TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Fungsi Keluarga Terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional Para Pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi

Model MMFF tidak melingkupi seluruh aspek dari fungsi keluarga, tetapi lebih berfokus pada dimensi keberfungsian yang dapat dilihat sebagai aspek yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap kesehatan emosional dan fisik atau masalah-masalah pada anggota keluarga. Dalam perkembangannya, MMFF telah melalui proses pengembangan lebih dari 40 tahun. Model ini telah digunakan secara luas oleh berbagai klinik psikiatri dan keluarga, serta oleh para terapis yang menangani masalah keluarga Epstein et al, 2003. Aspek-aspek yang mendasari sistem teori dari The McMaster Model of Family Functioning MMFF adalah sebagai berikut : a. Setiap bagian dari keluarga saling berhubungan satu sama lain b. Satu bagian dari keluarga tidak bisa dipahami jika dipisahkan dari sistem keluarga yang lain c. Keberfungsian keluarga tidak bisa dipahami secara utuh hanya dengan memahami satu bagian saja dari sistem keluarga d. Struktur dan organisasi keluarga merupakan faktor penting yang menentukan perilaku dari setiap anggota keluarga e. Pola transaksional dari sistem keluarga merupakan aspek penting yang dapat membentuk perilaku dari setiap anggota keluarga Pengembangan dari MMFF mengasumsikan bahwa fungsi utama dari keluarga adalah untuk menyediakan segala sarana yang dapat mengembangkan dan menjaga aspek sosial, psikologis, dan biologis dari semua anggota keluarga Epstein, Levin, Bishop, 1976. Menurut Epstein et al 2003, untuk memenuhi fungsi ini, keluarga harus menghadapi variasi masalah dan tugas yang tercakup dalam tiga area yaitu area tugas dasar, area tugas perkembangan, dan area tugas resiko. Area tugas dasar merupakan area yang terkait dengan kebutuhan dasar keluarga seperti bagaimana keluarga harus menyediakan makanan, uang, transportasi, dan tempat tinggal. Area tugas perkembangan merupakan aspek yang berhubungan dengan proses perkembangan dalam keluarga yang biasanya terjadi secara bertahap. Perkembangan ini bisa dilihat secara individu dalam keluarga seperti perkembangan anak dari bayi hingga dewasa. Selain itu, perkembangan juga terjadi dalam keluarga secara keseluruhan seperti awal dari pernikahan, kehamilan pertama, hingga anak yang terakhir dalam keluarga meninggalkan rumah. Area tugas resiko merupakan permasalahan yang melibatkan kondisi krisis dalam keluarga seperti ada anggota keluarga yang sakit, kecelakaan, dan kehilangan pekerjaan. Keluarga yang tidak bisa menghadapi permasalahan dan memenuhi kebutuhan yang tercakup dalam tiga area diatas, maka akan mengalami masalah atau fungsi maladaptif pada satu atau beberapa area dari keberfungsian keluarga.

1.5 Dimensi Fungsi Keluarga

Terdapat enam dimensi dari fungsi keluarga menurut teori The McMaster Model yaitu pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku. The McMaster Model menggunakan seluruh dimensi tersebut untuk menilai dan memahami bagian dari keluarga yang kompleks Miller et al., 2000. Dalam alat ukur Family Assessment Device FAD, terdapat tambahan satu dimensi yaitu dimensi fungsi keluarga secara umum yang mengukur kesehatan atau patologi dari sebuah keluarga secara keseluruhan.

1.5.1 Pemecahan Masalah

Dimensi ini merujuk kepada kemampuan keluarga untuk memecahkan masalah pada setiap level sehingga dapat menjaga fungsi keluarga tetap efektif. Isu-isu dalam keluarga yang menjadi masalah dapat mengancam keutuhan dari keluarga baik secara fisik maupun secara emosional dari setiap anggota keluarga, sehingga keluarga yang memiliki fungsi keluarga yang efektif dapat menyelesaikan masalah tersebut. Setiap keluarga bisa memiliki tingkat dan jumlah masalah yang berbeda-beda. Keluarga yang berfungsi dengan efektif dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, sementara itu keluarga yang tidak berfungsi secara efektif hanya memperhatikan sebagian masalah dari semua masalah yang keluarga mereka hadapi Epstein et al., 2003. Masalah yang dihadapi dalam keluarga secara konseptual dibagi menjadi dua tipe, yaitu masalah instrumental dan masalah afektif. Masalah instrumental berkaitan dengan masalah teknis dalam kehidupan sehari-hari seperti pengaturan keuangan atau memutuskan lokasi tempat tinggal. Masalah afektif merupakan masalah yang berhubungan dengan pengalaman emosi dan perasaan Miller et al., 2000. Dalam The McMaster Model of Family Functioning, terdapat 7 tahapan dalam proses menyelesaikan masalah Epstein et al., 2003, yaitu : 1. Mengidentifikasi masalah 2. Mengkomunikasikan masalah dengan orang yang tepat dalam keluarga 3. Mengembangkan alternatif solusi yang mungkin untuk dilakukan 4. Memutuskan untuk melakukan salah satu alternatif solusi 5. Melaksanakan keputusan 6. Melakukan monitoring terhadap langkah yang telah dilaksanakan 7. Melakukan evaluasi terhadap keefektifan proses pemecahan masalah Keluarga yang berfungsi dengan baik akan membuat langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah terlebih dahulu, mendiskusikan permasalahan, mengkomunikasikan permasalahan tersebut satu sama lain, dan memutuskan tindakan yang tepat Epstein et al., 2003.

1.5.2 Komunikasi

Komunikasi dalam fungsi keluarga didefinisikan sebagai pertukaran informasi secara verbal di dalam keluarga Epstein et al., 2003. Komunikasi disini difokuskan pada komunikasi secara verbal yang lebih dapat diukur. Bukan berarti komunikasi nonverbal dalam keluarga menjadi tidak penting, hanya saja komunikasi nonverbal memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kesalahpahaman. Selain itu, komunikasi nonverbal secara metodologis sulit diukur menjadi data dalam penelitin Miller et al., 2000. Fokus pada The McMaster Model of Family Functioning MMFF adalah melihat pola komunikasi dalam keluarga Epstein et al., 2003. Komunikasi dalam keluarga juga dibagi menjadi dua area, yaitu komunikasi instrumental dan komunikasi afektif. Ada dua aspek lain yang bisa dilihat dalam komunikasi yaitu jelas atau terselubung, dan langsung atau tidak langsung. Pada komunikasi yang jelas atau terselubung dapat dilihat apakah isi dari pesan tersebut disampaikan melalui pernyataan yang jelas atau hanya sebagai pernyataan kamuflase, samar-samar, atau ambigu. Pada komunikasi yang dilihat dalam kontinum langsung atau tidak langsung dapat dilihat apakah pernyataan tersebut langsung ditujukan pada orang yang tepat atau dialihkan kepada orang lain. Berdasarkan pembagian area komunikasi yang dijelaskan di atas, dapat diidentifikasikan 4 cara berkomunikasi yaitu, jelas dan langsung, jelas dan tidak langsung, terselubung dan langsung, terselubung dan tidak langsung. Pada keluarga yang efektif, komunikasi dilakukan secara langsung dan jelas pada kedua area instrumental dan afektif. Sedangkan komunikasi yang tidak efektif adalah komunikasi yang kurang jelas dan tidak langsung Epstein et al., 2003.

1.5.3 Peran

Peran di dalam keluarga didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki pola berulang yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk memenuhi fungsi keluarga Epstein et al., 2003. Terdapat beberapa fungsi dimana seluruh anggota keluarga dapat memahami fungsi tersebut untuk menciptakan keluarga yang sehat. MMFF menemukan adanya lima peran dasar keluarga, yaitu : a. Penyediaan sumber daya, meliputi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan penyediaan uang, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. b. Perawatan dan dukungan, meliputi penyediaan kenyamanan, kehangatan, rasa aman, dan dukungan untuk anggota keluarga. c. Kepuasan seksual dewasa, pasangan suami istri secara personal merasakan kepuasan dalam hubungan seksual satu sama lain. d. Pengembangan pribadi, merupakan tugas dan fungsi keluarga untuk mendukung anggota keluarga dalam mengembangkan keterampilan pribadi, termasuk perkembangan fisik, emosi, sosial, dan pendidikan anak-anak, serta pengembangan karir dan perkembangan sosial dewasa. e. Pemeliharaan dan pengelolaan sistem keluarga, meliputi berbagai fungsi yang melibatkan teknik dan tindakan yang dibutuhkan untuk mempertahankan standar keluarga seperti pengambilan keputusan, batasan dan fungsi keanggotaan dalam keluarga, implementasi dan kontrol perilaku, pengaturan keuangan rumah tangga, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan dan kesehatan keluarga. Dalam menjelaskan dimensi peran, terdapat dua konsep yaitu alokasi peran dan akuntabilitas peran Epstein et al., 1978. Alokasi peran dilihat dari bagaimana sebuah keluarga melakukan proses alokasi atau penyebaran tanggung jawab bagi seluruh anggota keluarga. Akuntabilitas peran dilihat dari bagaimana anggota keluarga bisa menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan secara penuh dan berkomitmen dalam melaksanakannya. Fungsi keluarga dapat dikatakan baik adalah keluarga yang dapat memenuhi semua fungsi kebutuhan keluarga. Selain itu, keluarga yang sehat adalah keluarga yang memiliki proses penyebaran dan pelaksanaan tanggung jawab yang jelas dan tepat Epstein et al., 1978.

1.5.4 Responsivitas Afektif

Responsivitas afektif didefinisikan sebagai kemampuan berespon terhadap stimulus yang ada dengan kualitas dan kuantitas perasaan yang tepat Epstein et al., 2003. Pada dimensi ini terdapat aspek kuantitatif yang berfokus pada derajat respon afektif berdasarkan kontinum dari ketiadaan respon sampai respon yang wajar, atau respon yang cukup dapat diterima sampai respon yang berlebihan. Sedangkan pada aspek kualitatif dapat dilihat apakah anggota keluarga dapat berespon dengan menggunakan berbagai macam variasi emosi yang ada dan respon yang ditampilkan sesuai dengan stimulus dan konteks situasi yang terjadi Miller, 2000. Dimensi ini tidak dimaksudkan untuk melihat cara anggota keluarga menyampaikan perasaan mereka, tetapi apakah mereka memiliki kapasitas untuk merasakan emosi Epstein et al., 2003. Afek dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu emosi sejahtera dan emosi darurat. Emosi sejahtera terdiri dari afeksi, kehangatan, kelembutan, dukungan, cinta, dan kesenangan. Emosi darurat terdiri dari marah, takut, sedih, kecewa, dan depresi. Pada keluarga yang sehat, seluruh anggota keluarga memiliki kemampuan untuk mengekspresikan berbagai macam emosi, emosi yang ditampilkan sesuai dengan konteks situasi, dan memiliki kesesuaian dalam intensitas dan durasi.

1.5.5 Keterlibatan Afektif

Keterlibatan afek merupakan sejauh mana anggota keluarga menunjukkan ketertarikan dan penghargaan kepada aktivitas dan minat anggota keluarga lainnya Epstein et al., 2003. Dimensi ini memfokuskan kepada seberapa banyak ketertarikan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, terdapat 6 tipe keterlibatan dalam anggota keluarga : a. Kurang terlibat : tidak ada keterlibatan satu sama lain b. Keterlibatan tanpa perasaan : melibatkan hanya sedikit ketertarikan satu sama lain, hanya sebatas untuk pengetahuan saja c. Keterlibatan narsistik : keterlibatan dengan anggota keluarga lain hanya sebatas perilaku atau aktivitas tersebut memiliki manfaat bagi dirinya sendiri d. Keterlibatan empatik : mau terlibat dengan anggota keluarga satu sama lain demi kepentingan anggota keluarga yang lain e. Keterlibatan yang berlebihan : keterlibatan yang terlalu berlebihan pada anggota keluarga lain f. Keterlibatan simbiotik : keterlibatan yang ekstrem dan patologis satu sama lain terlihat mengganggu hubungan. Pada keluarga yang seperti ini, terdapat kesulitan yang jelas dalam membedakan satu anggota keluarga dengan yang lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas, pada fungsi keluarga yang berjalan dengan baik, tipe keterlibatan yang terjadi sudah pasti adalah keterlibatan empatik. Keterlibatan yang efektif bukan berarti seluruh anggota keluarga mengerjakan kegiatan bersama-sama, tetapi lebih kepada derajat keterlibatan antara anggota keluarga Miller et al., 2000.

1.5.6 Kontrol Perilaku

Dimensi ini menjelaskan mengenai pola yang diadopsi oleh keluarga untuk menangani perilaku anggota keluarga dalam tiga area beriku ini yaitu, situasi yang membahayakan secara fisik, situasi yang melibatkan pemenuhan kebutuhan dan dorongan psikobiologis, situasi yang melibatkan perilaku sosialisasi interpersonal baik diantara anggota keluarga maupun dengan orang lain di luar keluarga Epstein et al., 2003. Setiap keluarga memiliki aturan standar masing-masing tentang perilaku yang bisa diterima pada setiap anggota keluarga. Terdapat empat kategori kontrol perilaku dalam keluarga yang didasarkan pada variasi standar dan perilaku yang dapat diterima : a. Kontrol perilaku yang kaku : terdapat standar yang sempit dan kaku sehingga sangat sedikit negosiasi tentang berbagai situasi b. Kontrol perilaku yang fleksibel : menetapkan standar yang logis, ada kesempatan untuk berubah dan melakukan negosiasi sesuai konteks situasi c. Kontrol perilaku laisses-faire : tidak memiliki standar, setiap perubahan diperbolehkan tanpa melihat konteks d. Kontrol perilaku tidak beraturan : adanya perubahan yang terjadi secara random dan tak terduga antara tipe 1-3, sehingga anggota tidak mengetahui standar apa yang berlaku dan seberapa banyak negosiasi dimungkinkan terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas, fungsi keluarga yang paling baik dan efektif adalah keluarga yang menerapkan kontrol perilaku yang fleksibel, sedangkan fungsi keluarga yang paling tidak efektif adalah keluarga dengan tipe kontrol perilaku yang tidak beraturan.

2. Remaja

2.1 Definisi remaja

Remaja adolescence berasal dari bahasa latin, adolescence yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”, secara umum berarti proses fisiologis, sosial, dan kematangan yang dimulai dengan perubahan pubertas Wong dkk, 2008. Remaja adalah individu baik perempuan maupun laki-laki yang berada pada usia antara anak-anak dan dewasa Sarlito, 2002. Secara psikologis remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa dan tidak lagi merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan sama atau sejajar Hurlock, 2003. Menurut WHO 2013 remaja mencakup individu dengan usia 10-19 tahun, sedangkan remaja menurut SKKRI adalah perempuan dan laki-laki belum kawin yang berusia 15-24 tahun Depkes, 2006. Menurut BKKBN 2011 batasan usia remaja adalah 10-21 tahun. Masa remaja dibagi menjadi remaja awal dan remaja akhir. Masa remaja awal early adolescence kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama yang berlangsung antara usia 13 tahun sampai 16-17 tahun Santrock, 2003. Saat masa inilah dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan seringkali pada aparat keamanan. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi antara kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini sering kali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa Steinberg, 1993. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan proses pencapaian menjadi dewasa dengan segala perubahan yang terjadi pada rentang usia 10-24 tahun dan belum menikah.

2.2 Ciri-ciri masa remaja

Menurut Hurlock 1999, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang menbedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain : a. Masa remaja sebagai periode yang penting Periode remaja dianggap sangat penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku. Akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru Hurlock, 1999. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan Hurlock, 1999. c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada empat perubahan yang sama dan hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan Hurlock, 1999. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang suit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah, serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya, maka memakai menurut cara yang mereka yakini. Banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapan mereka Hurlock, 1999. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa, apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang rasa tau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya. Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal Hurlock, 1999. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal Hurlock, 1999. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman- temannya, menyebabkan meningkatnya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri Hurlock, 1999. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan Hurlock, 1999.

2.3 Tugas perkembangan pada masa remaja

a. Menerima citra tubuh Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih seuai dengan apa yang dicita-citakan Hurlock, 1999. b. Menerima identitas seksual Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak perempuan, mereka didorong untuk memainkan peran sederajat sehingga usaha untuk mempelajari peran feminin dewasa memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun Hurlock, 1999. c. Mengembangkan sistem nilai personal Remaja mengembangkan sistem nilai yang baru misalnya remaja mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari nol dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana harus bergaul dengan mereka Hurlock, 1999. d. Membuat persiapan untuk hidup mandiri Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri harus didukung oleh orang terdekat Hurlock, 1999. e. Menjadi mandiri atau bebas dari orang tua Kemandirian emosi berbeda dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, tetapi juga membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya yang mempunyai hubungan akrab dengan anggota kelompok dapat mengurangi ketergantungan remaja pada orang tua Hurlock, 1999. f. Mengembangkan keterampilan mengambil keputusan Keterampilan mengambil keputusan dipengaruhi oleh perkembangan keterampilan intelektual remaja itu sendiri, misal dalam mengambil keputusan untuk menikah di usia remaja Hurlock, 1999.

g. Mengembangkan identitas seseorang yang dewasa

Remaja erat hubungannya dengan masalah pengembangan nilai- nilai yang selaras dengan dunia orang dewasa yang akan dimasuki, adalah tugas untuk mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab Hurlock, 1999.

2.4 Perubahan pada remaja

a. Perubahan fisik pada remaja Menurut Suntrock 2007 terjadi pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja, termasuk pertumbuhan organ reproduksi organ seksual untuk mencapai kematangan sehingga mampu melangsungkan fungsi reproduksi. Perubahan ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda yaitu : 1 Tanda-tanda seks primer yaitu yang berhubungan langsung dengan organ seks. Terjadinya haid pada remaja putri menarche dan terjadinya mimpi basah pada remaja laki-laki. 2 Tanda-tanda seks sekunder yaitu : pada remaja laki-laki terjadi perubahan suara, tumbuhnya jakun, penis, dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis, jambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Dan pada remaja putri terjadi perubahan pinggul lebar, pertumbuhan Rahim dan vagina, payudara membesar, tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan pubis dan ketiak. b. Perubahan kejiwaan pada remaja Proses perubahan kejiwaan berlangsung lebih lambat dibandingkan perubahan fisik yang meliputi : 1 Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi : a Sensitif mudah menangis, cemas, frustasi, dan tertawa b Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang berpengaruh, sehingga misalnya mudah berkelahi. 2 Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi : a Mampu berpikir abstrak, senang memberikan kritik b Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin coba-coba.

3. Kecerdasan Emosional

3.1 Definisi Kecerdasan Emosional

Semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e- “ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasannya emosi memancing tindakan. Selain itu emosi dapat didefinisikan sebagai perasaan, afek, yang terjadi ketika seseorang berada dalam sebuah kondisi atau sebuah interaksi yang penting baginya, khususnya bagi kesejahteraannya Campos dkk, 2004. Emosi dapat ditandai oleh perilaku yang merefleksikan mengekspresikan kondisi senang atau tidak senang seseorang atau transaksi yang sedang dialami McBurnett dkk, 2005. Emosi juga dapat bersifat lebih spesifik dan terwujud dalam bentuk gembira, takut, marah, dan seterusnya, tergantung pada bagaimana transaksi tersebut mempengaruhi orang tersebut. Sebagai contoh, transaksi dalam bentuk ancaman, frustasi, kelegaan, penolakan, sesuatu yang tidak terduga. Disamping itu, emosi dapat memperlihatkan kemarahan yang intens hanya dalam situasi khusus. Oleh karena itu, emosi sangat penting bagi rasionalitas. Dalam liku-liku perasaan dengan pikiran, kemampuan emosional membimbing keputusan kita dari waktu ke waktu, bekerja bahu-membahu dengan pikiran rasional, mendayagunakan atau tidak mendayagunakan pikiran itu sendiri. Demikian juga, otak nalar memainkan peranan eksekutif dalam emosi kita, kecuali pada saat-saat emosi mencuat lepas kendali dan otak emosional berjalan tak terkendalikan. Sedangkan menurut Stein Book 2002 menyatakan bahwa istilah “kecerdasan emosi” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sifat hormat. EQ adalah ukuran kompetensi emosional dan sosial atau kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi ekspresi emosi dalam diri sendiri dan orang lain Goleman, 2001; Hettich, 2000. EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengatur emosi dalam menanggapi rangsangan lingkungan Sutarso, 1996; Bar-On, 1997. EQ telah dipopulerkan sebagai keterampilan yang dipelajari yang merupakan prediktor yang lebih baik dari kesuksesan hidup dari pencapaian intelektual atau kemampuan teknis Goleman, 2000. Menurut Shapiro 1998 kecerdasan emosi merupakan kemampuan memantau diri sendiri atau orang lain yang melibatkan pengendalian diri, semangat serta kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain. Sedangkan menurut Coper dan Sawaf 2002 mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber emosi serta pengaruh yang manusiawi. Dimana kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri sendiri atau orang lain serta menanggapinya dengan tepat. Salovey dan Mayer 1993 mendefenisikan kecerdasan emosi sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Howes dan Herald dalam Zainun, 2002 mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi karena dengan kecerdasan emosi seseorang dapat memahami diri sendiri dan orang lain. Menurut Richard Herrnstein dan Charles Murray 2002, yang dalam bukunya The Bell Curve, beberapa ciri-ciri seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional adalah memiliki kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka dan orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih. Goleman 2006 mendefinisikan EQ dalam model perkembangan kecerdasan. Model mereka dari EQ terdiri dari empat tingkatan hirarki yang menentukan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi dan kelompok. Dalam tahap pertama, orang belajar bagaimana mengidentifikasi emosi dalam diri mereka sendiri dan orang lain serta bagaimana membedakan antara ekspresi emosi. Pada tahap kedua, individu menggunakan emosi untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dan mengelola emosi mereka. Tahap ketiga ini ditandai dengan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan emosional dan memotivasi diri sendiri. Tahap keempat adalah proses untuk mengenali emosi orang lain dan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan yang mencakup memantau perasaan diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu membaca, dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, menguasai kebiasaan pikiran yang dapat mendorong produktifitas dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan yang terarah.

3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman 2006 faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang salah satunya adalah otak. Otak adalah organ yang penting dalam tubuh manusia. Otak yang bertugas mengatur dan mengontrol seluruh kerja tubuh. Struktur otak manusia adalah sebagai berikut : a. Batang otak, merupakan bagian otak yang mengelola insting untuk mempertahankan hidup. b. Amigdala, merupakan tempat penyimpanan semua kenangan baiktentang kejayaan, kegagalan, harapan, ketakutan, kemarahan, dan frustasi. c. Neokorteks atau otak pikir, tugas dari neokorteks adalah melakukan pelanaran, berpikir secara intelektual, dan rasional dalam menghadapi setiap persoalan. Goleman 2006 juga mengatakan faktor dari luar diri individu yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional adalah sebagai berikut : a. Lingkungan keluarga Lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajri emosi. Orang tua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi yang akhirnya akan menjadi bagian kepribadian anak. Orang tua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengerti perasaan anak dengan baik. b. Lingkungan non-keluarga Lingkungan masyrakat dan lingkungan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan, misalnya pelatihan asertivitas. Shapiro 1998 mengemukakan bahwa bagian yang paling menentukan dan berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi syaraf emosinya atau dengan kata lain otaknya. Bagian otak yang digunakan untuk berpikir yaitu neokorteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurus emosi emosi yaitu sistem limbik. Akan tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. Gharawiyan 2002 mengatakan bahwa lingkungan keluarga turut berperan dalam kecerdasan emosi seorang anak. Apabila suasana yang berkembang dalam keluarga bersifat positif, sehat, berakhlak, dan manusiawi maka akan menghindarkan anak dari sikap emosional. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang adalah lingkungan keluarga, lingkungan non-keluarga, serta struktur otak seseorang.

3.3 Aspek-aspek kecerdasan emosional

Goleman 2000 mengadaptasi aspek-aspek kecerdasan emosi yang telah diungkap oleh Salovey dan Mayer pada yahun 1991 dalam lima aspek sebagai berikut : a. Kesadaran diri, merupakan kemampuan untuk mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Pengaturan diri, merupakan kemampuan untuk menangani emosi kita sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi. c. Motivasi, merupakan kemampuan untuk menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif sehingga bertindak efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan. d. Empati, merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam- macam orang. e. Keterampilan sosial, merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi, mampu berinteraksi dengan baik, menggunakan keterampilan sosial untuk bekerja sama dalam satu tim. Cooper dan Sawaf 2002 membagi kecerdasan emosi dalam empat aspek, meliputi : a. Keterampilan emosi, adalah kemampuan untuk mengelola emosi secara tepat dan efektif. b. Keyakinan diri, kepercayaan yang besar yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sehingga individu dapat menerima keadaan dirinya sendiri. c. Sudut pandang, adalah bagaimana seorang individu memandang atau mempersepsikan sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya. d. Kreativitas, adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan hal-hal baru, menghasilkan ide-ide baru, mencari alternative baru sehingga dapat merubah sesuatu menjadi baik. Martin 2008 juga menyatakan ada beberapa aspek dalam kecerdasan emosi antara lain penyadaran diri, manajemen emosi, motivasi diri, empati, mengelola hubungan, komunikasi interpersonal, dan gaya hidup. Menurut Goleman 2002 menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi tanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi.

4. Hubungan antara fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional usia

remaja Sudah sejak lama masa remaja dinyatakan sebagai masa badai emosional Goleman, 2006. Dalam bentuknya yang ekstrim, pandangan ini terlalu bersikap stereotip karena remaja tidak selalu dalam kondisi “badai dan stress”. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa masa remaja awal merupakan suatu masa dimana fluktuasi emosi naik dan turun berlangsung lebih sering Dacey Kenny, 1997. Remaja awal dapat merasa sebagai orang yang paling bahagia di suatu saat dan kemudian merasa sebagai orang yang paling malang di saat lain. Dalam banyak kasus, intensitas dari emosi mereka agaknya berada diluar proporsi dari peristiwa yang membangkitkannya. Remaja awal juga dapat merajuk, tidak mengetahui bagaimana caranya mengekspresikan perasaan mereka secara cukup. Dengan sedikit atau tanpa provokasi sama sekali, mereka dapat menjadi sangat marah ke orang tuanya, memproyeksikan perasaan-perasaan mereka yang tidak menyenangkan kepada orang lain Suntrock, 2003. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika terhadap para guru dan orang tua, rata-rata anak dengan usia 12-15 tahun semakin parah dalam masalah spesifik berikut ini : 1 Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, mereka lebih suka menyendiri; kurang bersemangat; merasa tidak bahagia. 2 cemas dan depresi, merasa sering takut dan cemas; merasa tidak dicintai, gugup, sedih, dan depresi. 3 memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir, tidak mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang; melamun; bertindak tanpa berpikir; bersikap terlalu tegang untuk berkonsentrasi. 4 nakal atau agresif, bergaul dengan anak yang bermasalah; bohong dan menipu; sering bertengkar; bersikap kasar terhadap orang lin; menuntut perhatian; membandel di sekolah dan di rumah. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama kita untuk mempelajari emosi; dalam lingkungan yang akrab ini kita belajar bagaimana merasakan perasaan kita sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi perasaan kita; bagaimana berpikir tentang perasaan ini dan pilihan-pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi; serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Orang tua perlu mengetahui bahwa kemurungan merupakan aspek yang normal dialami remaja awal dan bahwa sebagian besar remaja dapat mengolah masa mereka tersebut dan akhirnya menjadi seorang remaja yang kompeten. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi beberapa remaja, emosi semacam itu dapat merefleksikan masalah yang serius. Misalnya angka suasana hati depresi menjadi lebih meninggi untuk remaja perempuan Nolen-Hoeksema, 2007 Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung kepada anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri. Tiga gaya mendidik anak yang secara emotional pada umumnya tidak efisien, berdasarkan riset yang dilakukan Carole Hooven dan John Gottman dari University of Washington, adalah : 1 samasekali mengabaikan perasaan 2 terlalu membebaskan 3 menghina, tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak. Dampak pendidikan keluarga semacam ini terhadap anak sangatlah luas. Tim dari University of Washington telah menemukan bahwa bila dibandingkan dengan orang tua yang tidak terampil menangani perasaan, orang tua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orang tuanya, serta lebih sedikit bentrok dengan orang tuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani emosinya, lebih efektif menenangkan diri saat marah, dan secara biologis, anak-anak ini memiliki kadar hormone stress dan indicator fisiologis pembangkitan emosi yang lebih ren Kerangka Teori Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian Remaja : 1. Perkembangan motorik 2. Perkembangan kognitif 3. Perkembangan sosial

4. Perkembangan

emosional psikologis Zahra,2005 Perilaku, sikap, tindakan Baik Kurang Baik 1. Mempunyai kemampuan memotivasi diri 2. Bertahan menghadapi frustasi 3. Mengendalikan dorongan hati 4. Tidak melebih- lebihkan kesenangan 5. Mampu mengatur suasana hati 6. Berempati 7. Berdoa 1. Menarik diri dan pemurung 2. Mudah cemas, depresi, gugup, sedih 3. Bertindak tanpa berpikir 4. Nakal dan agresif 5. Bohong dan menipu 6. Sering bertengkar 7. Membandel di sekolah dan di rumah Fungsi Keluarga The McMaster Model 1. Pemecahan masalah 2. Komunikasi 3. Peran 4. Respon afektif 5. Keterlibatan afektif 6. Kontrol Perilaku Kecerdasan Emosional 4 Prinsip : Identifikasi, Pengelolaan, Memahami, Mengatur emosi Goleman, 2006

BAB III DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti Nursalam, 2003. Berdasarkan kerangka teori yang telah dibuat sebelumnya, bahwa enam dimensi fungsi keluarga menurut teori Model McMaster, mempengaruhi faktor presipitasi atau faktor pencetus yang mana dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional terutama remaja yang mulai memasuki usia remaja awal. Karena pada masa ini terjadi perubahan emosi yang meliputi perasaan malu, kesadaran diri, kesepian, dan depresi. Pada usia tersebut juga remaja memiliki kemandirian yang hadir bersama dengan kebutuhan keintiman dan dukungan orang tua yang dapat terwujud dalam fungsi keluarga. Berdasarkan hal tersebut, maka variabel yang akan diteliti adalah enam dimensi fungsi keluarga sebagai variabel independen dan kecerdasan emosional usia remaja awal 12-15 tahun sebagai variabel dependen. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan pada skema 3.1 : Variabel independen Variabel dependen Bagan 3.1. Kerangka Konsep

B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian Setiadi, 2007. Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian yang mucul adalah : 1. Ada hubungan antara problem solving terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. 2. Ada hubungan antara communication terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. 3. Ada hubungan antara roles terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. 4. Ada hubungan antara affective responsiveness terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. 5. Ada hubungan antara affective involvement terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. Fungsi keluarga menurut teori Model McMaster terdiri dari enam dimensi : 1. Problem solving 2. Communication 3. Roles 4. Affective responsiveness 5. Affective involvement 6. Behavior control Kecerdasan emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi 6. Ada hubungan antara behavior control terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Variabel dependen: Tingkat Kecerdasan Emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Ukuran kompetensi emosional dan sosial atau kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi ekspresi emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Menggunakan alat instrument EATQ-R Revision of the Early Adolescent Temperament Questionnaire Kuesioner istrument kecerdasan emosional yang berisi 65 peryataan, skor terendah 65 dan skor tertinggi 325. Menggunakan Skala Likert, Favorable : 1 = hampir selalu tidak tepat 2 = biasanya tidak tepat 3 = terkadang tepat, terkadang tidak tepat 4 = biasanya tepat 5 = hampir selalu tepat Hasil ukur yang digunakan pada kuesioner EATQ-R adalah dengan menggunakan mean, karena data berdistribusi normal. Tingkat kecerdasan emosional Baik jika ≥ 238. Tingkat kecerdasan emosional Kurang Baik jika 238. Nominal Variabel DO Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur SkalaUkur Variabel independen: Fungsi Keluarga menurut teori Model McMaster Wadah untuk pengembangan sosial, psikologis, biologis, dan sebagai pemeliharan anggota keluarga, yang dibagi ke dalam enam dimensi dan satu keberfungsian keluarga secara umum. Enam dimensi tersebut diantaranya adalah pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, kontrol perilaku. Menggunakan alat instrument FAD Family Assessment Device Kuesioner instrument fungsi keluarga menurut teori Model McMaster berisi 53 pernyataan, yang terbagi menjadi : PM skor ↑20 ↓5 komunikasi skor ↑30 ↓6 peran skor ↑36 ↓8 RA skor ↑24 ↓6 KA skor ↑28 ↓7 KP skor ↑36 ↓9 Menggunakan skala Likert. Favorable : 1 = STS Sangat Tidak Setuju 2 = TS Tidak Setuju 3 = S Setuju 4 = SS Sangat Setuju Hasil ukur yang digunakan untuk kuesioner FAD adalah dengan menggunakan median pada tiap-tiap dimensi. - Pemecahan masalah : baik jika ≥14. Kurang baik jika 14. - Komunikasi : baik jika ≥17. Kurang baik jika 17. - Peran : baik jika ≥24. Kurang baik jika 24. - Responsivitas afektif : baik jika ≥17. Kurang baik jika 17. - Keterlibatan afektif : baik jika ≥21. Kurang baik jika 17. - Kontrol perilaku : baik jika ≥27. Kurang baik jika 27. - Keberfungsian umum : baik jika ≥35. Kurang baik jika 35. Nominal

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun agar bisa menuntun peneliti untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang dilakukan. Jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan desain penelitian Deskriptif Analitik dan metode pendekatan Cross Sectional. Pada penelitian dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan dan seberapa besar hubungan antar variable Setiadi, 2007. Pendekatan cross sectional merupakan penelitian yang dikumpulkan dan diukur secara simultan pada waktu yang sama terhadap variabel-variabel yang diteliti Hidayat, 2008. Penelitian ini memiliki variabel independent yaitu fungsi keluarga berdasarkan teori Model McMaster dan variabel dependen yaitu kecerdasan emosional.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik yang ditentukan oleh peneliti untuk ditarik kesimpulan Sugiyono, 2008. Populasi penelitian ini adalah para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi kelas VII dan kelas VIII pada bulan Juni tahun 2014. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 204 siswa.