sekandung, seayah atau seibu serta keturunannya, dengan bibinya atau kemenakannya, larangan tersebut tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah
ditalak raj’I, tetapi masih dalam masa tunggu iddah
14
Ketentuan tersebut dalam pasal 41 Kompilasi Hukum Islam diatas adalah sejalan dengan larangan memadu istri dengan sorang wanita yang
mempunyai pertalian nasab atau susuan dengan istrinya didasarkan juga pada hadis Muttafaqun Alaih riwayat Abu Hurairah R.A. dimana Rasulullah SAW
bersabda bahwa tidak bisa dikumpulkan dimadu antara seorang perempuan dan paman perempuannya a’mma antara seorang perempuan dengan bibinya
khalah.
15
C. Status Sepupu Dalam Perkawinan Hukum Islam Dan Hukum Positif
Kamus Umum Bahasa Indonesia KUBI keluaran tahun 1995 menjelaskan bahwa “sepupu adalah hubungan kekerabatan antara anak-anak dari
dua orang bersaudara, saudara senenek”. Maka yang dimaksud saudara sepupu adalah anak saudara laki-laki maupun perempuan dari ibu atau bapak kita.
Adapun status sepupu dalam perkawinan menurut hukum Islam yaitu dari penjelasan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 dapat disimpulkan bahwa
diharamkan untuk mengawini ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, bibi atau paman baik saudara dari ibu atau bapak, keponakan, ibu susuan, saudara
sesusuan, mertua anak tiri dari suami atau istri yang telah dicampuri kecuali belum
14
Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Rona Publishing, h. 107.
15
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-2, h. 29.
dicampuri dan telah bercerai, menantu dan menikahi dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Dari penjelasan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 tersebut tidak ditemukan bahwa sepupu merupakan orang yang haram untuk dikawini, hal ini
menandakan bahwa sepupu bukanlah termasuk dalam kategori mahram, baik dalam mahram muaqqat maupun muabbad sehingga boleh untuk dikawini, hal ini
sesuai dengan kaedah fikih yaitu: ُﻤﻟا ْﻲِﻓ ُﻞْﺻَﺄْﻟَا
ﺎَﮭِﻤْﯾِﺮْﺤَﺗ ﻰَﻠَﻋ ٌﻞْﯿِﻟَد ﱠل ُﺪَﯾ ْنَا ﺎﱠﻟِا ُﺔَﺣﺎَﺑﺎِﻟا ُﺔَﻠَﻣﺎَﻌ Artinya: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
16
Meski dalam Al-Qur’an tidak menyantumkan sepupu sebagai wanita yang haram untuk dikawini atau mahram, akan tetapi sebagian para ulama fikih
berpendapat bahwa tidak dianjurkan untuk mengawini kerabat dekat termasuk sepupu, dikarenakan dua hal yaitu:
Pertama: sebagaimana yang disyaratkan oleh ulama fikih bahwasannya kuatnya keturunan bergantung pada kuatnya dorongan motivasi untuk
mendapatkan keturunan, yaitu kuatnya syahwat, mereka juga mengatakan bahwa syahwat pada pasangan suami istri akan semakin melemah yang memiliki
hubungan kekerabatan dekat.
17
16
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, cet. Ke-1, h. 130
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terjemahan Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala Publishing, cet. Ke-2, h. 312.
Para ulama menjadikan sebab ini sebagai alasan tidak dianjurkannya seseorang menikahi sepupunya, baik anak dari pihak paman maupun bibi, hal itu
karena yang menjadi alasan mendasar dalam hal ini adalah bahwa syahwat merupakan perasaan yang tumbuh dari dalam hati seseorang, yang sifatnya
bertolak belakang dengan perasaan kasih sayang yang tercipta antar kerabat sehingga perasaan itu dapat menghilangkan unsur birahi seseorang atau
melemahkannya.
18
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh para dokter dan juga sudah menjadi hal yang biasa dikalangan masyarakat petani bahwa tanah yang
berulangkali ditanami satu jenis tanaman dapat menyebabkan menurunnya kualitas hingga lama kelamaan akan punah, hal yang demikian disebabkan minimnya zat
makanan yang dapat diserap oleh tanaman itu dan banyaknya unsur-unsur lain yang tidak dibutuhkan oleh tanaman.
19
Apabila biji itu ditanam diatas lahan yang lain dan lahan itu ditanami biji yang lain, tentu keduanya akan tumbuh hasil yang baik, bahkan dalam ilmu
pertanian ditegaskan bahwa pemilihan biji yang ditanam secara bervariasi atau silang pada satu lahan cenderung akan lebih menguntungkan.
20
Jika petani menyemaikan biji gandum diatas suatu lahan untuk kemudian salah satu biji yang dihasilkannya itu ditanam kembali diatas lahan yang sama,
maka tanaman itu akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan hasil yang
18
Ibid.
19
Ibid , h. 313.
20
Ibid.
didapat pun berkurang, lain halnya jika petani mengambil biji dari jenis atau hasil lahan yang lain dan ditanam diatas lahan itu, tanaman akan tumbuh dengan baik
dan kualitasnya juga baik, begitu juga perempuan, dia diibaratkan lahan yang ditanami atau disemai hingga melahirkan anak, manusia ibarat biji-bijian dengan
segala variantanya, karena itu seorang laki-laki dianjurkan agar menikahi perempuan dari keluarga yang bukan kerabatnya agar dia dapat melahirkan
keturunan yang baik dan berkualitas, hal ini karena seorang anak mewarisi apa yang ada pada kedua orang tuanya, baik secara fisik, prilaku, maupun psikis, setiap
anak terlahir sebagai duplikat atas perpaduan kedua orang tuanya, sifat mewarisi dan kemiripan dalam diri seorang anak atas orang tuanya merupakan dua diantara
sunnah penciptaan makhluk-Nya, masing-masing dianjurkan untuk menjalankan posisinya sebaik mungkin agar silsilah keturunan manusia terjaga dan mereka
dapat saling berhubungan antara satu dan yang lain, serta saling mendukung dan menguatkan, hal itu tidak bisa didapat dengan pernikahan yang terjadi diantara
kerabat.
21
Dalam Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan, “salah satu hal yang perlu diperhatikan pada diri seorang perempuan yang akan dinikahi adalah
hendaknya dia bukan dari kerabat dekat. Anak laki-laki yang dilahirkan dari pernikahan antar kerabat dekat pada umumnya memiliki postur tubuh yang kurus
atau lemah”.
22
21
Ibid.
22
Ibid, h. 314.