Moralitas sebagai Ukuran Kepemimpinan Jawa
pimpinan Jawa masih mudah memegang konsep ungkapan rubuh-rubuh gedhang, artinya mengikuti arus melulu biarpun tidak bermoral. Buktinya, banyak rekening
gendut para anggota polisi dan hakim. Kondisi ini menunjukkan bahwa moralitas kepemimpinan Jawa yang santu, bersih, jujur dan tanggung jawab diabaikan.
Moralitas Jawa yang mampu menjawab, apakah seorang pimpinan akan bertahan dalam suasana kotor atau bersih. Sungguh akan menjadi tantangan berat
bagi seorang pimpinan yang moralitasnya rendah. Moralitas rendah menandai jiwanya sedang berada pada tataran terhina. Moral merupakan cerminan jiwa yang
benar-benar cemerlang. Moral pimpinan yang bagus, tentu akan taat pada janji, tidak menyelewengkan wewenang, tanggung jawab, dan tidakmerugikan pihak lain.
Dengan kata lain, benteng moral sangat penting bagi seorang pimpinan yang ingin langgeng kedudukannya.
C. Moralitas dan Ilmu Rasa dalam Kepemimpinan Jawa
Ilmu rasa dalam kepemimpinan Jawa amat diperlukan. Rasa Jawa itu sebuah dilosofi hidup yang halus. Jika rasa ini dikembangkan, para pimpinan akan mampu
menyelami rasa yang dimiliki bawahan. Suryamentaram 1990:29 memaparkan panjang lebar bahwa ilmu rasa Jawa itu tidak lain merupakan raos gesang, artinya rasa
hidup. Rasa hidup itu ditandai dengan bergerak dna berubah. Pimpinan yang menguasai raos gesang, akan berusaha agar mampu mengubah keadaan. Ilmu rasa
akan membangkitkan kerja pimpinan semakin percaya diri.
Rasa yang paling utama dalam kepemimpinan yaitu, 1 Bisa rumangsa dan bukan rumangsa bisa, artinya pimpinan tidak merasa mampu apa saja. Filosofi ini sering
membuat orang terlalu percaya diri, namun jika terlalu berlebihan akan menjadi sombong. Jika rasa ini dapat dikelola, pemimpin akan mampu bersikap rendah hati; 2
Angrasa wani, artinya pimpinan yang berani menghadapi resiko apa pun yang dibebankan diamanahkan. Pimpinan yang tidak berani mengambil resiko, biasanya
lamban dalam mengambil keputusan; 3 Angrasa kleru lan bener tur pener. Artinya, pimpinan yang baik adalah mampu menyadari bila keliru dalam berbuat. Begitu
sebaliknya, pimpinan yang baik tentu dapat merasa bahwa yang dilakukan itu benar dan tepat. Keputusan yang baik, selain harus sesuai aturan juga tepat.
Falsafah rasa banyak terkait dengan pribadi seseorang. Rasa dapat memmbingkai kejiwaan pimpinan. Orang yang rasa Jawanya tinggi, tentu tidak akan keras kepala
dalam memimpin. Filosofi kepemimpinan Jawa terkait dengan kepribadian orang Jawa. Falsafah hidup yang dipegang para pimpinan selalu menunjukkan kekhususan. Orang
Jawa memang memiliki tradisi yang melingkupi jagad kepemimpinan. Rasa selalu membekali orang Jawa ketika memutuskan sesuatu. Pimpinan jelas akan mengambil
putusan apa saja. Kepemimpinan orang Jawa itu memiliki kekhasan. Biarpun ada yang tidak sependapat kalau kepemimpinan Jawa itu memiliki sifat halus, penuh hati-hati,
dan tidak mau konflik, realitasnya memang demikian. Orang Jawa memimpin tidak hanya dengan pikiran, tetapi memanfaatkan rasa. Kepemimpinan Jawa jelas banyak
mengolah rasa Jawa. Rasa itulah ruh budaya Jawa. Pemimpin Jawa tentu memegang teguh budaya Jawa. Banyak generasi muda sekarang tidak memahami budaya Jawa.
Dalam era globalisasi sekarang ini bahasa Inggris boleh saja dipelajari, tetapi bahasa, budaya Jawa, dan filosofi Jawa tetap perlu didalami agar tidak hilang ditelan zaman.
Ternyata rasa Jawa ini sudah lama ada. Jauh sebelum orang Eropa memiliki konsep baru, orang Jawa sudah memiliki rasa Jawa. Rasa Jawa itu sejajar dengan
falsafah orang Eropa. Hal itu ternyata telah disampaiakn Drs Sujarmin MM, Diretur Perusda Percetakan Grafika Kabupaten Cilacap kepada Koran Transaksi, belum lama
ini. Ketika di benua Eropa rame dibicarkan tentang prinsip-prinsip dasar dalam ilmu kepemimpinan, seperti trilogy, ilmu kepimpinan sense of belonging, sense of
participate voluntrarily defend, sense of introspection, filosopi ilmu kepemimpinan itu sudah ada di Jawa, Menurut Sujarmin, orang-orang Eropa meniru filosofi Jawa yang
sudah ada, yakni Tri Brata pada zaman Kerajaan Mangkunegara I. Orang Jawa sudah mengenal ajaran itu beratus ratus tahun lamanya sebelum orang-orang Eropa
menyebarkan trilogi, 3 dasar ilmu kepemimpinan.
Filosofi Tri Brata sebagai prinsip dasar orang Jawa, kata Sujarmin, harus rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrukebi, mulat sariro hangrasa
wani.Rumangsa melu handarbeni,artinyamerasa ikut memiliki. Filosofi ini merupakan falsafah rasa Jawa yang dalam. Ajaran ini memberikan petunjuk bahwa dihubungkan
dengan tugas negara, lembaga, dan lain-lain. Maka seyogianya kita merasa itu merupakan milik kita dalam arti positif, yaitu suatu semangat untuk sayang kepada yang
kita miliki. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas, kita akan lebih bersungguh- sungguh karena sadar bahwa yang kita lakukan untuk kepentingan kita sendiri dan
lingkungan. Ajaran ini kalau dalam bahasa Inggri dikenal dengan istilah sense of belonging. Maksudnya, filosofi Jawa memuat ungkapan wajib melu hangrukebi, artinya
wajib ikut membela. Hal ini mengingat bahwa yang kita hadapi adalah milik kita, maka sebagai konsekunesinya kita wajib membela dan memeliharanya dengan secara suka
rela tanpa diperintah atau sense of participate voluntrarily defend.
Mulat sarira hangrasa wani, artinya mawas diri, untuk kemudian berani bersikap.
Seseoarang yang bertindak seyogyanya melihat ke dalam dirinya dengan jujur, apakah yang akan di lakukan selaras antara pikiran . perkataan dan perbuatannya, berarti
sense of introspection. Rasa semacam ini akan memberikan keyakinan bahwa setiap orang ada kelemahan dan kelebihan. Pemimpin yang mau mulat sarira, jelas akan
menggiring sikap agar tidak sombong.
Dengan demikian rasa Jawa akan melandasi hatipara pimpinan. Rasa Jawa membangun karakter pemimpin lebih menghargai orang lain. Pimpinan yang
mengandalkan rasa Jawa, lebih terhormat dan berwibawa. Oleh karena pimpinan tersebut merasa bahwa dirinya bukan yang paling hebat. Pemimpin pun suatu saat
dapat keliru. Pimpinan yang memperhatikan rasa Jawa, diharapkan dapat memimpin bangsa semakin sukses. Paling tidak dalam memimpin bangsa tidak akan grusa-grusu,
artinya tergesa-gesa. Falsafah rasa Jawa menuntun hidup semakin bijak, tidak hanya mementingkan diri sendiri.
D. Pratanda-pratanda Moral Kekuasaan
Jadi tradisi pemikiran politik Jawa secara khas memberikan tekanan kepada pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan, dan bukan kepada perbuatan yang
memperlihatkan pemakaian atau penggunaannya. Pratanda-pratanda ini dicari orang baik pada diri pemegang kekuasaan maupun dalam masyarakat di mana ia
memegang kekuasaan. Kedua hal itu tentu saja berhubungan rapat. Menurut salah seorang cendekiawan Indonesia yang terkemuka dewasa ini, konsep pokok dalam
pandangan hidup tradisional Jawa adalah adanya hubungan langsung antara keadaan
batin seseorang
dan kemampuannya
untuk mengendalikan
lingkunganriya.
I
Dengan cara yang sungguh konsisten, pratanda yang paling jelas dari orang yang mempunyai kekuasaan adalah kemampuannya berkonsentrasi. Memfokuskan
kekuasaan pribadinya sendiri, menyerap kekuasaan dari luar dan memusatkan dalam dirinya hal-hal yang kelihatannya bertentangan. Satu aspek yang biasa
dalam penulisan sejarah Jawa Kuno, yaitu cerita-cerita tentang raja-raja bersejarah sebagai penjelmaan dewa-dewa. Kisah tersebut terdapat dalam lakon-
lakon wayang dan dalam tradisi sejarah. Salah satu gambaran khas, yang menghubungkan jenis penyerapan ini dengan penyatuan dua prinsip yang berlawan -
an, adalah pertarungan antara seorang satria dengan seorang musuh yang kuat, di mana setelah musuh itu dikalahkan, dalam kematiannya ia memasuki tubuh sang
satria, dan dengan begitu menambah kekuatan sang satria penakluk.
Suatu contoh terkenal dalam kepustakaan wayang adalah cerita Prabu Parta yang memasuki tubuh Arjuna setelah ia kalah dalam pertempuran. Tetapi lakon-
lakon lain, seperti yang melukiskan roh Begawan Bagaspati yang turun kepada Yudistira untuk memungkinkannya membunuh Prabu Salya, atau penyatuan Srikandi
dan Ambalika untuk menyiasati keruntuhan Resi Bisma pada awal Perang Bratayuda, mengungkapkan adanya pola-pola yang sejajar di mana kekuasaan
diserap dari sumber-sumber ekstemal.
Walaupun dalam dunia seni gabungan lelaki-wanita merupakan lambang kekuasaan, namun dalam dunia politik, karena alasan-alasan yang jelas, sinkretisme
dinamis dalam pemikiran Jawa menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk lain. Pernyataan yang paling menarik mengenai hal ini ialah apa yang dinamakan politik
Nasakom dari bekas Presiden Soekamo. Sewaktu Soekamo menyatakan dirinya nasionalis, beragama dan komunis sekaligus, para pengamat di luar tradisi politik
Jawa sering menafsirkan bahwa ia mempergunakan bahasa manuver dan kompromi. Orang sering menganggap rumusan Nasakom sebagai slogan yang tidak
bertanggung jawab dan secara intelektual tidak mempunyai keutuhan atau sebagai alat halus yang dipergunakan untuk melemahkan prasangka-prasangka antikomunis
dalam kelompok-kelompok nasionalis dan agama yang besar pengaruhnya. Tetapi tafsiran-tafsiran seperti itu belum berhasil menempatkan politik Nasakom dalam
konteks pemikiran politik Jawa.
Pratanda-pratanda sosial dari pemusatan kekuasaan adalah kesuburan, kemakmuran, stabilitas dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan oleh dalang wayang
beber dalam gambarannya yang klasik tentang Kerajaan Kediri di Jawa zaman dulu: Negara Kediri dapat dilukiskan sebagai negara yang terbentang luas dan lebar,
dengan pantai yang panjang, gunung-gunung yang tinggi, subur, makmur, tentram dan teratur. Kalau subur, maka desa-desalah yang subur; kalau makmur, maka
kerajaanlah yang makmur. Pangan dan sandang sangat murah. Bahkan janda yang paling hina pun sanggup memiliki gajahnya sendiri dengan pawangnya. Demikianlah
kekayaan dan kemakmuran kerajaan itu. Tidak ada yang meminta-minta dari orang lain; masing-masing mempunyai harta bendanya sendiri-sendiri. Semua ini berkat
kayanya dan teraturya kerajaan itu.
Dua gagasan pokok yang terdapat di balik lukisan-lukisan konvensional ini adalah kreativitas kesuburan dan kemakmuran dan keselarasan ketentraman dan
tata tertib, yang dinyatakan dalam suatu moto yang telah sangat tua dan yang begitu sering disebut-sebut oleh elite sekarang ini, yaitu: tata tentrem karta raharja
tertib, tentram, makmur dan bahagia. Kesuburan dan ketertiban kedua-duanya hanyalah pemyataanpemyataan dari kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan
memberikan kehidupan. Kekuasaan adalah juga kemampuan mempertahankan keketatan yang lancar dan bertindak sebagai besi berani yang mengatur bubuk besi
yang berserakan menjadi bidang daya yang berpola. Sebaliknya, tanda -tanda melemahnya keketatan kekuasaan seorang penguasa atau terpencamya
kekuatannya dapat juga dilihat dalam perwujudan-perwujudan kekacauan dalam alam, seperti terjadinya banjir, letusan gunung dan wabah penyakit, serta terlihat
juga pada peri laku sosial yang tidak pantas seperti pencurian, keserakahan dan pembunuhan.
Peri laku antisosial itu hanya merupakan pratanda dan bukan sebab dari kejatuhannya. Karena itu, seorang penguasa yang pemah membiarkan terjadinya
kekacauan-kekacauan alam dan sosial akan amat sulit untuk menegakkan kewibawaan kembali. Orang Jawa cenderung untuk percaya bahwa seandainya
penguasa itu masih mempunyai kekuasaan, tentulah kekacauan-kekacauan itu tidak akan pemah terjadi. Yokoknya, kekacauan itu terjadi bukan karena kondisi-kondisi
sosial atau ekonomi yang otonom melainkan karena kekuasaan dalam negara itu telah menjadi kendor dan terpencar.