diembannya. Tetapi ia punya iman yang kuat. Ia mendekatkan diri kepada Yang Agung. Ia sadar hanya kepada-Nya ia akan kembali. Bahwa keabadian dan kelanggengan
hanya milik-Nya, pemilik alam semesta, penentu segalanya.
Dharma seorang pemimpin yang bijak seperti dijabarkan dalam astabrata, dalam Ramayana dan citra pemimpin bangsa dalam Serat Pamarayoga, sebaiknya dijadikan
pegangan, demi mencapai kesejahteraan rakyat. Konsep tersebut mampu menopang kepemimpinan bangsa yang multikultural. Sosok pemimpin bangsa yang bijak
dibutuhkan guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa didukung UUD 45, sumber segala hukum di Indonesia, sasanti Bhinneka Tunggal Ika dalam cengkeraman
burung garuda putra bhagawan Kasyapa dalam kitab Adiparwa. Garuda menjadi wahana dewa Wisnu, dewa pengayom alam semesta yang menjelma pada diri
pemimpin bangsa. Dilengkapi dasar negara Pancasila, di bawah naungan pataka sang saka merah putih, lambang kehidupan jelmaan lingga dan yoni di Nusantara yang
mahardika, dirangkai dalam Sutasoma. Tan Tular berpesan kepada bangsa pancasila
gĕgĕn den teki haywa lupa, bahwa ’pancasila harus dipegang teguh, jangan diabaikan’. Pancasila, Bhinneka tunggal ika dan mahardika, pataka sang saka pengikat NKRI
dalam untaian manikam sepanjang khatulistiwa.
Pemimpin bangsa telah dipilih, melalui pileg dan pilpres. Siapa pun mereka pilihan bangsa. Tempat menggantungkan harapan dan masa depan yang lebih baik di bumi
yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas, tata titi tentrem kerta raharja, dalam arti murah sandang pangan seger kuwarasan,
bukan hanya slogan. Mutiara kata itu harus direalisasikan oleh mereka yang mendapatkan amanah, sebagai perwujudan lukisan negeri Amarta yang didendangkan
ki dalang dalam pentas wayang. Bukan sekedar impian, dengan memanfaatkan potensi alam anugerah Allah Swt. yang membentang sepanjang khatulistiwa, dalam bentuk
hutan, gunung, laut dan sungai, simpanan harta karun yang tak ternilai harganya. Semua dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Mereka harus bekerjasama saiyeg
saekapraya membangun bangsa. Eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki tugas membangun negara dan bangsa. Sebagai pemimpin mereka memiliki tanggung jawab
yang cukup berat. Kesejahteraan rakyat tidak bisa diwakilkan, tetapi direalisasikan. Bila wakil rakyat hidup sejahtera bukan berarti rakyat pun merasakannya.
Ekonomi kerakyatan bukan sekedar janji. Rakyat kecil tidak menuntut terlalu banyak. Kebutuhan mereka sederhana. Sandang pangan tercukupi, kesehatan terjaga,
dan menyekolahkan anak demi masa depan calon pemimpin bangsa terlaksana. Kebutuhan itulah yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Salah satu solusinya
dengan menciptakan lapangan kerja. Agar gepeng, pengamen, pengasong di jalanan tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan pengguna jalan. Ungkapan hujan emas
di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri pun pudar. Rumput tetangga tampak lebih hijau. Rakyat berbondong-bondong ke negeri orang mengadu nasib. Yang
beruntung meraup uang sementara yang kurang beruntung ada yang pulang tinggal nama, menjadi jenazah, karena siksaan sang majikan. Cukupkah mereka mendapat
gelar pahlawan devisa?.
Dalam Nagarakŗtagama dijelaskan bahwa Hayam Wuruk, setiap tahun anjangsana
melihat langsung suasana pedesaan membaur kembul bujana dan berkomunikasi dengan rakyat, sambil membagikan sedekah. Sebagai raja ia sangat dekat dengan
rakyat dan merakyat. Tidak ada jarak di antaranya. Rakyat pun merasa diperhatikan.
Rakyat mempersembahkan berbagai hasil bumi, sebagai rasa hormat dan ungkapan rasa terima kasih dan ajrih asih. Dengan demikian rasa asih dan asuh tercipta antara
pemimpin dengan yang dipimpin. Ibarat ikan dan air, singa dan hutan, atau tegal dan rumput, menyatu saling membutuhkan seperti yang diungkapkan dalam Serat
Panittisastra.
Masyarakat Jawa percaya bahwa wahyu kaprabon, dalam diri seorang pemimpin masih ada. Asal pemimpin masih sanggup memberikan pangayoman, maka rakyat
akan loyal. Seorang pemimpin harus waspada. Sebab di antara punggawa ada yang mbalela, sengaja berkhianat demi jabatan yang diincarnya. Bagi masyarakat konsep
ratu adil, wahyu dan pulung merupakan trilogi dalam demokrasi. Untuk mendapatkan pulung atau wahyu, memerlukan laku, dengan mesu budi atau mesu brata, minta
kepada Hyang Agung dengan jalan berpuasa atau bertapa. Wahyu merupakan jelmaan suara-Nya di balik suara umat manusia yang dipercaya mampu menerimanya.
Sedangkan trilogi yang dianut oleh kraton Mangkunagaran, melu handarbeni, wajib hangrukebi, mulat sarira munggengwani. Bahwa seorang pemimpin harus merasa
memiliki, membela kebenaran dan mawas diri. Mau mengakui kasalahan pribadi tanpa menyalahkan orang lain.
D. Kepemimpinan Nyakrawati dan NJongkeng Kawibawan
Konsep kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi konsepsi- konsepsi tentang kedaulatan, integritas teritorial, dan hubungan-hubungan luar
negeri. Moertono dan lain-lainnya telah memperlihatkan ketentuan yang hampir tidak berubah dalam lakon-lakon wayang dan dalam tradisi historis, bahwa nama-nama
kekaisaran atau kerajaan sama dengan nama ibu kotanya. Di antara contoh -contoh yang terkenal adalah Majapahit, Singasari, Kediri dan Demak. Memang bahasa
Jawa tidak membuat perbedaan etimologis yang jelas antara ibu kota negara dan kerajaan itu sendiri. Kedua pengertian ini tercalcup dalam kata rcgari. Jadi negara
secara khas ditentukan, bukan oleh batas wiiayahnya, melainkan oleh pusatnya. Luas wilayah negara selalu mengalami perubahan sesuai dengan jumlah kekuasaan
yang dikonsentrasikan di pusat. Tapal-tapal batas tertentu dan umumnya diakui dalam praktik, umpamanya hambatan-hambatan geografis yang hebat, seperti
pegunungan dan lautan, yang juga cenderung dianggap sebagai tempat penting.
Kekuasaan raja itu diungkapkan oleh kemampuannya untuk menciptakan para pengganti Ian memindahkan kekuasaannya kepada mereka. Orang Jawa biasa tidak
mempunyai cara untuk mengetahui kesuburan penguasa, selain dengan mengetahui jumlah anak yang dihasilkannya. Seandainya penguasa itu impoten atau tidak dapat
beranak, hal itu dapat dianggap sebagai tanda kelemahan politik biasa pertapa yang kadang-kadang dilakukan penguasa, akan menjadi lebih besar artinya kalau di
samping itu vitalitas seksualnya jelas sekali. Adalah menarik bahwa dalam Iakon- lakon wyang, sedikit disebut hubungan seksual antara para satria dengan para
mereka yang tidak langsung mengakibatkan kehamilan. Kesuburan dalam hubungan seksual ini sampai dibawa kepada hal-hal yang lucu dalam beberapa lakon dagelan di
mana dikatakan bahwa bahkan dewa-dewa itu sendiri menjadi hamil sewaktu mereka mandi dalam suatu kolam di mana satria Pandawa, Arjuna, sedang melakukan
sanggama di bawah kekuatan-kekuatan gaib yang besar kuasanya. Dengan
pengecualian itu, kerajaan biasanya dianggap tidak mempunya batas-batas yang tetap dan dipetakan; tetapi mempunyai bata batas tidak tetap dan selalu berubah.
Dalam pengertiam sesungguhnya, tapal batas politis tidak ada sama sekali, karen kekuasaan seorang penguasa berangsur-angsur semakin lama di kejauhan
dan secara tak terasa menyatu dengan kekuasaa raja tetangga yang semakin menanjak. Perspektif ini memperjelas perbedaan fundamental antar gagasan lama
mengenai suatu kerajaan Asia Tenggara dan negara modem yang bersumber dari pandangan-pandanga yang sama sekali berbeda tentang arti tapal batas. Implisit di
dalam gagasan negara modem ialah konsepsi bahwa tapal batass menandai turunnya secara cepat dan mendadak voltase; kekuasaan para penguasa negara
itu. Sepuluh meter di sebelahi sini tapal batas kekuasaan mereka berdaulat; sepuluh meter di sebelah sana dalam teori, kekuasaan mereka tidak berarti. Lagi
pula, di tempat mana pun di dalam wilayah tapal batas negara, kekuasaan pusat secara teoretis seragam beratnya. Para warga negara yang tinggal di daerah
pinggiran kerajaan, harus mempunyai status yang sama dengan warga negara yang tinggal di pusat, dan kewajiban-kewajiban hukum harus berlaku seragam di seluruh
daerah negara. Karena gagasan tradisional tentang kekuasaan sama sekali berbeda sifatnya, dan gagasan untuk menerapkan kekuasaan secara seragam di seluruh
wilayah tidak ada artinya, maka konsep tapal batas terbatas sekali artinya; sifat negara tradisional ditentukan oleh pusatnya, bukan oleh batas pinggimya.
Sifat pemikiran Jawa tradisional yang sangat berorientasi keadaan pusat, jelas sekali dilukiskan oleh terbaginya dunia menjadi dua jenis negara: Jawa dan sabrang
kata yang tidak dibedakan yang berarti seberang lautan, tetapi pada pokoknva dipergunakan untuk tnenunjukkan semua kelompok dan
satuan politik yang bukan Jawa. Walaupun sopan-santun dan persyaratan ideologi nasionalisme Indonesia
dewasa ini teiah menjadikan pembagian seperti ini tidak dapat diterima di depan umum, namun dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan banyak orang Jawa
masih kita dapati sisa-sisa konsepsi intelehtual ini dengan kuat dan jelas. Bahkan demikian dalamnya gagasan itu tertanam, sehingga orang Belanda telah
menerimanya kira-kira tanpa disadarinya, dengan membagi wilayah-wilayah jajahan mereka dengan istilah-istilah Jawa dan daerah-daerah War. Banyak orang Jawa
yang masih merasa sangat sukar sekali menerima sepenuhnya pendapat bahwa Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau yang sederajat. dan berinteraksi, ialah
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau lain. Semua pulau itu cenderung dipandang dalam hubungannya dengan pusatnya Jawa. Demikian pula,
banyak orang Jawa sukar membayangkan terdapatnya dua negari, setidak-tidaknya di Jawa. Jadi walaupun kedua kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, masing-masing
telah berdiri secara terpisah selama lebih dari 200 tahun, dan jarak antara keduanya kurang lebih hanya 60 kilometer, banyak, orang Jawa masih biasa menggunakan
kata nega7z unipamanya dalam kalimat: Kulo bade dateng negari, yang artinya: Saya akan pergi ke negari dengan maksud satu ibu kota, dan menyebut lainn,ya
dengan namanya saja, sebagaimana mereka menyebut nama kota lain mana pun di Indonesia.
Ajaran ini menekankan kultus ekspansi yang merupakan suatu dorongan yang perlu untuk perjuangan mempertahankan hidup, untuk menyatakan diri serta demi
dominasi dunia, dan faktor dinamis yang diperhitungkan untuk mengganggu
keseimbangan hubungan-hubungan antar negara. Nafsu berperang suatu negara pertama-tama ditujukan kepada satu atau beberapa negara tetangga terdekat, dan
dengan demikian diperlukan persahabatar: negara yang berada di sebelah sana dari musuh itu, yang karena dekatnya, menjadi musuh yang wajar pula dari musuh
itu. Tetapi seandainya musuh bersama itu telah ditaklukkan, maka kedua sekutu itu akan menjadi tetangga-tetangga dekat, yang tentu akan menimbulkan permusuhan
baru. Jadi lingkaran persekutuan dan permusuhan ini akan selalu meluas sampai tercapai suatu perdamaian universal, dengan didirikannya suatu negara dunia
dengan seorang penguasa tunggal tertinggi chakravartin.
Beberapa hal penting timbul dari gambaran mandala ini sebagai dasar hubungan-hubungan intemasional atal.t, lebih tepat lagi, hubungan-hubungan antara
kerajaan. Yang per
-
tama adalah bahwa musuh a priori seorang penguasa adalah tetangga terdekatnya. Moertono tidak menjelaskan lebih lanjut alasanalasan
mengapa pola seperti ini harus ada. Tetapi kalau garis umum argumentasi saya itu benar, maka logikanya menjadi amat jelas. Telah saya kemukakan bagaimana
dalam pemikiran orang Jawa, kekuasaan penguasa tidak terbagi rata di seluruh wilayah kerajaan, tetapi cenderung untuk menipis secara merata jika semakin jauh
dari pusat, sehingga ia paling lemah justru pada titik di mana daerah kekuasaa n menyatu dengan daerah tetangganya. Jadi kalau ia ingin agar kekuasaannya tidak
diperkecil dan diperlemah oleh tarikan kekuasaan tetangganya, haruslah ia pertama - tama berusaha m?nggunakan kekuasaannya iiu terhadap kekuasaan tetangganya.
Kita dapat mengingat kembali mengenai gagasan bahwa jumlah kekuasaart dalam alam semesta ini tetap, mengandung arti bahwa kalau jumlah kekuasaan di suatu
tempat bertambah besar, maka jmuiail kekuasaan di tempat lain berkurang dalam jumlah yang tepat sama. Karena kekuasaan itu seperti zat cair dan tidak stabil,
selalu siap terpencar dan membaur, maka agresi anta Negara sudah tentu menjadi asumsi pokok dalam hubungan antamegara.
Ada tiga cara yang mungkin dilakukan dalam menghadapi ancaman yang datang dari pemusatan-pemusatan kekuasaarl yang dekat, yaitu menghancurkan
dan mengobrak-abrik, menyerap, atau kombinasi kedua hal itu. Menghancurkan musuh sebagaimana yang misalnya dilakukan Sultan Agung dalam rangkaian
operasi penaklukannya yang kejam terhadap negara-negara kota perdagangan di pasisir pantai utara Pulau .1awa, ada kerugian-kerugiannya. Pada tingkat
praktisnya saja, penghancuran total akan meuyebabkan habisnya penduduk set;empat, menimbulkan kekacauan dan kemunduran ekonomi, dan kemudian
mungkin akan menyebabkan timbulnya pemberontakan dan perlawanan gerilya. Pemindahan penduduk mungkin dapat mencegah timbulnya masalah yang tersebut
terakhir ini, tetapi seandainya pemindahan itu tidak menyeluruh, maka timbulnya masalah ini mungkin tidak dapat dicegah secara pasti.
f
Dipandang dari segi yang lebih teoretis, mcmusnahkan orang-orang lain tidak dengan sendirinya berarti
memperluas atau memperbesar kekuasaan penguasa itu, tetapi hanya berarti menceraiberaikan kekuasaan lawan, yang mungkin diambil atau diserap oleh lawan -
lawan lain. Lagi pula, menghancurkan itu sendiri adalah cara yang paling kasar untuk menaklukkan musuh, dan karena itu merupakan cara yang paling tidak
diinginkan. Yang lebih memuaskan adalah cara menyerap, yang dalam praktik