Pemimpin Tanpa Pamrih dan Penuh Pamrih
Era masa lalu, pemimpin tanpa pamrih biasanya lebih mementingkan kerajaan atau rakyat. Dia memimpin dengan hati, dekat dengan rakyat. Bahkan dia juga
memimpin dengan perihatin, tetap sederhana, dan mau membagi-bagi kebahagiaan pada rakyatnya. Konsep mengencangkan ikat pinggang selalu dipegang teguh.
Sebaliknya, bila penuh pamrih, dia akan memimpin dengan mementingkan dirinya. Kebutuhan diri, keluarga, dan kroninya dinomorsatukan. Bahkan dalam membela
kebutuhan pribadi sampai dibayar dengan pertumpahan darah dan rakyat dikorbankan. C. Kepemimpinan Jawa Legendaris dan Adil
Adil itu sebuah mutiara kepemimpinan yang tidak mudah diraih. Pemimpin yang adil seratus persen, hampir sulit dicapai. Slogan kepemimpinan yang mulai
dihembuskan oleh pencitra orde baru, sudah mulai ada getaran. Di papan reklame dan truk-
truk, sering muncul ungkapan “Piye Kabare Le, enak jamanku biyen ta?” Sebuah pertanyaan oratoris ini, sebenarnya memiliki implikaksi historis dan politik dan historis
yang dahsyat. Paling tidak, dengan disertai gambar Soeharto, orde baru hendak lahir kembali menjadi neoreformasi, yang menganggap dirinya lebih adil disbanding era
reformasi ini.
Figur Soeharto dianggap lebih menjanjikan keadilan dan kedamaian. Begitulah strategi perebutan pengaruh, yang kuncinya adalah pada pemimpin legendaries dan
adil. Banyak rakyat yang memiliki imaji bahwa di era masa lalu jauh lebih enak, kesejahteraan dan keamanan terjamin. Selama 32 tahun memang memungkinkan
seorang pemimpin merebut hati rakyat. Selama itu pula pemimpin legendaries dapat terwujud. Sungguh aneh memang sang legendaries, kadang-kadang kotroversial, tetapi
hakikatnya disegani rakyat.
Kalau menegok masa lalu, sungguh banyak pemimpin Jawa legendaries dan adil. Kebijakan yang mereka tempuh biarpun ada nuansa otokratik, tetap solid. Nama Gajah
Mada sudah menjadi bunga-bunga penting dalam sejarah. Dia memang orang bijak, biarpun hanya sebagai patih warangka dalem. Kalau dibandingkan dengan patih-
patih dalam pewayangan dan ketoprak, seperti patih Sengkuni, patih Suwanda, patih Logender, Patih Bestak, dan sebagainya dia termasuk patih yang bijak dan luar biasa
dalam berjuang. Sosok patih yang mampu melebihi ketenaran raja adalah Gajah Mada.
Sampai saat ini nama patih ini justru dijadikan nama perguruan tinggi terbesar dan terkenal serta pertamkali, yaitu Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hal ini menandai
bahwa kepemimpinan tokoh ini memang tidak perlu diragukan lagi. Dia adalah sosok berwibawa, yang merupakan mahapatih terkenal di era kerajaan Majapahit. Di jaman
raja Hayam Wuruk, tokoh Gajah Mada dikenal sebagai pemimpin sejati. Kepemimpinan dia mengelola negara dan bawahan, patut diteladani. Apalagi di era masa kini,memang
sulit menemukan teladan yang tangguh dalam kepemimpinan.
Dalam hal kepemimpinan Gajah Mada memiliki ajaran yang disebut Asta Dasa Brata Pramiteng Prabu. Arti kata Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu adalah Asta Dasa
artinya 18 delapan belas. Brata artinya pengendalian diri yang merupakan kewajiban pokok seorang pemimpin. Pramiteng Prabu artinya Raja Kepala Negara.
Jadi secara keseluruhan arti dari ajaran Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu yaitu 18 delapan belas kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin. Konteks
pengendalian diri memang penting bagi seorang pimpinan, karena godaan selalu
mengelilinginya. Pemimpin yang tidak mampu mengendalikan diri, biasanya akan tergoda oleh system yang kotor.
Menurut hemat saya, sosok Gajah Mada adalah pemimpin Jawa yang memiliki dua sifat yaitu 1 tangguh artinya sebagai pimpinan dia pantang menyerah dan
sanggup menghadapi apa saja. Selama darah masih mengalir, tidak hanya raga, tetapi darah mengalir pun tidak masalah. Ketangguhan menghadapi serangan musuh, tidak
diragukan lagi. Oleh karena, waktu itu memang banyak kerajaan lain yang sengaja ingin menakhlukkan Majapahit. Perebutan kekuasaan selalu dihadapi secara proporsional;
2 teguh, artinya dalam memutuskan suatu perkara tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh lain, Biarpun teman dekat, jika keliru tetap diberi hukuman. Menghadapi
musuh juga banyak strategi, tidak sekedar menyerang.
Melalui ajaran 18 hal itu, dia memegang teguh gaya kepemimpinan Jawa yang disebut 1 wicaksana, artinya bijak dalam mengelola negara. Pengelolaan Negara
dilandasi oleh ajaran ngemong agar rakyat ayom-ayem dan tenteram. 2 adil paramarta, artinya sebagai pimpinan dia tidak lagi emban cindhe mban siladan, artinya
membeda-bedakan bawahan. Menurut Lombard 2005:65 istilah adil paramarta merupakan pertanggungjawaban pimpinan pada bawahan. Hubungan timbale balik
atasan dan bawahan seharusnya adil dan murah hati. Maksudnya, kedekatan atasan pada
bawahan, tidak menyebabkan harus “pilih sih” dan “botsih”, artinya membeda- bedakan dan tidak seimbang, tetapi selalu dilandasi rasa rumangsa. Adil adalah
pancaran pimpinan yang disegani oleh rakyat. Namun untuk mencapai keadilan memang sebuah utopia. Pimpinan yang adil seratus persen hampir tidak ada. JIka
mampu mencapai adil, dialah pimpinan yang bijak.
Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu adalah ajaran kepemimpinan khas Jawa yang bijak. Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuk berbagai
mitos tentang dirinya. Gajah Mada dianggap sebagai Keturunan Dewa Brahma. Ia digambarkan memiliki kesempurnaan diri yang mampu memasukkan dewa-dewa
kahyangan ke dalam tubuhnya. Paham semacam ini, merupakan upaya legitimasi seorang pemimpin yang menguasai ilmu luar dalam lahir dan batin. Pemimpin Jawa
semacam itu, dalam mengendalikan pemerintahan disertai dengan laku batin, tidak sekedar kekuataan lahir. Laku batin itulah yang membentengi serangan-serangan
musuh yang iri dan dengki pada dia. Jagad kepemimpinan memang sering diliputi sifat iri dan dengki dari pihak lain. Jika pimpinan tidak mampu mengelola sifat iri dengki,
tanpa strategi yang tepat, akan mudah roboh.
Gajah Mada juga diakui sosok yang mampu tampil sebagai Dewa asmara yang tampan, cemerlang dan jaya yaitu : 1 Tokoh yang pada mulanya datar, namun dapat
membuat kejutan dengan menunjukkan sifat-sifatnya yang terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira Kebo Iwa, 2 Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus
gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit, 3 Kejayaan dalam pemikirannya didapat
berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja, 4 kejayaan batin didapat berkat sifat-sifat
tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju Moksa rohani dan jasmani langsung ke Sorga
Loka. Gajah Mada adalah sosok orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya
juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana Dewa Wisnu ke atas dunia.
Sosok Sultan HB IX, juga figur luar biasa. Kejayaan keraton Yogyakarta serta kewahyuan dia menjadi wakil presiden RI, tidak dapat diremehkan lagi. Kebijaksanaan
dia mengemban amanat rakyat, mampu menyingkirkan penjajah, jelas figur legendaries. Ada kekuatan sakti yang sulit dijelaskan dalam diri sang pemimpin
tersebut. Legenda dan keadilan adalah dua hal yang saling terkait. Makala pemimpin bangsa itu mampu menenteramkan hati rakyat, jauh dari gejolak keamanan, suasana
akan damai. Kedamaian adalah ciri hadirnya legendaris dan keadilan seorang pemimpin. Orang yang legendaries,biasanya kalau mau turun tahta rakyat merasa
belum lega. Rakyat masih menginginkan sang pmimpin memegang tapuk kepemimpinan sekali lagi. Yang repot jika pemimpin belum saat turun sudah diturunkan,
tentu hal ini akan merugikan bangsa itu sendiri. D. Kepemimpinan yang Keweleh
Keweleh dapat terjadi pada siapa pun. Keweleh adalah buah dari tindakan Pimpinan yang memiliki kekuatan super power pun, jika telah keweleh, akan malu
rasanya. Jangankan tindakan besar, yang berakibat fatal, tindakan kecil pun kalau keweleh akan sia-sia. Dengan keweleh, kemungkinan seorang pimpinan
baru sadar diri. Namun, saya memiliki pengalaman seorang pimpinan keweleh tetap merasa tidak bersalah.
Pimpinan yang berbudi pekerti rendah, memang aneh, sudah keweleh pun masih merasa dirinya benar. Celakanya lagi sudah jelas keweleh masih mau
menyalahkan pihak lain. Manusia makin mampu menyadap kekuatan -kekuatan yang berada di dalam alam semesta ini, namun dengan syarat mutlak bahwa
kekuatan power yang diperoleh itu sesuai dengan tingkat perkembangan budinya. Sayangnya kekuatan budi itu sering tidak mampu menakhlukkan
hawanafsu. Oleh karena itu kekuatan yang besar yang didampingi budi yang rendah pasti tidak akan mencapai kelangsungan yang mantap. Teman saya itu
seorang sesepuh, terhormat, dan sebagai pimpinan yang gemar mencela bawahan. Ternyata, apa yang dicelakan itu dia langgar sendiri. Misalkan, saya
pernah dicela agar tidak melakukan bimbingan menulis skripsi di rumah, ternyata sang pimpinan itu ketika terjepit persoalan menjadi keweleh. Dia sendiri
membimbing skripsi tidak begitu pecus, sehingga tidak lulus ketika diuji. Pada saat itu, spontan entah sadar atau tidak, dia malah minta mahasiswa bimbingan
di rumahnya. Dengan kata-kata besuk mondok ke rumah saya, saya buat garis besarnya tinggal diisi, saya damping, berarti dia sudah keweleh dengan
sendirinya.
Dalam cerita wayang lakon Arjunawiwaha, juga mengisahkan bagaima na budi renah itu akan keweleh juga akhirnya. Sebaliknya budi yang tinggi, tentu
akan terangkat tinggi pada akhirnya. Prabu Niwatakawaca menunjukkannya dengan jelas, bahwa dia bertindak tanpa menggunakan budi, melainkan kekuatan
raga. Akibatnya, dia harus kalah oleh Arjuna yang menggunakan budi. Kata budi berasal dari bahasa Sanskerta dan mempunyai arti kemampuan pikir, atau
kecerdasan otak intelectual faculty. Di Jawa walaupun ada tulisan-tulisan yang menyamakannya dengan arti kata Arab akl ratio, tetapi pada umumnya
diberi arti yang lebih daripada itu. Budi meliputi seluruh kemampuan dari manusia yang bersifat moral dan mental, yang mengenai sikap, pikiran dan
tindak-tanduk manusia sebagai insan yang mempunyai cipta dan rasa.
Kekuatan raga atau nafsu angkara, suatu saat akan keweleh oleh kekuatan budi. Oleh karena nafsu itu sering memburu, lebih asal-asalan, tanpa dimasak
matang hingga tindakan sering tidak tertata. Padahal sadar atau tidak,budi yang membangkitkan pemimpin semakin bijaksana. Sebaliknya jika pimpinan tanpa
budi, kelak akan celaka sendiri. Budi di dalam arti yang luas itu antara lain tersirat dalam kata-kata Sri Sunan Pakubuwana IV, 1788-1820.
Poma kaki padha dipun eling Ing pitutur ingong
sira uga satriya arane kudu anteng jatmika ing budi
ruruh sarta wasis samubarangipun
yang terjemahannya adalah: dan ingat-ingatlah anak-anakku pada petuah ini
karena kamu juga bergelar satria haruslah berbudi tenang tanpa resah bertindak sabar tetapi penuh kecerdasan
di dalam segala-galanya
Budi yang memberi arti yang demikian penting pada usaha manusia dalam mencapai kesempurnaan itu memhawa kita pada pertanyaan, sampai di manakah
manusia daput menentukan jalan hidupnya sendiri. Budi yang ikut menata agar tindakan tidak keweleh. Oleh karena, keweleh merupakan buah angkara murka
yang berakibat pada kerendahan diri. Seorang pimpinan kalau sudah keweleh akan jatuh pada kehinaan. Perlu diingat bahwa segala sesuatu di dalam alam
semesta ini telah ditentukan jalannya oleh Tuhan, diakui kebenarannya oleh orang Jawa dan ia menyatakannya dengan kata-kata wis pesthine, wis dadi
pepesthen atau wis dadi kersane Gusti Kang Maha Kuwasa sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maka Kuasa, dan aleh karena itu usaha untuk
mengetahui kehendak Tuhan ini merupakan bidang usaha yang amat penting bagi orang yang berusaha hingga ia akan mendapatkan ketentuan tentang apa
kehendak alam ini dan vang dengan demikian akan memberi ketentraman pada flidupnya.
Doktrin karma pala yang terletak dalam bidang pikir ini dan yang di da lam falsafah Hindu begitu penting artinya, dan telah tersusun rapi dalam suatu ajaran
yang rumit dan sangat halus sophisticated bermutu tinggi, tidak begitu banyak tulisan yang berasal dari abad 18 dan 19. Karma pala akan membuka aib seorang
pimpinan yang bertindak hanya mengandalkan nafsu. Bisa dibayangkan, bagaimana penjilmaan-penjilmaan tindakan yang lebih sederhana seperti di
dalam lakon wayang tentang Patih Suwanda, Resi Bisma, Irawan yang matinya disebabkan oleh tindak yang tidak benar, sehingga ada hukum karma pala.
Sungguh hina kalau karma pala itu telah berlaku, tidak seorang pun dapat menolaknya. Pimpinan yang terkena karma pala, dirinya akan keweleh di depan
umum. Lihat saja, apa yang dilakukan oleh pimpinan PKS dan Demokrat sekarang ini, harus berurusan dengnan KPK, keweleh akhirnya.
Seringkali perbuatan pimpinan Jawa akan mengenai numusi pada keturunannya. Oleh sebab itu, karpa pala yang semula berasaldari paham Hindu,
sampai saat ini masih terasa. Pimpinan yang terlalu keras, semena -mena terhadap bawahan, akan menerima akibatnya. Hukum karpa, yang terungkap
dalam unen-unen Jawa sapa gawe nganggo sapa nandur ngundhuh, artinya siapa yang berbuat jelek akan menerima akibatnya, semakin sulit dibantah. Bahkan
suatu saat pimpinan yang bertindak dengki dan dendam pada bawahannya, suatu saat dia akan mendapatkan balasan keweleh. Keadaan sering yang akan
memberikan jawaban pada balasan perbuatan.
Keweleh dapat terjadi pada pimpinan apa saja, ketika tindakan dirinya kurang control. Pimpinan yang tangan besi dan merasa sok paling hebat, paling
benar, dan paling bersih, akan terpeleset pada keadaan keweleh manakala kurang mampu mengevaluasi diri. Yang celaka lagi jika perbuatan pimpinan itu
akibatnya jatuh pada keturunannya, sungguh memalukan. Kepercaya an bahwa perbuatan baik dapat diaktualisasikan hasilnya untuk kepentingan keturunan kita
kelak memang benar. Namun jika pimpinan berbuat jelek, akan hina jika karma pala dan keweleh jatuh pada keturunannya. Konteks keweleh itu dapat datang
dari arah mana pun.
Untuk menanggulanggi konteks pimpinan yang keweleh memang belum ada obat mujarab. Jika keweleh ini dibiarkan, pimpinan akan kehilangan kesadaran
diri. Mungkin sekali, dia akan kehilangan panggung kepemimpinan dan akhirnya ngenes, artinya hidup juga tidak mati juga tidak. Maka, salah satu jalan penting
bagi dia adalah melakukan konsentrasi batin. Jika laku melatih dan mengarahkan manusia untuk mempertinggi budinya, agar mencapai tingkat kesadaran dan
dengan demikian kemurnian dan kesucian yang makin ting gi, maka laku juga mengakumulasikan kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang
makin besar. Akibatnya rasa keweleh akan sembuh sedikit demi sedikit, dan memakan waktu yang relatif panjang.
BAB VIII SIMBOLISME KEPEMIMPINAN JAWA