Kasekten dan Tradisi Kepemimpinan Jawa Ortodok

tama dianggap jahat atau tidak bermoral, tetapi merupakan sesuatu yang mengalihkan dan mengacaukan pemikiran, dan karena itu menyebabkan hilangnya kekuasaan. Banyak contoh garis pemikiran seperti ini ditemitkan dalam kepustakaan tradisional. Bukan hanya para satria yang suka melakukan praktik-praktik matiraga. Sebagian dari mereka yang paling gigih melakukan hidup matiraga ini berasal dari kalangan buta dalam arti Jawa dan raksasa yang dalam lakon-lakon wayang merupakan musuh abadi para dewa dan manusia. Karena itu, kekuasaan mereka sering luar biasa, malah kadang-kadang melebihi kekuasaan dewa-dewa. Tetapi perbedaan pokok antara para satria dan musuh-musullnya adalah bahwa pada akhirnya musuh-musuhnya itu membiarkan kekuasaan mereka kacau balau, karena mereka menuruti hawa nafsu tanpa kekangan, sedangkan para satria mempertahankan kebulatan tekad dan kesatuan tujuannya secara ketat, yang menjamin dapat dipertahankannya dan dihimpunnya kekuasaan secara terus-menerus. Paham ortodok kejawen memang masih memunculkan kontroversi dalam kancah kepemimpinan. Ada pemimpin yang pergi ke dukun, selalu dikatakan menyimpang. Ada pemimpin yang memelihara burung perkuktut, dianggap berlebihan. Jadi orang Jawa yang demikian sering dianggap aneh, bahkan ada yang menuding sebagai orang sinting. Silahkan saja, tetapi realitas sulit dibantah bahwa jagad kepemimpinan Jawa senantiasa ada yang memanfaatkan paham ortodok. Paham itu tetap penting dan ada manfaatnya.

B. Sipat Kandel: Simbolisme Kekuasaan dan Kepemimpinan Jawa

Kepemimpinan Jawa sering memanfaatkan sipat kandel sebagai pusaka penting, untuk mempertahankan kekuasaan. Sipat kandel adalah pusaka andalan sang pemimpin. Pusaka tersebut yang menimbulkan rasa percaya diri ketika memimpin sebuah komunitas. Manakala seseorang mempunyai sipat kandel, kepemimpinan akan langgeng dan lebih berwibawa. Sipat kandel pada masa lalu, jaman Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya disebut keris Setan Kober. Di kraton Mataram ada sipat kandel yang disebut tombak Kyai Pleret. Di jaman Ki Ageng Mangir ada pusaka mistis disebut Kyai Tombak Baru Klinthing. Masih banyak lagi pusaka aji yang tergolong sipat kandel. Tidak hanya keraton yang memiliki, melainkan orang yang memimpin desa pun memilikinya. Sipat kandel dapat diperoleh melalui laku perihatin tirakat. Ada pula sipat kandel yang berupa warisan tujuh kekturunan. Sipat kandel warisan pun tidak semua orang mampu memelikinya. Oleh sebab itu, berbabagai ritual kejawen sering dilakukan untuk memuliakan sipat kandel. Ritual membershkan sipat kandel sering bersifat politik. Ada pula ritual yang dikaitkna dengan pertunjukan wayang, untuk menghormati sipat kandel tertentu. Beberapa upacara sangat jelas bersifat memanggil seperti misalnya mengadakan pertunjukan wayang di istana presiden dengan lakon-lakon yang dipilih secara khusus karena simbolisme politiknya yang relevanimbol politik itu tidak lain untuk memperkokoh kepemimpinan dan memuja sipat kandel. Pimpinan juga sering memanggil para pemimpin berbagai kelompok spiritual dan mistik yang disebut nujum untuk melakukan ritual khusus sipat kandel. Pimpinan yang mengikuti laku kistik, menurut Woodward 1999:104 merupakan bentuk perilaku keagamaan. Mistik adalah praktik religi untuk menyatukan dirinya dengan kekuatan lain, agar ketika memimpin lebih terpercaya. Lewat laku mistik, pimpinan dapat mendapatkan sipat kandel, untuk melindungi diri dan wilayahnya. Menurut tradisi lama di Jawa, penguasa harus mengumpulkan kekuatan demi kemuliaan sipat kandel. Orang penting di sekeliling dirinya berupa benda atau orang apa pun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan, selalu didekatkan. Keratonnya tidak saja dipenuhi oleh koleksi benda - benda pusaka tradisional, seperti keris, tombak, alat-alat musik suci, kereta dan sebangsanya, tetapi juga oleh berbagai macam manusia luar biasa seperti orang bulai, pelawak, orang kerdil dan ahli nujum. Karena tinggal bersama dalam keraton dengan penguasa itu, maka kekuasaan yang dimiliki benda-benda dan orangorang itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa. Kalau benda atau orang itu hilang dengan cara bagaimanapun juga, maka ini dianggap berkurangnya kekuasaan raja, dan sering dianggap sebagai pratanda datangnya kehancuran dinasti yang sedang berkuasa. Sampai di mana tradisi ini tetap hidup, bahkan dalam kalangan-kalangan elite politik, bukan rapat umum dan seterusnya digunakan untuk memperuleh dan mempertunjukkan kekuasaan. Mohammad Roem dalam pembicaraannya dengan Anderson 1986 di Ithaca pada permulaan 1968 mengatakan, bahwa sebelum timbulnya pemimpin nasionalis H.O.S. Tjokroaminoto dalam tahun-tahun 1910-an. para ahli pidato politik meminjam gaya orator mereka dari sandiwara bangsawan. yang selanjutnya sebagian besar mengambilnya pula dari teater Eropa. Pembaruan Tjokroaminoto yang besar. yang kemudian diambil alih dan dikembangkan oleh Soekamo, adalah mendasarkan gaya pidatonya kepada gaya pengucapan dalang. Ini memberikan kesempatan untuk digunakannya kiasan-hiasan tradisional dan gaya suara tradisional dengan terampil. Suatu ilustrasi yang menarik dari gejala ini adalah kecenderungan sementara tokoh politik berusaha agar masyarakat Jawa percaya bahwa mereka juga memiliki beberapa upacara benda-benda keramat kekuasaan itu. Mereka menyatakan bahwa ritual dan sipat kandel adalah simbol kekuasaan. Pimpinan memiliki kekuatan khusus karena bertameng benda-benda keramat. Benda keramat itu disebut sipat kandel, artinya pusaka aji yang dapat membantu legitimasi seorang pimpinan. Sipat kandel tersebut merupakan simbol kekuasaan yang hebat, sehingga banyak orang lain yang merasa hormat. Hormat berarti takut kewibawaan sipat kandel. Dalam koteks ini, biarpun ada nuansa dinamisme, yaitu pemujaan benda - benda, kepemimpinan semakin bersinar. Wajah kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kekuatan benda keramat. Hal ini juga sering diwariskan sampai kepemimpinan modern. Orang modern juga ada yang gemar mendatangi para nujumsakti, untuk memperoleh benda pusaka. Ada di antara pimpinan desa, kecamatan, bupati sengaja menjalankan laku irakat untuk mendapatkan sipat kandel. Tentu di era modern, sipat kandel lebih terpusat hanya untuk pengamanan diri.

C. Gaya Pimpinan Jawa Sang Kodok

Ada lagu menarik yang dilantunkan di trans 7, ketika HUT DKI Jakarta 22 Juni 2013 pukul 21.30, yaitu: sang kodok eh sang kodok, lagunya bengkerok. Sang kodok e e e sang kodok, lagunya bengkerok. Maksudnya, lagunya sang pemimpin kadang-kadang ironis, penuh makna. Sindiran sang kodok, adalah pimpinan yang mengandalkan keterampilan loncat. Kalau saya perhatikan, di dekat rumah saya selalu terdengar suara kodok. Ternyata dunia kodok pun mirip dengan kepemimpinan orang Jawa. Sang kodok adalah pimpinan komunitasnya. Ada kodok-kodok lain yang dipimpin dengan semangat nun sendika dhawuh, artinya taat perintah. Jabatan kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan presiden tidak jauh berbeda dengan sang kodok. Kodok sering bernyanyi, memanfaatkan suara nyaringnya untuk menguasai yang lain. Hal tersebut, terjadi pada penelitian Antlov dan Cederroth 2001:13-15 menyatakan bahwa jabatan kepala desa dan stafnya adalah tradisional, dengan tugas-tugas yang ditetapkan secara historis, mereka berada di bawah tekanan ganda dan sedemikian jauh tidak bisa tidak saling bertentangan. Konsep tekanan itulah yang biasa dilakukan sang kodok. Bayangkan, ketika malam hari, ada air menggenang di persawahan dekat rumah saya selalu ada nyanyian ngorek kodhok. Maka kedengaran dari rumah, persis ketika di sekolah bawah dahulu ada nyanyian: Kodhok Ngorek. Kodhok ngorek-kodhok ngorek ngorek neng blumbangan Theyot theblung theyot theblung “kodok bernyanyi kodok bernyanyi Bernyanyi di sebuah kolam Theyot theblung theyot theblung’ Konteks bernyanyi, merupakan gaya kodok ketikamemimpin. Bernyanyi sebagai pertanda riang gembira, penuh senyum, dan tidak marah. Begitulah kodok ketika memimpin anggota bawahannya, senyum dan nyanyian adalah bekalpenting seorang pimpinan. Riang gembira adalah jiwa pimpinan Jawa, yang menyebabkan langgeng dalam memimpin. Namun, perlu diketahui ketika bernyanyi itu ada yang salah, seekor kodok yang menjadi pimpinan akan melakukan theyot heblung, artinya menghajar punish dengan cara menggigit pada yang lain. Ritme nyanyian kodhok yang nyaring itu, apabila diselingi salah nyanyian akan menyebabkan suasana ganjil. Maka, sang kodok dapat melakukan hukuman. Jadi, kepemimpinan gaya sang kodok paling tidak memuat dua hal, yaitu 1 memimpin dengan gembira dan 2 menjatuhkan hukuman pada yang salah. Pimpinan harus mendorong bawahan dengan suka ria, tidak selalu berwajah gelap mrengut. Pimpinan juga perlu memberikan hukuman pada bawahan yang dianggap salah. Tentu saja sebelum menjatuhkan hukuman atau sanksi, perlu ada peringatan baik lisan maupun tertulis. Pimpinan gaya sang kodok, biasanya dipilih atas dasar aklamasi oleh rakyat. Banyak di antara pimpinan desa dipilih oleh penduduk desa dan ada keharusan moral untuk mewakili kepentingan rakyat setempat berhadapan dengan penguasa atasan. Meskipun dipilih oleh penduduk, pemimpin lokal ini secara formal harus mendapat persetujuan dari kepala kecamatan dan kabupaten. Para kepala desa oleh pemerintah pusat dianggap sebagai pejabat publik dan oleh karena itu mereka diminta untuk bergabung dengan Golkar, dan harus menjadi pelaksana yang setia