Mahram Muabbad Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam

muslim yang ada di Indonesia, apabila ingin melakukan perkawinan harus sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Mengenai perkawinan sedarah dalam hukum positif yang ada di Indonesia khususnya bagi ummat muslim, sebagaimana Islam melarang adanya perkawinan sedarah, begitu juga dalam hukum positif yang ada di Indonesia juga melarang adanya perkawinan sedarah, hal ini diatur secara rinci sebagai berikut: 1. UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 8 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri. 12 2. Kompilasi Hukum Islam KHI 12 Djoko Prakoso dan Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, cet. Ke-1, h. 47-48. Kompilasi Hukum Islam mempertegas kembali larangan kawin tersebut secara lebih rinci, selengkapnya sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam :13 a. Karena pertalian nasab, yaitu dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu, dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. b. Karena pertalian kerabat semenda, yaitu dengan seorang wanita yang dilahirkan istrinya atau bekas istrinya, dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya, dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad-dukhul. c. Karena pertalian sesusuan yaitu karena wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas, dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya dan seterusnya menurut garis lurus kebawah, dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan kebawah, dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas, dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Kemudian pasal 41 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya, yakni saudara 13 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-2, h. 27. sekandung, seayah atau seibu serta keturunannya, dengan bibinya atau kemenakannya, larangan tersebut tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’I, tetapi masih dalam masa tunggu iddah 14 Ketentuan tersebut dalam pasal 41 Kompilasi Hukum Islam diatas adalah sejalan dengan larangan memadu istri dengan sorang wanita yang mempunyai pertalian nasab atau susuan dengan istrinya didasarkan juga pada hadis Muttafaqun Alaih riwayat Abu Hurairah R.A. dimana Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak bisa dikumpulkan dimadu antara seorang perempuan dan paman perempuannya a’mma antara seorang perempuan dengan bibinya khalah. 15

C. Status Sepupu Dalam Perkawinan Hukum Islam Dan Hukum Positif

Kamus Umum Bahasa Indonesia KUBI keluaran tahun 1995 menjelaskan bahwa “sepupu adalah hubungan kekerabatan antara anak-anak dari dua orang bersaudara, saudara senenek”. Maka yang dimaksud saudara sepupu adalah anak saudara laki-laki maupun perempuan dari ibu atau bapak kita. Adapun status sepupu dalam perkawinan menurut hukum Islam yaitu dari penjelasan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 dapat disimpulkan bahwa diharamkan untuk mengawini ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, bibi atau paman baik saudara dari ibu atau bapak, keponakan, ibu susuan, saudara sesusuan, mertua anak tiri dari suami atau istri yang telah dicampuri kecuali belum 14 Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Rona Publishing, h. 107. 15 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-2, h. 29.