Politik Misuh dalam Sastra

juga sebagai sungai yang jorok, penuh lumpur, dan dikotori kenajisan. Sungai pertama, bikin sehat. Sungai kedua itu racun.

E. Politik Semar

Dalam lakon apa saja, Semar selalu hadir. Dalam lakon Semar Mbangun Kahyangan, dia menjadi tokoh sentral yang memimpin berjuangan melawan kebatilan. Ketika bathara Guru dianggap tidak pecus memimpin Kahyangan Junggring Salaka, Semar baru turun tangan. Tokoh ini juga sering muncul sebagai sebuah ironi kepemimpinan, misalkan dalam lakon Resi Dandang Seta. Semar berubah wujud menjadi seekor burung raksasa, yang mengalahkan para satria. Tindakan itu dilakukan, karena Semar hendak mengingatkan pada bendara yang dianggap telah lancing, yaitu Arjuna. Arjuna dianggap pernah berbuat tidak sopan pada Semar. Maka Semar berupaya mengingatkan, agar Arjuna kembali ke jalan lurus. Semar itu merupakan tokoh misterius dalam pewayangan. Dia seorang pimpinan yang kaya permainan politk canggih. Dia pernah diludahi Arjuna, tetap diam. Dia selalu melibatkan partisipasi anak-anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam mengambil keputusan. Ini menandai tradisi politik yang oleh Lazarusli Samiana Dkk, 2006:8 disebut delibelirative democracy, artinya melibatkan masyarakat secara langsung dalam mengambil putusan. Kebersamaan tampaknya menjadi acuan dalam sukses tidak kepemimpinan. Berkaitan dengan keterlibatan kelompok dalam mengambil kebijakan, ada enam rumus politik Semar yang ditawarkan R. Ng. Ranggawarsita, yaitu: 1 lila nirmala linggih, artinya ikhlas dan duduk dalam pimpinan tidak menyakiti orang lain, 2 olahing dedugi, artinya selalu penuh pertimbangan dalam bertindak, 3 watara nimbangi, penuh kehati-hatian, dapat mempertimbangkan aspirasi orang lain, 4 pradeksaning prayogi, artinya tepat dalam pengambilan kebijakan, 5 lumawaning wani, artinya berani menghadapi musuh yang memang keliru, 6 anganam anuntagi, penuh pertimbangan nalar dan dapat menyelesaikan masalah. Manakala para pemegang saham politik di berbagai lini kehidupan mampu menjadi Semar, mungkin dunia ini lain yang musti terjadi. Politik Semar adalah upaya kepemimpinan yang menghendaki kedamaian. Kepemimpinan tidak dilakukan secara paksa dan grusa-grusu. Dalam teori Turner, Douglas, Epskamp 2005:54 Semar adalah figure yang mencerminkan ketertiban, sedangkan bathara Guru sebagai perusak. Semar sebenarnya tidak jelas kelas sosialnya, karena sebagai pembantu sekaligus penasehat. Begitulah tokoh Semar yang menjadi pimpinan sekaligus bawahan. Dia dapat memimpin dan menrasakan sebagai bawahan. Atasan pun ketika dinasehati Semar tidak merasa tersinggung. Rumus Ki Lurah Semar, sebenarnya sudah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan. Semar senantiasa berprinsip baya sira ngudi kamardikan kudu wani ambrastha dur angkara. Inilah getah eling lawan waspada, yang menjadi inti sikap politik sang pujangga agung itu. Berikut adalah tembang yang layak dicamkan. Angagem basa den sambang liring Liring larad yen kaduk gumisa Waluya tiwas temahe Bisa warangkanipun Denya ngrasuk rasaning kardi Satataning tamtama Tan mantra ing smu Nis naya ingenteka Serat Nitisruti, pada 12 Brataning hyang Endra purweng kawi Sira ngudanaken kramaning rat Amarteng rat jagane Sotya dana sumawur Tan ana tan winarteng bumi Gumanti Yama Brata Dhumendheng karma dur Jana gelahing bawana Menggah ing braya si tan apilih Maling maluya pejah Serat Nitisruti, pada 12 Dari berbagai bacaan, tampaknya R. Ng. Ranggawarsita itu memang pujangga yang kaya ilham. Ada tiga hal yang menggoda pikiran saya, ketika membaca karya R. Ng. Rangawarsita. Pertama, saya menduga, dia memang memiliki keinginan jadi raja yang adil. Kedua, dia tampak ada kecenderungan berpolitik praktis, lewat jalur religi, budaya, dan sosial, Ketiga , dia ingin melakukan “kudeta politik”, ketika harapannya pupus. Tiga hal itu, didorong oleh keadaan di sekelilingnya yang semakin: bosok, bejat, dan bobrok. Dalam bahasa politik saya, kalau keadaan itu tidak “diamputasi”, memang membahayakan. Dengan demikian, berpegang teguh pada politik Semar berarti harus pandai menempatkan diri empan papan. Semar senantiasa tahu diri. Dia memiliki sifat toleran sehingga tidak pernah kawatir apa pun menghadapi bahaya yang mungkin menimpanya. Namun, ketika dia harus marah, tidak ada seorang pun yang mampu menolaknya. Dia selalu menyelesaikan persoalan bangsa secara bijak.

BAB XI KEPEMIMPINAN JAWA DALAM WAYANG

A. Wayang sebagai Potret Ajaran Kepemimpinan Wayang merupakan pancaran ajaran kepemimpinan Jawa. Di dalam pertunjukan wayang, sering melukiskan satuan moral dan identitas sosial. Kesadaran antara yang memimpin dan dipimpin diolah dan dikreasi oleh penghayatan dalang. Dalang yang mampu member ruh tindakan wayang sebagai pimpinan yang tegas, klemak-klemek, dan bijaksana. Biasanya, seorang dalam hendak menanamkan ideologi kepemimpinan lewat tokoh, antawecana, suluk, banyolan, dan lain-lain. Jatman 1997:25 menyatakan bahwa wayang adalah gambaran simbolik ketika orang Jawa mencari makna kehidupan. Lakon-lakon wayang melukiskan bagiamana hidup ini dijalankan. Wayang adalah gambaran hidup manusia. Hidup manusia penuh dengan ideologi. Pertunjukan wayang selalu merujuk pada komunitas orang yang memimpin dan dipimpin. Berbagai tokoh wayang merepresentasikan pribadi seorang pemimpin bangsa. Tidak hanya tokoh yang menjadi raja, melainkan sebagai prajurit, pendeta, punakawan, satria, dan sebagainya adalah pimpinan. Masing-masing tokoh memiliki wajah, cara bicara, cara berjalan, dan sejumlah tindakan kepemimpinan. Mulder 2001:83 menyatakan bahwa dalam kehidupan orang Jawa selalu ada stratata. Orang yang dihormati, dalam wayang pun dijadikan acuan pimpinan. Biasanya tokoh pendeta, resi, raja, Begawan adalah figur sesepuh yang dalam ideologi Jawa harus dihormati disubya-subya. Mereka itu oleh orang Jawa disebut pepundhen. Apabila para bawahan berani menentang, secara ajarans bawahan dianggap dosa duraka, bahkan suatu saat akan mendapatkan kutuk kuwalat. Atas dasar ideologi semacam ini, penghormatan dalam wayang selalu diwujudkan pada saat bertemu dalam pakeliran satu sama lain melakukan sembah. Semabha menandai ideologi antara atasan dan bawahan memiliki hirarkhi. Antara prabu Baladewa dan prabu Kresna yang sama-sama saudara sekandung, memiliki kekhasan dalam memimpin negaranya. Keduanya kadang menunjukkan figur kepemimpinan yang bertolak belakang, yang satu keras dan mudah marah kodo, yang satunya lagi lebih bijak. Temperamen setiap tokoh wayang hampir selalu berkaitan dengan wajah mereka. Wajah menjadi acuan ki dalang dalam memainkan wayang, ketika tokoh harus mengambil keputusan. Dalam filsafat jawa nilai dasar ontologis kehidupan diejawantahkan di dalam bentuk seni wayang. Maka dalam wayang akan menunjukkan ciri-ciri dasar filsafat jawa di dalam pergelarannya, sehingga dasar ontologis bagi wayang adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan atau kasunyatan. Kesempurnaan atau kasunyatan itu tidak saja harus bersifat rasional dan empiris tetapi juga harus mengandung unsur rasa yang menjadi ciri khasnya. Dengan demikian, wayang akhirnya dikontekskan dengan rasa dalam kehidupan nyata manusia Jika kita menonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam suntuk maupun yang dipergelarkan dalam bentuk pakeliran padat, maka jika direnungkan benar-benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran kepemimpinan yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa medium yang lain di dalamnya banyak mengandung nilai dan filosafi kkepemimpinan. Filosofi kepemimpinan dalam wayang disampaikan secara simbolik dalam berbagai