Sipat Kandel: Simbolisme Kekuasaan dan Kepemimpinan Jawa

pemimpin kadang-kadang ironis, penuh makna. Sindiran sang kodok, adalah pimpinan yang mengandalkan keterampilan loncat. Kalau saya perhatikan, di dekat rumah saya selalu terdengar suara kodok. Ternyata dunia kodok pun mirip dengan kepemimpinan orang Jawa. Sang kodok adalah pimpinan komunitasnya. Ada kodok-kodok lain yang dipimpin dengan semangat nun sendika dhawuh, artinya taat perintah. Jabatan kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan presiden tidak jauh berbeda dengan sang kodok. Kodok sering bernyanyi, memanfaatkan suara nyaringnya untuk menguasai yang lain. Hal tersebut, terjadi pada penelitian Antlov dan Cederroth 2001:13-15 menyatakan bahwa jabatan kepala desa dan stafnya adalah tradisional, dengan tugas-tugas yang ditetapkan secara historis, mereka berada di bawah tekanan ganda dan sedemikian jauh tidak bisa tidak saling bertentangan. Konsep tekanan itulah yang biasa dilakukan sang kodok. Bayangkan, ketika malam hari, ada air menggenang di persawahan dekat rumah saya selalu ada nyanyian ngorek kodhok. Maka kedengaran dari rumah, persis ketika di sekolah bawah dahulu ada nyanyian: Kodhok Ngorek. Kodhok ngorek-kodhok ngorek ngorek neng blumbangan Theyot theblung theyot theblung “kodok bernyanyi kodok bernyanyi Bernyanyi di sebuah kolam Theyot theblung theyot theblung’ Konteks bernyanyi, merupakan gaya kodok ketikamemimpin. Bernyanyi sebagai pertanda riang gembira, penuh senyum, dan tidak marah. Begitulah kodok ketika memimpin anggota bawahannya, senyum dan nyanyian adalah bekalpenting seorang pimpinan. Riang gembira adalah jiwa pimpinan Jawa, yang menyebabkan langgeng dalam memimpin. Namun, perlu diketahui ketika bernyanyi itu ada yang salah, seekor kodok yang menjadi pimpinan akan melakukan theyot heblung, artinya menghajar punish dengan cara menggigit pada yang lain. Ritme nyanyian kodhok yang nyaring itu, apabila diselingi salah nyanyian akan menyebabkan suasana ganjil. Maka, sang kodok dapat melakukan hukuman. Jadi, kepemimpinan gaya sang kodok paling tidak memuat dua hal, yaitu 1 memimpin dengan gembira dan 2 menjatuhkan hukuman pada yang salah. Pimpinan harus mendorong bawahan dengan suka ria, tidak selalu berwajah gelap mrengut. Pimpinan juga perlu memberikan hukuman pada bawahan yang dianggap salah. Tentu saja sebelum menjatuhkan hukuman atau sanksi, perlu ada peringatan baik lisan maupun tertulis. Pimpinan gaya sang kodok, biasanya dipilih atas dasar aklamasi oleh rakyat. Banyak di antara pimpinan desa dipilih oleh penduduk desa dan ada keharusan moral untuk mewakili kepentingan rakyat setempat berhadapan dengan penguasa atasan. Meskipun dipilih oleh penduduk, pemimpin lokal ini secara formal harus mendapat persetujuan dari kepala kecamatan dan kabupaten. Para kepala desa oleh pemerintah pusat dianggap sebagai pejabat publik dan oleh karena itu mereka diminta untuk bergabung dengan Golkar, dan harus menjadi pelaksana yang setia bagi kebijakan negara. Para pemimpin Islam tergabung dalam Majelis Ulama di seluruh wilayah negara, di bawah pengawasan Kantor Urusan Agama kecamatan. Isbat Jawa menyatakan kodhok ngemule lenge, adalah nuansa kepemimpinan mistik kejawen. Pemimpin yang bisa manunggal dengan bawahan, begitu pula sebaliknya, adalah potret kepaduan intim. Dalam kategori ini, sang kodok menjadi pegangan mistis bagi seorang pimpinan. Kodhok dapat mewadahi aspirasi bawahan, dan bawahan dapat mengikuti kemauan atasan. Jika demikian terjadilah kepaduan harapan. Berbeda kalau kodok itu tidak mampu membungkus lubangnya, berarti hanya berjalan sepihak. Hal ini persis ketika banyak anggota elit pedesaan, dengan atau tanpa persetujuan mereka, dipaksa atau dihimbau untuk menjadi bagian dari birokrasi, menduduki jabatan yang digaji maupun tidak dalam birokrasi desa. Juga para pemimpin tradisional informal setempat, seperti sesepuh di kalangan masyarakat, guru-guru kebatinan, dsb. berada di bawah tekanan keras dari pemerintah pusat untuk bergabung ke dalam proyek-proyek Orde Baru. Sebagai warga negara yang loyal, merupakan kewajiban mereka untuk membantu dalam pengawasan politik dan mendukung pembangunan ekonomi. Dengan demikian, para pemimpin lokal ditekan dari dua sisi. Mereka diharapkan mewakili kepentingan rakyat yang memilih dan, di samping itu mereka wajib menjalankan semua keputusan pemerintah dan dengan setia melaksanakan proyekproyek pembangunan. Legitimasi penguasa tingkat atas sering dipadankan dengan tuntutan ketertiban yang didasarkan atas kepentingan masyarakat yang berbeda-beda. Dalam konteks tuntutan inilah persetujuan untuk atau kerelaan terhadap kebijakan yang berasal dari luar harus diterjemahkan sebagai diterima di mata rakyat. Ada ungkapan yang menarik t erkait dengan sang kodok, yaitu “katak hendak menjadi lembu .” Artinya, orang kecil yang berkeinginan melebihi batas-batas kewajaran. Sang kodok memang sering begitu, terutama koodok berjenis kintel. Dia sering menggelembungkan perutnya. Kesombongan yang muncul dalam watak sang kodok memang tidak layak ditiru bagi seorang pimpinan. Namun kalau diperhatikan, kepemimpinan sang kodok demikian ternyata ada dalam dunia Jawa.Bnayak pemimpin yang sombong,rumangsa bisa, artinya merasa bisa dan berkuasa. Dari kepemimpinan sang kodok memang ada yang bagus dan ada watak yang tidak bagus. Yang bagus, apabila pemimpin Jawa bertindak secara senang gembira, bahagia, tidak mudah marah. Yang tidak bagus apabila pemimpin termaksud selalu merasa berkuasa, sehingga bertindak tidak wajar. Bahkan dalam dunia ramalan Jawa, ada kebiasaan yang tidak baik yang sering dilakukan sang kodok, yaitu ungkapan: semut ngangkrang ngrangsang ardi Merapi, prajurite kodok precil kang mripate sakenong-kenong. Artinya, rakyat kecil yang menjadi pimpinan dengan bawahan seperti kodok kecil-kecil, biasanya lebih setia. Kodok-kodok itu setia menjaga keamanan atasan, diperjuangkan mati-matian. Dalam konteks demikian, kesetiaan sering diterjemahkan menjadi tunduk patuh, yang dibumbui dengan suap. Konteks bekti dengan suap, tentu menjadi peta kepemimpinan yang kurang bagus. Sejalan dengan bahasan ini, Antlov dan Cederroth 2001:14 menyebutkan ada dua tipe tanggung jawab kepemimpinan dapat dibedakan: 1 Pemimpin yang terutama berorientasi moral dengan rasa tanggung jawab kemasyarakatan yang tinggi. Pemimpin yang demikian itu merasa sangat risau karena mereka adalah hasil pilihan, dan mereka dibentengi oleh ekspos