Pemimpin Jawa Mengendalikan Hawa Nafsu

merasakan kebahagiannya. Seharusnya kau tahu Wisrawa, hati manusia dalam badan jasmaninya itu demikian lemahnya. Budimu bisa membayangkan keluhuran apa saja, tapi bersamaan dengan itu hatimu menuju ke kenistaan seperti kau alami sekarang ini. Sastra Jendra pada hakikatnya adalah kepasrahan hati kepada Illahi, supaya manusia mensucikannya. Kepasrahan itulah yang tak ada dalam dirimu ketika kau memahami Sastra jendra. Kau dihu kum karena kesombongan budimu, itulah dosa anakku.” Suara yang mirip “suara bapak” itu, sebenarnya bisikan nurani terdalam. Bisikan ini bersih, suci, mewakili cahaya Illahi – tak ternoda. Pada saat itu, ketika manusia menjalankan tugas baca: memimpin, kadang-kadang tak mau mendengarkan bisikan hati. Mereka lebih banyak mengandnalkan nafsu, sehingga nurani terkalahkan. Akibatnya, mereka memimpin dalam kegelapan, sesat. Sebaliknya, pemimpin yang menguasai ngelmu Satra Jendra, berarti telah memiliki “ilmu tua”. Menurut Jatman 1997:105-106 ngelmu itu membutuhkan laku perbuatan. Ngelmu disebut juga pangawikan.Pimpinan yang menguasai ngelmu cara memimpin akan mandul jika tidak disertai laku. Ngelmu lebih menitikberatkan pada aspek tindakan secara mistik dan kritis. Pimpinan ini penuh kepasrahan dan dituntuntun oleh nurani yang jernih. Hal itu berarti, mereka mampu menguasai “inti” Sastra Jendra yang memuat ajaran tinggi, antara lain: 1 ngelmu wewadining bumi kang sinengker hyang jagad pratingkah, artinya ilmu rahasia gaib tentang alam semesta yang berasal dari Tuhan, 2 pangruwating barang sakalir, artinya membebaskan atau memusnahkan segala nafsu angkara murka, dan 3 kawruh tan wonten malih, artinya ilmu yang sempurna kasunyatan.

D. Memimpin dengan Akal Budi

Pemimpin yang tak mampu menguasai Sastra Jendra, berarti kepemimpinannya akan melahirkan kesengsaraan. Betapa tidak, seperti dalam kisah tadi, kekeliruan Wisrawa dan Sukesi telah melahirkan angkara murka yang diwakili oleh figur Dasamuka. Ia raja, pimpinan yang tamak. Karena, ia lahir dari nafsu yang tergelincir – lalu bukan tak mungkin kalau cara kepemimpinannya juga ingin berkuasa terus- menerus. Dasamuka, adalah raja yang tamak dan serakah. Ingin mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia ingin menang sendiri dan bersikap adigang adigung adiguna. Tak mengetahui kelemahan dirinya. Apalagi, dia memang memiliki Aji Pancasona, yang setiap bersentuhan dengan tanah akan hidup kembali. Itu pun harus disadari, karena kelahiran Dasamuka memang tak wajar. Ketika lahir, telah disambut dengan suara halilintar, menggelegar, seperti ada gunung meletus atau bom. Ternyata, itu mengisyaratkan muncul pemimpin yang menjadi pendukung adarma. Dasamuka adalah pemimpin yang lahir dari seorang resi yang tak mampu mengekang hawa nafsu. Seorang resi yang tergoda oleh nafsu, sehingga akal budinya tergelincir jauh. Dasamuka tak mau diperingatkan oleh siapa pun. Tak terkecuali peringatan adiknya, Kumbakarna – tak dihiraukan. Kumbakarna sebagai satriya yang dikenal jujur pun, tak bisa mengingatkan kakaknya. Apalagi seorang adik Sarpakanaka, jelas usul dan bicaranya tak dipakai. Bahkan, ketika Gunawan Wibisana berusaha menjinakkan dia pun, dianggap angin lalu. Akibatnya, Wibisana harus mau disuruh pergi. Wibisana baru kembali ke negaranya Alengka, setelah Dasamuka terbunuh oleh prabu Rama. Berarti, telah musnah figur kejahatan oleh kejujuran. Belajar dari kisah Sastra jendra tersebut, kini saat pemimpin bangsa mulai harus menata diri. Artinya, memimpin bangsa ini dengan akal budi dan bukan lagi dengan nafsu. Pemimpin yang memanfaatkan akal budi, tentu tak akan segampang memberikan ampunan pada orang yang belum jelas bersalah. Kalau penanganan hukum memiliki tendensi politik, jelas nafsu lagi yang akan berkembang. Pemimpin yang berpegang pada Sastra Jendra, akan memiliki konsistensi dan tak diskriminasi dalam keadilan hukum. Kata Dimyati Hartono, anggota DPR RI, penanganan hukum adalah equality before the law. Semua orang memiliki kesamaan di depan hukum. Karena itu, sangat diperlukan political will dari pemimpin kita. Jika hal ini diabaikan, tahun 2002 yang menurut paranormal termasuk tahun “Kuda Air” dan tahun 2003 termasuk tahun “kambing” – akan berbahaya. Manakala hukum kita tersumbat, keadilan patah, berarti penegak hukum kita akan terbawa lari oleh kuda menuju ke air laut. Selesai. Berarti pula, kepemimpinan kita telah akan bercampur dengan aneka kotoran sampah laut. Memprihatinkan Akal budi manusia yang akan menjawab, apakah pimpinan Jawa akan memilih sukses atau tidak. Hukum adalah bagian dari kepemimpinan yang paling rentan dengan akal budi. Ketika hukum suah banyak dipelintir, akal budi akan tumbang. Yang akan muncul di ranah kepemimpinan adalah keinginan yang kotor. Keinginan yang ibarat sampah, yang akan menjadi motor kepemimpinan. Akibatnya, sang pimpinan akan mengalami celaka dan malu selama-lamanya. Pada tataran itu, ketika akal budi lemah pimpinan akan merasa sesal getun. Rasa getun ini akan hinggap pada pimpinan siapa pun yang berbuat tanpa kendali akal budi. Getun akan menyebabkan jiwa murung, enggan berusaha, dan menyerah. Ketika rasa getun sudah tidak mampu dikelola, pimpinan akan berbuat sesuka hati yang merugikan dirinya. Penyesalan memang sulit dicarikan obatnya.

BAB XIII PARODI KEPEMIMPINAN JAWA

A. Parodi Kepemimpinan Punakawan Parodi adalah sindiran yang sedikit mengejek para pimpinan. Lewat tokoh yang unik, seringkali ki dalang melakukan lakon parodial. Tokoh punakawan adalah figur yang paling tepat dalam menjalankan parody. Parodi punakawan memang memunculkan kontroversial. Punakawan termasuk tokoh kawula alit, yang dianggap tidak mungkin menduduki pimpinan. Karena itu dalang yang cerdas akan melakukan parodi yang unik. Dalam tataran tertentu, setiap orang adalah pemimpin. Punakawan termasuk golongan kelas bawah dalam wayang, namun sebenarnya juga termasuk pemimpin. Kata puna atau pana dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian- peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan adalah pimpinan di lingkungan khusus. Paling tidak mereka adalah memimpin dirinya sendiri. Sebagai seorang pengasuh, punakawan merupakan dunia yang spesifik. Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai watak yang senantiasa tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita. Artinya, mampu memahami keadaan baik yang berupa tindakan simbolik maupun tindakan nyata. Dalam istilah pewayangan, panakawan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi. Wulucumbu adalah gambaran dunia bawah, namun tetap penting dalam kebermaknaan kehidupan. Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi. Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya. Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong Sunda: Cepot. Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegara” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengembanmomong para kesatria sejati.