mengusulkan agar setiap karakterisasi kekuasaan, pemerintahan dan kepemimpinan yang merupakan aksioma di Jawa harus ditolak. Budaya Jawa tidak dapat dibatasi
hanya pada ide tentang kekuasaan, dan ide tentang kekuasaan tidak dapat dibatasi hanya pada masalah tentang sosok teladan. Tidak seorang pun mengatakan yang
lebih balk daripada Eldar Braten bahwa: Budaya Jawa adalah sekumpulan ide, norma, keyakinan dan nilai yang sangat beragam sehingga tidak mungkin dapat
dilukiskan sebagai keseluruhan yang padu, yang sama-sama dipakai oleh orang Jawa. Sebaliknya, perhatian kita hendaknya dipusatkan pada distribusi dan reproduksi
dari pengetahuan yang demikian beragam di masyarakat. Ina Slamet-Velsink, dalam tulisannya, juga mempertanyakan pendekatan kaum esensialis: kita tidak boleh terlalu
berlebihan memperkirakan kekuatan hubungan patron-klien.
Hubungan patron-klien ini yang sering mengikat perintah halus, seakan-akan bernuansa feodal. Kehalusan orang Jawa memang sering diragukan, sebab sering
ada yang memerintah dengan tangan besi. Orang demikian biasanya merasa dirinya idu geni pancal mubal, artinya segala perintahnya harus terlaksana. Orang semacam
ini pura-pura berwibawa, biarpun kepemimpinannya sering mendapat serangan halus pating glendheng. Kritik pun ada, tetapi dilakukan secara diam-diam. Peredaman
suasana sering terjadi dalam konteks perintah halus.
Yang terjadi sekarang jagad pimpinan Jawa, hanya aspek tertentu yang masih jalan dengan perintah halus. Ketulusan budi, kehalusan rasa, banyak terjadi pada tipe
gotong royong bila ada sripah. Kematian bagi orang Jawa masih mungkin ada perintah halus, hingga masyarakat berdatangan dengan sendirinya. Namun kalau di
kota, jelas sudah berbeda suasananya. Di dekat atau sampingnya ada sripah saja, solidaritasnya sudah pudar. Artinya, toko samping masih membuka order. Konteks ini
menandai bahwa di desa masih lebih indah menjalankan perintah halus. Adapun Jawa di perkotaan, sudah kehabisan semangat perintah halus. Di kota sudah ada semangat
kapitalistik. Bahkan di kota cenderung liberal, ingin membayar saja daripada kerja bakti atau gotong royong.
D. Kepemimpinan Jawa: Tapa Brata dan Tapa Ngrame
Kepemimpinan Jawa tulen asli, memang masih memperhatikan aspek tapa brata. Anderson 1986:53, menyebutkan bahwa pemimpin sejati di Jawa ditndai
dengan praktik-praktik tapa brata. Biarpun hal ini ada nuansa Hindu, yaitu praktik- praktik yoga brata, pimpinan Jawa selalu mampu menerimanya. Hanya saja di
lingkungan tertentu, apabila pimpinan terlalu tampak menjalankan tapa, sering dianggpa musyrik. Akibatnya, pimpinan tersebut dipergunjingkan sebagai orang
yang tidak religious.
Namun demikian, konsep pemusatan diri seorang pimpinan dengan jalan matiraga, sudah mulai pudar. Pimpinan yang bertipe tapa ngrame, sekarang juga
mulai dipertaruhkan. Dengan hadirnya partai politik dan religi, pimpinan Jawa memilih selamat. Maksudnya, keyakinan pada dewa, tradisi, dan tapa brata segera
diubah ke partai politik. Celakanya, wibawa politik juga semakin kering. Antlov dan Cederroth 2001:20-25 menyatakan bahwa agar tetap hidup di bidang politik, demi
kekayaan dan kekuasaan dan bahkan demi otonomi pribadinya, rakyat di Jawa harus mengaku setia kepada negara Indonesia, Orde Baru dan Golkar. Kesetiaan
politik makin menggantikan pikiran ideal tradisional tentang kepemimpinan
masyarakat yang menekankan pada kualitas pribadi dan pelayanan umum. Tanpa tunduk kepada tujuan proyek Orde Baru, seorang pemimpin pedesaan tidak akan
memperoleh jabatan apa pun dalam jenjang pemerintahan resmi. Saling keterkaitan antara kesetiaan kepada negara dan penampilan pribadi barangkali
tidak pernah begitu tampak dibandingkan dengan ketika terjadi pemilihan kepala desa, suatu pokok permasalahan yang dibicarakan dalam buku ini oleh Frans
Husken. Proses pemilihan, yang tepatnya disebut screening, memberikan banyak kesempatan untuk menyingkirkan calon yang tidak dikehendaki. Melalui cara
bermain politik dan penekanan dari komando rayon militer dan wakil -wakil Golkar, para pemilih diberitahu calon mana yang paling balk untuk dipilih di desa itu.
Meskipun demikian, pada akhirnya penduduk desa memberikan suaranya di belakang pintu tertutup.
Tapa ngrame,adalah upaya pimpinan untuk membantu dan berbaik hati pada bawahan. Namun, upaya ini kadang-kadang ada yang tidak murni, sehingga ada
resistensi. Heteroginitas masyarakat Jawa, semakin selektif menghadapi tapa ngrame. Studi Husken 1998 terhadap pemilihan di desa membuat kesimpulan
dengan catatan yang pesimistis. Hal ini ditandai dengan aneka tapa ngrame yang merebak, tetapi memiliki dalih khusus. Dalam penelitiannya la menyaksikan
kecenderungan mutakhir. Sekarang hanya calon terbaik kedua dan ketiga yang menjadi calon untuk pemilihan. Keuntungan menjadi kepala desa berkurang dalam
tahun-tahun akhir ini, dan penduduk desa yang berpendidikan sering meninggalkan desa mereka, dan mencoba mencari nafkah di sektor yang lebih menguntungkan.
Banyak di antara keluarga penguasa tradisional bekerja dengan sangat baik pada dekade terakhir ini dan dapat tetap bertahan mendapatkan tanah desa dengan
menyewa tanah bengkok dari kepala desa yang akan datang. Kita hanya sedikit sekali mengetahui proses yang terakhir ini karena putaran pemilihan kepala desa
baru akan diselenggarakan di Jawa pada tahun 1997-1998. Tetapi jika tahun 1990 merupakan titik penentu dalam konteks ini, seperti yang ditunjukkan oleh Husken,
yaitu bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan untuk menjamin kepala desa dan pemimpin desa yang lain adalah mereka yang tepat kualitasnya.
Di Jawa Barat selama abad kesembilan belas, sudah merupakan hal yang umum bagi penduduk desa untuk memilih kepala desa yang bodoh, agar ada jaminan
tetap berlangsungnya kekuasaan dewan sesepuh tradisional. Apakah tahun 1998 akan menyaksikan perkembangan yang sama?
Kalau demikian, tapa brata dan tapa ngrame seorang pimpinan hanya berlaku pada lingkungan yang homogin. Pimpinan Jawa yang berada erea heterogin, harus
pandai membawa diri. Ini membawa kita ke sederetan pertanyaan yang berkaitan. Gaya kepemimpinan baru sedang muncul, tidak hanya di tingkat desa, juga di
tingkat nasional. Alternatif apakah yang ada bagi cita-cita aristokrat tradisional dan bagi tipe kepemimpinan desa yang sekarang? Hanya dua kecenderungan alternatif
bersama yang dapat dipilahkan. Cederroth 2001 menyinggung isu penting yang lain: faktor agama. Suatu pembagian terdapat dalam komunitasnya, yaitu antara di
satu pihak santri ortodoks, yang terdiri atas Muhammadiyah yang reformis serta Nahdatul Ulama yang tradisionalis, dan di pihak lain gerakan kebatinan. Sementara
Islam reformis tampaknya mendapatkan tempat pijakan yang luas selama dekade
terakhir ini, revitalisasi Islam bukannya tanpa saingan, terutama dari gerakan mistik.
Dengan demikian dapat dibenarkan bahwa menurut Moertono 1986:152 gerakan mistik ini lalu mempunyai manfaat yang riil, karena usaha manusia dapat
ditampung untuk diwariskan kemudian kepada keturunan nya atau lingkungan hidupnya. walaupun orang juga benar-benar menyadari bahwa iradat sebagai
tindakan mistik bukanlah sesuatu yang boleh diremehkan. Iradat adalah upaya manusia untuk meraih kekuasaan secara sungguh-sungguh, penuh dengan laku.
Laku mistik orang Jawa itulah yang dalam keyakinan agama Islam dinamakan sufi. Kepemimpinan Jawa pun merasa sah melakukan hal-hal sufistik.
Beberapa penulis menyatakan bahwa Islam, sebagai kekuatan agama dan politik, tumbuh menjadi kuat selama Orde Baru, dan bahwa pemimpin Islam
mewakili salah satu dari pilihan yang sedikit itu untuk kepemimpinan di masa depan. Zainuddin 1986:233-236 mengemukakan bahwa gerakan Islam Jawa,
banyak memainkan peran dalam hal kekuasaan. Percaturan agama, politik, dan kekuasaan sudah semakin kabur sejak era para wali. Keterlibatan agama di kancah
pemerintahan, semakin lama semakin campuraduk. Bahkan Hefner 1987:548, misalnya, menyatakan bahwa bagi kebanyakan penduduk desa, diterimanya Islam
sama saja dengan p-Iralihan atas dasar penerangan ke arah modernitas. Menurut Hefner, rakyat sekarang ini lebih condong untuk membelanjakan uangnya untuk
barang-barang konsumtif, seperti pesawat radio, TV dan sepeda motor, daripada untuk pesta-pesta ritual tradisional yang dijunjung tinggi dan menyedot kekayaan.
Oleh karena itu la menyatakan bahwa, sebagai akibat dari proses ini, muncullah aliansi kepentingan di antara kaum Muslim reformis dan kaum miskin di pedesaan.
Perkembangan menyeluruh selama rezim Orde Baru telah memperkuat keuntungan institusional bagi kaum Muslim santri. Kaum sinkretis tidak berhasil
menciptakan agama Jawa nonIslam yang memiliki pengikut massal dan eksplisit yang mengarah kepada penyesuaian yang mendalam dalam perimbangan
kekuatan antara Islam dan Kejawen.
Namun studi sekarang ini, termasuk studi Cederroth 2001 sendiri, menunjukkan bahwa Orde Baru memberikan legitimasi berbagai wilayah, alternatif
Kejawen yang berbasis massa sebagai tandingan Islam santri telah dapat mengakar. Tampaknya gerakangerakan ini, seperti halnya organisasi ortodoks,
menarik berbagai kelas sosial. Beberapa di antaranya menarik pengikut terutama dari pegawai negeri dan bagian anggota masyarakat lain yang lebih kaya, selain
menarik pedagang-pedagang kecil dan pengusaha yang mengharap dan mendambakan masa depan yang lebih balk. Dengan demikian, dalam hal ini, tidak
ada perbedaan: Islam santri dan juga Kejawen menarik rakyat dari semua kelas sosial. Apa yang penting adalah kenyataan bahwa, setidaktidaknya di beberapa
wilayah di Jawa, telah muncul alternatif Kejawen bagi Islam santri yang berhasil. Bentuk Kejawen yang disesuaikan ini tampaknya cocok untuk mengungkapkan
nilai-nilai budaya tradisional dan keagamaan dalam situasi sosial ekonomi sekarang ini.
Dengan demikian, Cederroth menyatakan, sinkretisme Jawa bukan berada dalam proses disintegrasi. Tetapi apa yang tampaknya terjadi adalah bahwa
perubahan sifat dari yang terikattradisi dan komunal menjadi melihat-ke-dalam dan