Petruk sudah hafal betul dengan model paham kekuasaan di Karang Kedempel dari waktu ke waktu. Kalau mau, sebenarnya bisa saja Petruk mengamuk dan
menghajar siapa saja yang dianggap bertanggung jawab atas kesemrawutan pemerintahan. Dengan kesaktiannya, apa yang tak bisa dilakukan Petruk, bahkan
dulu pernah terjadi, Sri Kresna hampir saja musnah menjadi debu dihajar anak Kyai Semar ini.
Tapi Petruk sudah memutuskan untuk mengambil posisi sebagai punakawan yang resmi. Dia sudah bertekad tidak lagi mengambil tindakan konyol seperti yang dulu
sering dia lakukan. Baginya, kemuliaan seseorang tidak terletak pada status sosial. Pengabdian tidak harus dengan menempati posisi tertentu. Melinkan pada
pengabdiannya terhadap nusa dan bangsa.
Singkat cerita Petruk menjelma menjadi Prabu Kanthong Bolong, Petruk melabrak semua tatanan yang sudah terlanjur menjadi “main stream” model kekuasaan di
mayapada. Dia menjungkirbalikkan anggapan umum, bahwa penguasa boleh bertindak semaunya, bahwa raja punya hak penuh untuk berlaku adil atapun tidak. Karuan saja,
Ulah Prabu Kanthong Bolong membuat resah raja-raja lain. Bahkan, kahyangan Junggring Saloka pun ikut-ikutan gelisah. Kawah Candradimuka mendidih perlambang
adanya “ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para dewa. Maka secara aklamasi disepakati, skenario “mengeliminir” raja biang keresahan.
Persekutuan raja dan dewa dibentuk, guna melenyapkan suara sumbang yang mengganggu
tatanan keyamanan
yang sudah
terbentuk selama
ini. Hasilnya?, semua usaha untuk melenyapkan suara sumbang itu gagal total.Bukannya
Prabu Kanthong Bolong yang mati. Tapi raja jadi-jadian Petruk ini malah mengamuk. Siapapun yang mendekat dihajarnya habis-habisan. Kresna dan Baladewa dibuat
babak
belur. Batara
Guru sang
penguasa kahyangan
lari terbirit-birit.
Kesaktian dan semua ajian milik dewa-dewa dan raja-raja, seperti tak ada artinya menghadapi Prabu Kanthong Bolong. Tahta Jungring Saloka pun dikuasai raja murka
ini. Keadaan semakin semrawut. Sampai akhirnya Semar Bodronoyo turun tangan mengendalikan situasi.
“Ngger, Petruk anakku”, Semar berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti biasanya. “Jangan kau kira aku tidak mengenalimu, ngger”
“Apa yang sudah kau lakukan, thole? Apa yang kau inginkan? Apakah kamu merasa hina menjadi kawulo alit? Apakah kamu merasa lebih mulia bila menjadi raja?
“Sadarlah ngger, jadilah dirimu sendiri“. Prabu Kanthong Bolong yang gagah dan tampan, berubah seketika menjadi Petruk.
Berlutut dihadapan Semar. Dan Episode “Petruk Dadi Ratu” pun berakhir. Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu tahu apa
isi hatiku, selain Dia aku tak perduli ” Kembali dia mengayunkan “pecok”nya membelah
kayu bakar. Sambil bersenandung tembang pangkur: “Mingkar-mingkuring angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinubo sinukarto….”
Hahahaha dan Petruk pun tertawa kembali melakoni perannya sebagai Punakawan Resmi mayapada ini.
Dalam pandangan Lombard 2005:135 lakon Petruk Dadi Ratu memang khas Jawa. Hal ini merupakan dunia mungkin bahwa rakyat kecil ketika memiliki pusaka
Kalimasada, akhirnya dapat menjadi penguasa. Kepemimpinan semacam ini jelas sebuah ironi bagi bangsa. Dalam istilah Pramono 2010:157 ironi merupakan komidi
satir, artinya sebuah sindiran pada pimpinan. Banyak komidi satir yang memelototkan mata, misalnya model Sentilan-Sentilun Metro TV, yang dimotori Butet Kertarajasa.
Komidi satir inimerupakan strategi kritis pada kondisi bangsa. Mungkin sekali lakon dan komidi ini sebuah pembangkangan rakyat, yang sudah lelah menghadapi pimpinan.
Tegasnya, lakon dan segala bentuk ironi demikian merupakan nasihat moral bagi setiap pimpinan, jika mau mendengarkan suara rakyat.
C. Parodi Putih Lakon Petruk Dadi Ratu
Waktu Petruk menjadi raja, banyak orang menertawakannya. Menurut banyak orang, Petruk dadi Ratu itu hanyalah lakon impian, lakon lamunan rakyat bawahan yang
tak dapat memperbaiki keadaan. Mana mungkin rakyat miskin dan bodoh menjadi raja kaya dan bijaksana? Ada pula yang bilang, lakon itu adalah pasemon sindiran tentang
kere munggah mbale gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan. Lainnya lagi mengejek, lakon itu hanyalah dagelan untuk menghibur orang miskin. Dan sebagian
lagi berpendapat, Petruk dadi ratu itu kisah aji mumpung kebetulan, di mana orang miskin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Di zaman Belanda dulu, Petruk
dadi Ratu juga hanya dipandang sebagai guyonan. Petruk disebut sebagai Opperbevelhebber, jendral berkuasa, yang memerintah semua belantara. Sebagai
penguasa, Petruk menjungkirbalikkan pranatan. Di negaranya, Lojitengara, menghisab candu dihalalkan, main judi dinaikkan derajatnya menjadi sport utama, yang
dipopulerkan bagi semua warga negara.
Dari dulu sampai sekarang, entah orang Jawa ataupun Belanda, mereka semua ternyata tidak mengerti wayang. Mereka memikirkan wayang secara wadag fisik.
Pantas, jika mereka menganggap saya, hamba sahaya yang kecil dan miskin ini, menggunakan kesempatan, berpestaria menjadi raja. Petruk dadi Ratu itu bukan
lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakonnya orang kecil beraji mumpung, tapi lakon mencoke wahyu marang kawula hinggapnya wahyu pada diri rakyat, kata Petruk.
Petruk mengenang, bagaimana ia sampai menjadi raja. Alkisah, tuannya, Abimanyu menderita sakit. Abimanyu adalah perantara, yang nantinya akan mewariskan dampar
tahta Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang
menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu.
Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-
Geduwel Beh. Untuk kukuh menjadi raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Petruk memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya
— titisan Anoman
—dan Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel Beh mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi
berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang
bisa dililing dilihat dan ditimang. Petruk kembali menyuruh kedua utusannya, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa
memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu
yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit. Ketika dipangku Prabu Wel-Geduwel Beh, Abimanyu sembuh. Dan Abimanyu berkata, Kamu takkan bisa menduduki tahta
itu, jika kamu tidak memangku aku.
Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk
sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abimanyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu
takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini, kata Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya.
Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk
sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan dihinggapi wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada
orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang
memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu.
Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong
jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang
bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan
hidup raja, bahkan ketiak ia berhadapan dengan akhiratnya, ujar Petruk. Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah
abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman.
Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates rakyat itu ada
tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas, kata Petruk.
Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. Maka seharusnya penguasa
itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula menjarah hidup rakyat. Kwasa iku kudu ana lelabuhane kuasa
itu harus mau berkorban. Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung dianggap oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi
, kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja
yang koncatan ditinggalkan wahyu, kata Petruk.
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya?
Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya
hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa
berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini, jawab Petruk.
Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah
hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti
ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dib
unuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia…. Raja dan rakyat harus wengku-winengku saling memangku, rangkul-merangkul,
seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk, kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.
D. Anekdot Kepemimpinan pada Lakon Petruk Dadi Ratu
Dalam jagat pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dalam laut
bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang
berkelahi. Ia tokoh yang selalu hadir ketika suasana buntu, membeku, dan menjadi tokoh ‘satir’ ketika priyayi andalannya ternyata mengecewakan publik. Dengan
demikian ia hadir sebagai pemimpin atau tokoh keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain.
Kehadiranya selalu dengan gaya humor, ngelantur, omong kosong, ngalor ngidul dan menghibur. Memecah kebekuan, menghalau kesunyian dan menebarkan
kesahajaan. Ia seorang abdi yang selalu lekat dengan kaum priyayi. Ia merepresentasikan kaum kecil, berpendidikan rendah, dan merakyat. Ia pun
seben arnya pernah sekolah, tapi nggak lulus, kemudian menempuh ‘kejar paket’, hanya
untuk label etiket. Selang beberapa tahun kemudian, kariernya meroket. Ia duduk-duduk dan masuk
dalam link pemerintahan Pandawa dan bala tengen. Ia sering ikut priyayi besar dalam acara-acara kenegaraan dan peperangan. Ia pun akhirnya berfikir bagaimana agar
dirinya sejajar dengan priyayi atasannya. Maka ia pun menempuh kuliah ‘instan’ di
pertapan ‘Tanpakariya’, dan berkat kesaktiannya, ia pun menyandang gelar sarjana. Sarjana hiburan, untuk pantas-pantasan, untuk menghibur hatinya agar kelihatan
mentereng di hadapan priyayi juragannya.
Yang jelas, walau gelar sarjana sudah menempel. ia sendiri nggak paham dengan gelar kesarjanaannya, apa keahliannya, bagaimana menerapkannya, dan bagaimana
prosesnya. Yang penting gelar sarjana sudah melekat di pundaknya. Yang penting lagi, orang desa semakin bangga dengan dirinya. Di samping ia merakyat, ia juga sarjana.
Maka tak heran, pada waktu pilkades, ia pun terpilih menjadi lurah, yang didukung penuh oleh rakyatnya. Gelar barunya Ki Lurah Petruk Kanthong Bolong.
Sekarang kita kembali pada kisah di atas. Pada suatu hari, Bambang Pecruk Panyukilan ingin berkelana mencari lawan tanding, guna menguji kekuatan dan
kesaktiannya. Semua rapalan mantra, ajian kebal, senjata pethel sakti, keris junjung luhur, junjung derajat, dan lainnya, telah disiapkan dalam ransel dan lipatan sarungnya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang tengah refreshing jogging di atas bukit, sambil bermain ruyung di tangannya. Melihat