Sri Narendra Bethara Kresna . . . Lenggah wonten pasewakan agung mencorong tejane pindha dewane, Bethara Wisnu ingkang ngejawantah . . .
CD. 1 [Raja Agung Bethara Kresna . . . Duduk di pertemuan agung berkilau sinarnya
seperti dewanya, Bethara Wisnu yang turun dari kahyangan . . .] CD. 1
Dalam dunia wayang, Kresna adalah inkarnasi dari dewa Wisnu, sehingga memiliki wibawa dan kesaktian yang luar biasa. Wibawa tersebut juga menggambarkan
besarnya kekuasaan raja. Raja adalah pusat kekuasaan, dan semakin besar sinarnya, semakin besar pengaruhnya. Mengenai hal ini, Anderson 1990: 76-77 menuliskan
sebagai berikut:
Gambaran yang paling tepat bagi tata pemerintahan Jawa, barangkali, adalah suatu kerucut cahaya yang disorotkan ke bawah oleh suatu lampu pemantul . . . .
pancaran cahaya lampu yang berangsur-angsur menyurut dan bahkan memudar seiring dengan meningkatnya jarak dari bola lampu adalah kiasan yang tepat
bagi konsepsi Jawa bukan hanya tentang struktur negara tetapi juga hubungan pusat pinggiran dan kedaulatan teritorial.
Tata pemerintahan dalam dunia wayang adalah refleksi dari tata pemerintahan Jawa, karena wayang tumbuh saling mempengaruhi dengan perkembangan kekuasaan
Jawa. Raja yang bersinar terang adalah raja yang besar wibawanya dan luas jangkauan kekuasaannya. Sebagai cerita klasik dengan tokoh-tokoh kaum bangsawan,
tentu saja nilai kepemimpinan dalam wayang bersifat feodal. Sebagai produk budaya feodal, sifat-sifat luhur dalam tokoh pewayangan adalah contoh bagi kaum pemimpin
yang berpusat kepada raja. Di jaman kerajaan, wayang adalah produk budaya yang efektif untuk pencitraan seorang raja sebagai pemimpin yang agung dan berwibawa.
Dalam Rabine Bambang Irawan wibawa raja digambarkan dengan kehadiran para pejabat negara sebagai berikut:
. . . sowaning para wadya bala yen cinandra pindha peksi perjangga lelana candrane. Peksi manuk, perjangga glatik, lelana alap-alap, pindha manuk glatik
sinamber alap-alap, pating jepiping sowaning para wadya bala ajrih nampi dhawuh pangandikaning Sri Nalendra Bethara Kresna . . . CD. 1
[. . . hadirnya para pejabat negara jika diibaratkan seperti peksi perjangga lelana. Peksi berarti burung, perjangga gelatik, lelana elang, seperti manuk gelatik
disambar elang, para pejabat diam tertunduk takut menerima titah Sri Nalendra Bethara Kresna . . .] CD. 1
Seperti yang terdengar dalam narasi yang disampaikan oleh dalang dalam janturan di atas, wibawa raja membuat siapa pun yang hadir terdiam, bahkan takut,
yang diibaratkan seperti burung gelatik yang diam tak bergerak karena takut disambar elang. Berhadapan dengan seorang raja, kawula harus “tumungkul” atau “tunduk-
merunduk di hadapan raja” Moedjanto, 1987: 78 karena takut. Ini menunjukkan bahwa raja adalah penguasa tunggal yang berhak menentukan segalanya bagi
kerajaannya. Raja bahkan memiliki nyawa siapa pun di bawah kekuasaannya, yang bisa dilihat dalam dialog antara patih Udawa dengan Kresna:
UDAWA. Menapa paduka badhe ngukum dosa pejah dumateng abdi dalem patih Udawa. Menawi paduka badhe ngukum dosa pejah, sampun ngentosi
dinten mbenjang. Dalu menika jangga kula sampun sumanglung, kaka prabu . . . CD. 1
[UDAWA. Apakah paduka hendak mengukum mati hamba patih Udawa. Jika paduka ingin menghukum mati hamba, tidak perlu menunggu hari esok.
Malam ini leher hamba sudah siap, kaka prabu . . .] CD. 1 Ucapan Udawa adalah bukti kesetiaannya terhadap raja, dengan menyerahkan hidup
matinya jika ia melakukan kesalahan meski pun ia belum tahu kesalahannya. Seorang patih pun ternyata hidup matinya ada di tangan raja, karena dalam dunia wayang raja
adalah pemilik negara dan segala isinya, termasuk manusianya.
Oleh tokoh lain, janda Kadarsih, Kresna juga disebut sebagai “ratu gung binathara
” CD bag. 1 ketika tanpa ia sangka lamarannya diterima. Raja gung binathara berarti “. . . raja besar seperti dewa. Raja yang memiliki pribadi agung, suci
berwibawa, bijaksana, menjaga keadilan dan menegakkan hukum dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi” Khakim, 200785. Dalam janturan gaya ‘kulonan’, frasa “gung
binathara ” sering ditambah dengan frasa “bau dhendha nyakrawati” [pemelihara hukum
dan penguasa dunia] Moedjanto, 1987: 77-78. Ini menunjukkan bahwa raja mempunyai kekuasaan yang sangat besar karena ia adalah wakil Tuhan di bumi.
Sebagai wakil Tuhan di bumi, ia harus adil dan bijaksana sehingga “kawula” atau rakyatnya dengan sukarela tunduk kepadanya. Lebih jauh, ketika Baladewa datang
dan meminta Kresna membatalkan lamaran janda Kadarsih dari desa Andong Sinawi, Kresna
tidak bersedia karena ia harus menjaga “Sabda pandhita ratu, sepisan kedah dados, mboten kenging wola-wali
” CD bag. 1 yang berari “sabda pendeta raja, sekali harus jadi, tidak bisa berubah kembali”. Ini menunjukkan bahwa Kresna adalah raja
yang menepati ucapannya, karena taruhannya adalah wibawanya sebagai raja. “Kalau sampai seorang raja atau pendeta tidak menepati apa yang diucapkan, dijanjikan atau
dikaulkan, maka lebih baiklah baginya untuk mengundurkan diri” ibid, 148. Raja yang menjilat lagi ludahnya adalah raja yang kehilangan sifat
“gung binathara” dan tidak lagi memiliki
“sabda pandhita ratu”. Jejer pembuka Cahyo piningit, Adege Kutho Cempoloreja dan Narasoma Krama
kurang lebih sama dengan jejer pembuka dalam Rabine Bambang Irawan karena sama-sama menggunakan jejer pakem umum Jawa Timuran. Janturan jejer
pembukaan yang diucapkan dalam Cahyo Piningit, Adege Kutho Cempolorejo dan Narasoma Krama kurang lebih sama dengan janturan pembukaan pada Rabine
Bambang Irawan dengan beberapa perbedaan kecil. Prabu Pandu Dewanata dan Logasmo juga sama-
sama disebut “mencorong tejane” sebagai raja yang mempunyai wibawa dan kharisma. Juga disebutkan bagaimana mereka yang hadir dalam
pasewakan agung diibaratkan “peksi perjangga lelana” dengan deskripsi yang kurang
lebih sama. Bahkan seperti patih Udawa yang menyerahkan hidup mati kepada Kresna dalam Rabine Bambang Irawan, patih Permono Kusumo dari negara Banciangin juga
menyerahkan hidup mati kepada Logasmo dalam Adege Kutho Cempoloreja. Ini bisa dipahami karena keempat dalang dalam teks-teks pertunjukan di atas menggunakan
janturan standar wayang kulit Jawa Timuran. Dalam janturan tersebut, raja, sebagai
seorang pemimpin, digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki ‘teja’ sinar yang membuatnya berwibawa dan memiliki kharisma. Kemudian, raja digambarkan memiliki
sifat “gung binathara” dan menepati “sabda pandita ratu”. Dalam Narasoma Krama, Mandrapati juga disebut sebagai raja yang
“berbudi bawa leksana” yang berarti raja
yang “penuh rasa keadilan; orang yang bijaksana dan baik hati, apa janjinya pasti dipenuhi” Khakim, 2007: 87. Sifat-sifat ini adalah sebagian dari sifat-sifat yang
diimpikan dari seorang pemimpin dalam tradisi kepemimpinan Jawa. Dari teks-teks ini, bisa dilihat bahwa wacana kepemimpinan dalam wayang kulit Jawa Timuran tidak
berbeda dari wacana dominan tentang kepemimpinan Jawa yang monarkis.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa adegan wayang, antawecana, suluk, dan sebagainya merupakan suatu rangkaian peta kepemimpinan. Kepemimpinan
dalam wayang sudah bernuansa kekuasaan sentral, yaitu raja sebagai pimpinan tunggal. Wayang melukiskan kepemimpinan yang penuh wibawa. Dalam wayang
senantiasa ada adegan peperangan. Pola-pola kehidupan yang adil dan makmur pun dipertahankan oleh tokoh-tokoh. Bahkan setiap kerajaan, ingin mempertahan dan
memperluas kekuasaan.
D. Suksesi Kepemimpinan dalam Dunia Wayang
Secara panjang lebar Sutardjo 2006:122-125 melukiskan bahwa dalam wayang terdapat upaya suksesi kepemimpinan. Gerak-gerik wayang selalu dipandu
oleh dalang, untuk mewujudkan kepemimpinan tokoh. Setiap tokoh yang memiliki kedudukan satria, jelas termasuk pimpinan. Godaan hidup manusia di dunia ini ada
tiga, yaitu harta, tahta dan wanita; dalam istilah Jawa dikenal dengan: kumrincinging ringgit, kumlubuking iwak, dan gumebyaring wentis. Ketiga hal tersebut sering
menjadikan perebutan, sejak dari tingkat bawah hingga tingkat atas; baik masalah perebutan kekuasaan tingkat desa kalurahan maupun tingkat nasional presiden.
Terbukti banyaknya kasus pilkada, pemilihan pimpinan partai di negara kita yang terjadi keributan dan kekerasan. Sehingga keteladanan para pemimpin semakin
hilang di hati rakyat, sikap keteladanan memudar menjadi tontonan. Lalu kepada siapa rakyat kecil ini akan bercermin dan mencari sosok atau figur pemimpin yang
ideal?
Ketiga godaan tersebut apabila tidak dikendalikan secara wajar dan proposional akan berdampak negatif dan vatal. Terbukti terjadinya berbagai
peristiwa kekerasan, pembunuhan, peperangan, dan sebagainya di belahan dunia dewasa ini yang motifnya tiada lain karena ingin memperoleh keuntungan di antara
ketiga godaan hidup di atas. Begitu pula dalam dunia wayang sering dipentaskan berbagai lakon `cerita, yang bertemakan perebutan kekuasaan, istri, perjudian,
pembantaian atau pembunuhan, dan sebagainya.
Pertunjukan wayang peninggalan para leluhur bangsa raja, pujangga, wali ternyata merupakan gambaran hidup dan kehidupan, sehingga tidaklah
mengherankan apabila terdapat banyak pasemon `simbol, berbagai gambaran kehidupan yang pantas dijadikan salah satu acuan dan alternatif dalam menjalani
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pergantian atau suksesi kepemimpinan dalam wayang tergantung pada raja. Raja yang akan
menentukan siapa yang secara genesis harus menggantikan pimpinan.
Dalam dunia pewayangan telah digambarkan, karena seialu menuruti godaan wanita dan tahta kekuasaan negara menjadi hancur, rakyat yang tak berdosa ikut
terkubur; misalnya perilaku keserakahan Raja Alengka Prabu Rahwana. Karena hidupnya selalu diliputi nafsu seksual sufiah danan angkara murka serakah;
Prabu Dasamuka meskipun telah beristristri bidadari Dewi Tari, namun selalu
mengejar titisan Dewi Widawati. Apakah telah bersuami ataupun belum tidak pandang bulu, tidak mau tahu. Dalam menuruti segala keinginannya: kekejaman,
kekerasan, danan paksaan yang berbicara asalkan tujuannya tercapai. Sebagai akibatnya hidupnya tidak pernah puas dan tentram, selalu terbelenggu dan
diperbudak oleh nafsu asmara dan mabuk kekuasaan. Dengan saudara sendiri tida- k pernah rukun Kumbakarna, Gunawan, bahkan kakak tirinya yang bernama Prabu
Danapati raja Lokapala juga diserang danan dihancurkan, untunglah ditolong dewa dan Danapati diangkat menjadi dewa; terlebih dengan orang atau bangsa lain
dianggapnya tidak ada. Tidak mau menerima saran danan kritik, selalu mengandalkan kesaktiannya yang amat dahsyat yaitu Aji Pancasonya; walaupun
dalam memperoleh ajian itu juga karena mengkhianati danan menipu Resi Subali. Sangat arogan, kejam, diktator, adigang adigung adiguna, sapa sira sapa ingsun,
manusia yang hilang kemanusiaannya. Dan kenyataannya semua keserakahan serta kesaktian Prabu Rahwana tersebut hancur oleh keutamaan, kearifan dan
kebijaksanaan Prabu Rama; relevan dengan ungkapan Jawa: suradira jayaningrat lebur dening pangastuti.
Perebutan kekuasaan tahta danan pergantian pemimpin atau raja yang sampai menimbulkan pertumpahan darah atau perang saudara diceritakan dalam
cerita Perang Baratayuda; yaitu perebutan tahta kerajaan negara Astina, pertempuran antara para Pandawa dengan para Kurawa yang sebenarnya keduanya
masih saudara, samasama keturunan atau darah Barata; maka pertempuran besar tersebut dinamakan perang Baratayuda Jayabinangun. Perang Baratayuda itu selain
telah menjadi takdir Ilahi, juga terjadi karena ada sekelompok elit politik, pejabat kerajaan yang amat dekat dan dipercaya raja, bahkan masih keluarga yaitu Dewi
Gendari danan Patih Sengkuni; namun selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dan membuat berbagai rekayasa demi keuntungan keluarga atau
kelompoknya. Cara yang ditempuhnya Raden Kurupati putra tertua Prabu Destarastra harus dapat menduduki tahta kerajaan Astina dan para Kurawa yang
menjadi anggota kabinetnya. Sehingga para Pandawa yang sebenarnya berhak mewarisi tahta kerajaan Astina selalu difitnah dan akan dibunuh, namun selalu
dilindungi dan diselamatkan dewa; berkat keluhuran dan keutamaan budi sertajasa - jasa para Pandawa yang dermawan, penolong sesama dan pembela kebenaran;
seperti ungkapan: becik ketitik ala ketara; wong salah bakale seleh; wong murka bakale sirna.
Raja Astina yang pantas dijadikan teladan hidup, karena amat memikirkan generasi penerus regenerasi adalah Prabu Abiyasa; terbukti sebelum habis masa
jabatannya teiah menyerahkan tahta kerajaan kepada putra kedua yaitu Pandhudewanata dengan penuh keikhlasan; setelah itu Prabu Abiyasa selaiu
mendekatkan diri kepada Tuhan untuk meningkatkan pemahaman dan pengalaman spiritual, yaitu menjadi begawan yang setiap harinya selalu membina masyarakat di
sekitar Pertapaan Saptaarga, agar menjadi manusia utama, berakhlak mulia danan berbudi luhur, serta bergelar Begawan Abiyasa.. Begawan Abiyasa juga menjadi
penasihat spiritual negara Astina, sehingga sewaktu Prabu Pandu menjadi raja, kerajaan Astina amat berwibawa, disegani, dan ditakuti negara-negara tetangga.
Salah satu negara besar yang menjadi sahabat dan bawahan negara Astina adalah negara Pringgandani, dimana raja raksasa sakti Prabu Tremboko tunduk, bahkan
menjadi murid Prabu Pandhu. Namun berkat kelicikan dan kejahatan Raden Suman keluarga, berhasil merusak persahabatan negara Pringgandani dengan Astina;
bahkan menjadi permusuhan dan terjadilah perang besar pamuksa. Dalam peperangan tersebut Prabu Pandu danan Tremboko mati, dan Suman mendapatkan
kedudukan patih; meskipun akibat ulahnya yang suka memfitnah, licik itu tubuh Patih Sengkuni Suman menjadi rusak yang amat parah.
Pergantian kepemimpinan raja Astina dari Prabu Abiyasa kepada Prabu Pandu putra kedua ini amat menarik, karena berdasarkan paugeran kaprajan; putra raja
yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya adalah putra tertua dari permaisuri atau putra mahkota yuwaraja, asalkan sehat jasmani rohani dan sempurna lahir
batin. Padaha kondisi putra tertua Raden Destarastra tidak sempurna, yaitu buta; sehingga dengan penuh kesadaran diri danan perasaan tulus, tahta kerajaan Astina
diserahkan kepada adiknya Pandhu. Pandhu juga amat beriasa terhadap kakaknya, karena sewaktu berhasil memboyong Dewi Gendari diserahkan kepada
Destarastra untuk dijadikan istri.
Pergantian kepemimpinan yang pantas menjadi teladan dalam cerita wayang adalah dalam cerita Parikesit Jumeneng Nata, karena waktu itu Raden Parikesit
putra Abimanyu dengan Dewi Utari sama sekali tidak ambisi danan tidak mencalonkan diri menjadi kandidat Raja Astina. Namun berdasarkan musyawarah
dan mufakat para sesepuh yang didukung segenap keluarga dan generasi muda para putra dan cucu Pandawa, Dwarawati atas dasar lelabuhan, keutamaan,
kawicaksanan, kualitas SDM, dan wahyu keraton sewaktu cerita Wahyu Cakraningrat, hanya keturunan Abimanyu yang berhak meneruskan atau
menduduki tahta kerajaan Astina. Dan selama Prabu Parikesit menjadi raja, ternyata sesuai harapan rakyat; yaitu selalu memikirkan nasib rakyat, dan kerajaan Astina
semakin jaya, aman tentram, sejahtera penuh kedamaian.
Sebaliknya dalam cerita Brajadhenta Mbalela, menggambarkan suksesi tahta kerajaan yang bermasalah. Mengingat sewaktu tahta kerajaan dipegang Prabu
Arimba anak tertua Prabu Tremboko yang mati di tangan Bratasena suami Dewi Arimbi, adik Arimba. Kematian Prabu Arimba ini sebenarnya merupakan
pengorbanan atas besar cinta kasihnya terhadap adiknya Arimbi yang sangat menginginkan Bratasena. Sehingga sebagai wasiat pesan kepada adik-adiknya
raksasa Braja Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Kalabendana agar pengganti raja Pringgandani kelak adalah keturunan Arimbi. Pada awalnya memang berjalan
balk, namun dalam perjalanan selanjutnya penuh batu dan duri yang ditemui; akibat ulah dan tidak kepuasan serta iri hati para saudara sendiri. Bahkan yang amat
berbahaya jikalau ada pihak ketiga yang masuk danan menjadi profokator kekacauan; danan dalam hal ini Brajadenta anak kandung raja Pringgandani Prabu
Tremboko merasa berhak mewarisi tahta kerajaan, lupa terhadap wasiat pesan kakaknya Prabu Arimba. Akhirnya mencari dukungan dan bcrsekongkol dengan
kerajaan Astina Prabu Duryudana serta segera dimanfaatkan dan dibantu sepenuhnya oleh Patih Sengkuni. Segala rekayasa Sengkuni ditempuh danan
dilaksanakan, sebagai akibatnya terjadilah peperangan antara Gatutkaca melawan Brajadenta, dan matilah Brajadenta serta berkuranglah kekuatan kerajaan
Pringgandani, gembiralalah kroni-kroni Patih Sengkuni.