuh itu, yang karena dekatnya, menjadi musuh yang wajar pula dari musuh
itu. Tetapi seandainya musuh bersama itu telah ditaklukkan, maka kedua sekutu itu akan menjadi tetangga-tetangga dekat, yang tentu akan menimbulkan permusuhan
baru. Jadi lingkaran persekutuan dan permusuhan ini akan selalu meluas sampai tercapai suatu perdamaian universal, dengan didirikannya suatu negara dunia
dengan seorang penguasa tunggal tertinggi chakravartin.
Beberapa hal penting timbul dari gambaran mandala ini sebagai dasar hubungan-hubungan intemasional atal.t, lebih tepat lagi, hubungan-hubungan antara
kerajaan. Yang per
-
tama adalah bahwa musuh a priori seorang penguasa adalah tetangga terdekatnya. Moertono tidak menjelaskan lebih lanjut alasanalasan
mengapa pola seperti ini harus ada. Tetapi kalau garis umum argumentasi saya itu benar, maka logikanya menjadi amat jelas. Telah saya kemukakan bagaimana
dalam pemikiran orang Jawa, kekuasaan penguasa tidak terbagi rata di seluruh wilayah kerajaan, tetapi cenderung untuk menipis secara merata jika semakin jauh
dari pusat, sehingga ia paling lemah justru pada titik di mana daerah kekuasaa n menyatu dengan daerah tetangganya. Jadi kalau ia ingin agar kekuasaannya tidak
diperkecil dan diperlemah oleh tarikan kekuasaan tetangganya, haruslah ia pertama - tama berusaha m?nggunakan kekuasaannya iiu terhadap kekuasaan tetangganya.
Kita dapat mengingat kembali mengenai gagasan bahwa jumlah kekuasaart dalam alam semesta ini tetap, mengandung arti bahwa kalau jumlah kekuasaan di suatu
tempat bertambah besar, maka jmuiail kekuasaan di tempat lain berkurang dalam jumlah yang tepat sama. Karena kekuasaan itu seperti zat cair dan tidak stabil,
selalu siap terpencar dan membaur, maka agresi anta Negara sudah tentu menjadi asumsi pokok dalam hubungan antamegara.
Ada tiga cara yang mungkin dilakukan dalam menghadapi ancaman yang datang dari pemusatan-pemusatan kekuasaarl yang dekat, yaitu menghancurkan
dan mengobrak-abrik, menyerap, atau kombinasi kedua hal itu. Menghancurkan musuh sebagaimana yang misalnya dilakukan Sultan Agung dalam rangkaian
operasi penaklukannya yang kejam terhadap negara-negara kota perdagangan di pasisir pantai utara Pulau .1awa, ada kerugian-kerugiannya. Pada tingkat
praktisnya saja, penghancuran total akan meuyebabkan habisnya penduduk set;empat, menimbulkan kekacauan dan kemunduran ekonomi, dan kemudian
mungkin akan menyebabkan timbulnya pemberontakan dan perlawanan gerilya. Pemindahan penduduk mungkin dapat mencegah timbulnya masalah yang tersebut
terakhir ini, tetapi seandainya pemindahan itu tidak menyeluruh, maka timbulnya masalah ini mungkin tidak dapat dicegah secara pasti.
f
Dipandang dari segi yang lebih teoretis, mcmusnahkan orang-orang lain tidak dengan sendirinya berarti
memperluas atau memperbesar kekuasaan penguasa itu, tetapi hanya berarti menceraiberaikan kekuasaan lawan, yang mungkin diambil atau diserap oleh lawan -
lawan lain. Lagi pula, menghancurkan itu sendiri adalah cara yang paling kasar untuk menaklukkan musuh, dan karena itu merupakan cara yang paling tidak
diinginkan. Yang lebih memuaskan adalah cara menyerap, yang dalam praktik
mungkin berupa tekanan diplomasi, dan cara-cara lain yang halus beradab untuk menyebabkan diakuinya keunggulan dan kekuasaannya.
Dalam teori, penyerapan itu dianggap sebagai tunduknya kerajaan-kerajaan yang bertetangga secara sukarela kepada kekuasaan seorang penguasa yang
tertinggi. Karena itu, dalam pelukisan klasik raja-raja besar dulu kala kita jumpai bahwa raja sewu negara nungkul sujud, seribu raja tunduk kepadanya. Patut juga
diperhatikan bahwa dalam sanjungan terhadap seorang penguasa, tidak disebut keberaniannya dalam menakhlukkan kekuasaan lain.
Ketiga, akibat terakhir yang logis dari hubungan-hubungan antarmandala adalah timbulnya chakravartin, yang dalam bahasa Jawa ialah: prabu murbeng
wisesa anyakrawati penguasa dunia. Bentuk ideal kekuasaan duniawi adalah suatu kerajaan dunia, di mana seluruh satuan politik digabung dalam suatu persatuan
yang padu, sehingga pasang surutnya kekuasa
an y
ang terkandung dalam alam semesta yang mempunyai banyal: mandala yang saling bententangan satu sama
lain untul: sementara tidak akan ada lagi. Suatu ilustrasi yang menarik dari posisi sentral yang dipunyai oleh universalisme dalam pemikiran politik Jawa ialah bahwa
kata-kata yang berarti alam semesta buwana dan dunia alamiah alam terdapat dalam gelar tiga dari empat raja Jawa sekarang ini: Paku Buwana, Hamengku
Buwana dan Paku Alam.
Akhirnya, barangkali bukan hanya suatu kebetulan bahwa pola khas hubungan - hubungan politik antara Jawa dan pulaupulau lain cenderung untuk menyerupai
hubungan lompat katak yang digambarkan oleh Moertono dalam pembahasannya tentang mandala. Dalam periode kemerdekaan saja, kita temukan contoh -contoh
menarik dari pola ini dalam hubunganhubungan yang erat antara pusat dan Batak Karo dalam menghadapi Batak Toba yang dominan di Sumatra Timur: antara pusat
dan kelompok-kelompok Dayak pedalaman dalam menghadapi orang Banjar di Kalimantan Selatan; dan antara pusat dengan orang Toraja pedalaman dalam
menghadapi orang Bugis dan orang Makassar di Sulawesi Selatan. Walaupun pola lompat katak ini dapat dipahami dengan baik berdasarkan teori politik Barat,
namun pola itu tidak amat konsisten dengan suatu kerangka intelektual lain yang amat berbeda.
BAB XV KEPEMIMPINAN JAWA MASA DEPAN
A. Pimpinan Sebagai Suri Tauladan
Tidak mudah mencari sosok pimpinan Jawa yang dapat dijadikan contoh di masa depan. Pemerintahan kita sudah semakin bebas dan carut marut dengan aneka
kepentingan. Di tengah pemerintahan “baru” yang sedang menuju wajah Indonesia baru ini jelas dibutuhkan tingkat kepemimpinan utama. Pemimpin, memang banyak, tapi
yang benar-benar pemimpin utama sejati mungkin masih terbatas jumlahnya. Menurut hemat saya, pemimpin utama antara lain harus berjiwa asih asah asuh. Maksudnya,
kata asih berarti cinta terhadap orang lain bawahan, rakyat, kata asah berarti menggosok agar yang dipimpin semakin tajam pemikirannya, dan kata asuh berarti
ngemong mengayomi.
Pimpinan Jawa masa depan adalah sosok yang dapat menjadi suri tauladan. Terkikisnya kepercayaan rakyat pada pimpinan dewasa ini, karena hilangnya contoh.
Rakyat yang sudah semakin kritis ini, membutuhkan contoh pimpinan yang peduli pada nasibnya. Pimpinan yang mampu menghayati proses ”jika aku menjadi” adalah contoh
istimewa. Pimpinan demikian, di mamsa depan akan mendapat apresiasi luar biasa dari rakyat. Hal ini penting karena setiap pimpinan pasti berhadapan dengan orang senang
dan tidak senang. Manakala pimpinan mampu menyelami apa yang digemari rakyat, tentu akan disukai. Pimpinan yang mampu menunjukkan contoh kebaikan, juga akan
dicontoh bawahannya.
Pimpinan Jawa demikian, kemungkinan menjadi jawaban masa depan. Pimpinan yang mampu menjadi dirinya sendiri, untuk kepentingnan orang lain, merupakan sosok
penting masa depan. Pimpinan yang merakyat, sehingga tidak ada resistensi sedikit pun adalah harapan semua orang. Menurut da’i kondang sejuta umat, KH Zainuddin MZ
pemimpin yang berjiwa asah asih asuh A3 diibaratkan seperti sikap tangan kanan dengan tangan kiri. Keduanya saling bantu membantu, yakni meskipun tangan kanan
yang tanda tangan, pegang uang, jika dibelikan arloji, diberikan ke tangan kiri. Kata asah asih asuh diturunkan dari bahasa Inggris nurture, berarti pemeliharaan yang amat
luas, meliputi pemberian perhatian, dukungan, bantuan, kasih sayang, pelayanan, dan bimbingan atau pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan seseorang sehingga orang
tersebut mampu berkembang secara sehat.
Kata asih tercakup segala aspek yang berkaitan dengan kasih sayang; pelayanan kasih, saling memberi dan menerima, penuh perhatian atau afeksi, mengedepankan
persahabatan, dan sebagainya. Kata asah tercakup aspek yang berhubungan dengan pengembangan pribadi; bimbingan, pendidikan, dan bantuan lain untuk tujuan karier.
Kata asuh berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dan dukungan sehingga orang lain tetap tegak berdiri serta menjalani hidupnya secara sehat.
Dari makna di atas, kepemimpinan asah asih asuh terkandung konsep falsafah kepemimpinan ideal, yang memiliki ciri-ciri: pertama, orang-orang yang suci dan ikhlas
memberikan ajaran dan bimbingan hidup sejahtera lahir dan batin kepada rakyat, seperti para pendeta dan pembantu-pembantunya serta seperti kyai dan santri-
santrinya. Kedua, orang-orang dari keturunan baik-baik, berkedudukan pantas, yang ahli, yang rajin menambah pengetahuan, yang hidup berkecukupan dan yang jujur.
Itulah persyaratan guru yang baik. Ketiga, orang-orang yang paham akan hukum- hukum agama, yang beribadah dan tak ragu-ragu akan kebenaran Tuhan, yang suka
bertapa, yang tekun mengabdi masyarakat dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain. Itulah persyaratan bagi orang yang pantas dijadikan guru.
Pemimpin bangsa yang mempunyai watak dan iktikad ideal seperti itu, niscaya memiliki wibawa atau kharisma tinggi. Kepemimpinannya berpengaruh besar dan
mendatangkan kebahagian lahir batin kepada rakyat. Sebaliknya, bilamana watak sang pemimpin bertentangan dengan masyarakat luas dan sedikitnya tidak mendekati
persyaratan itu, hanya akan mengundang malapetaka kepada negara dan anak keturunan bangsanya.
Pemimpin asih menghendaki agar seorang pimpinan wajib memberikan penghargaan yang sepantasnya kepada warga yang berhasil menunjukkan prestasi. Di
sini terkandung pesan filosofi bahwa dengan pemberian perhatian dan motivasi secara manusiawi, dengan penuh kasih sayang, akhirnya bawahan akan terdorong secara
alamiah wajar. Dalam kaitan ini, pimpinan asih berkewajiban memberikan kemakmuran bawahan abdi, rakyat dan wajib membahagiakan bawahan dengan
memberikan sandang pangan secukupnya.
Pemimpin asah lebih terfokus pada karakteristik sebagai pengayom. Sifat pemimpin demikian disebut mengku melindungi. Namun, dalam mengayomi itu, ada
hal yang perlu diingat, yaitu harus dilandasi nalar pikiran dan hukum. Pemimpin bertanggung jawab memberikan petuah tentang kewajiban warga negara. Pemimpin
juga bertugas menatar moralitas para prajurit. Antara lain, seorang prajurit harus bersikap: jangan mudah berkecil hati, putus asa, dan kurang bersemangat, hendaknya
berhati-hati dalam melaksanakan kewajiban, menjaga kondisi badan secara teratur, menjaga keselamatan leluhurnya, jangan sampai punah keturunannya.
Pemimpin asuh artinya bersikap membimbing bawahan agar tidak meninggalkan jasa para leluhur. Sebaliknya, pemimpin juga harus rela dan ikhlas terhadap
kedudukannya jika sewaktu-waktu digantikan. Kedudukan tidak akan selamanya. Hanya saja, pemimpin menghendaki bahwa penggantinya nanti harus orang yang baik
dan tidak bertingkah hina. Pimpinan wajib membimbing dan membina ke arah kesejahteraan bawahan. Ia harus bersikap mahambeg adil paramarta, tidak membeda-
bedakan kawula. Ia juga harus ing ngarsa sung tuladha dalam hal sikap ikhlas, terutama jika kedudukan sudah saatnya digantikan janganlah owel. Kedudukan itu
hanyalah sampiran dan amanat yang sewaktu-waktu bisa diambil.
B. Memahami Kepemimpinan Jawa Asah Asih Asuh
Kepemimpinan Jawa A3 termasuk harapan seluruh orang Jawa. Konteks kepemimpinan semacam ini, di era reformasi yang dibarengi dengan lajunya arus
globalisasi ini kepemimpinan ideal semakin dibutuhkan. Pemimpin yang menggunakan nalar jernih, semangat melindungi, dan mau membimbing, adalah dambaan seluruh
rakyat. Jika konteks ini dapat diaplikasikan dalam hidup sehari-hari tentu rakyat akan bahagia. Hal ini mengingat semakin merebaknya gejala kritis masyarakat yang pada
gilirannya muncul perilaku-perilaku seperti unjuk rasa, mogok kerja, bawahan menjilat atasan, atasan menskors bawahan, budaya kekerasan, dan sejenisnya. Gejala-gejala
serupa timbul boleh jadi diakibatkan karena figur kepemimpinan belum memenuhi aspirasi bawah, sebaliknya sikap dan perilaku bawahan juga belum sesuai harapan
atasan.
Berbagai tipefigur kepemimpinan Jawa memang telah dikemukakan dan diserukan oleh tokoh-tokoh penting kita, namun masing-masing selalu mengandung
banyak kelemahan. Akibatnya, sering laju tumbuhnya bangsa bisa terhambat oleh ketimpangan, kegelisahan, erosi, dan kekurangmantapan kepemimpinan. Ki Hadjar
Dewantoro 1985: 73, telah merumuskan tiga figur kepemimpinan, yaitu 1 ing ngarsa sung tuladha, di muka memberi suri tauladan 2 ing madya mangun karsa, ditengah-
tengah menumbuhkan kemampuan, dan 3 tutwuri Handayani, dibelakang menumbuhkan daya gerak. Kepemimpinan semacam ini juga tidak mudah aplikasinya,
karena benturan-benturan pun selalu hadir. Jika demikian, slogan kepemimpinan yang anggun itu belum bisa menjamin keberhasilan kepemimpinan kita.
Pada bagian lain, mantan Presiden Soeharto juga pernah mengemukakan landasan kepemimpinan, yaitu 1 bersifat ratu, bijaksana dan adil, 2 sifat pandhita,
waspada dan pandai menjangkau masa depan sense of anticipation, dan 3 sifat petani, seadanya, jujur, tanpa mengharapkan yang bukan-bukan. Ketiga konsep
tersebut ternyata juga belum sepenuhnya dapat menjawab tantangan zaman. Oleh sebab itu tipe dan falsafah kepemimpinan harus selalu dicari dan disesuaikan dengan
arus perkembangan zaman. Manakala pemimpin bangsa menguasai tiga sifat pimpinan itu, watak asah asih asuh dapat diraih. Asah asih asuh merupakan landasan
kepemimpinan yang sjealan dengan nilai-nilai kejawaan.
Falsafah kepemimpinan asah asih asuh tersebut telah dirumuskan secara estetis oleh pujangga besar KGPAA Mangkunegara IV ke dalam karya-karyanya.
Kepemimpinan tersebut sering didengungkan pemimpin kita pada setiap membuka acara-acara yang terkait dengan pemerintahan. Seiring dengan tuntutan zaman, yakni
pola pikir masyarakat semakin kritis, tanpa figur kepemimpinan yang handal, yakni falsasafah kepemimpinan asah asih asuh akan menjadi salah satu alternatif pegangan
seorang pemimpin.
Kepemimpinan asah asih asuh sering didengungkan oleh para pemimpin yang lebih tinggi kepada pimpinan bawahannya. Ada yang mengucapkan Asih Asah Asuh
dan Asah Asih Asuh. Dari sini jelas bahwa kata asuh, jarang diletakkan di muka. Pembolakbalikan demikian tidak menjadi masalah, karena ketiganya mengandung
pengertian yang saling melengkapi. Dalam kamus Bausastra Jawa tahun 1939 diterangkan bahwa kata asih berarti cinta terhadap orang lain, kata asah berarti
menggosok agar tajam, termasuk pikiran, dan kata asuh tidak dijelaskan, karena besar kemungkinan berasal dari bahasa Indonesia asuh yang dalam bahasa Jawa berarti
ngemong.
Sikap dan perilaku kepemimpinan asah asih asuh itu juga menjadi pegangan pada jajaran BNI 1946, yang tertulis pada salah satu kewajiban pimpinan bank hendaknya
bersikap asah mengingatkan bawahan, asih menghargai bawahan, dan asuh mau membimbing. Kewajiban pemimpin yang berfigur asah asih asuh itu oleh zainuddin mz