Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian
secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan istri, perceraian yang dilakukan istri disebut cerai gugat.
12
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, adapun alasan- alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk perceraian sebagaimana
disebutkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu:
13
1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan pemboros, pemakai obat-obat terlarang.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya pergi tanpa kabar berita. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
12
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, h. 509.
13
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2, h. 17.
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kemudian KHI menambahkan dua alasan yaitu:
14
1. Suami melanggar taklik talak. 2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah
tangga. Dari alasan-alasan diperbolehkan perceraian diatas terdapat alasan “antara
suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, adapun untuk alasan ini
dapat diterima sebagai dasar perceraian harus cukup jelas sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu, sebagaimana yang tercantum pada pasal 22 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, contohnya pertengkaran terus-menerus akibat suami
selalu pulang malam tanpa alasan, pertengkaran terus-menerus akibat kurangnya perhatian suami terhadap istri, dll, namun masalah sosial yang terjadi di
masyarakat saat ini salah satunya adalah adanya cerai gugat dengan alasan perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat suami adalah saudara
“sepupusedarah” sehingga rintangan dan halangan banyak terjadi. Dari kata sepupu yang disandingkan dengan kata sedarah ini dapat
dikategorikan bahwa sebab dari pertengkaran ini tidak jelas karena dalam hukum Islam dijelaskan bahwa sepupu bukanlah sedarah atau bukanlah mahram, sehingga
14
Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Rona Publishing, h. 138.
dapat dinikahi, hal ini dapat disimpulkan dari QS. An-Nisa’ ayat 23, dalam ayat ini menyebutkan semua yang tidak boleh dinikahi, sepupu tidak termasuk dalam ayat
ini sehingga dapat disimpulkan sepupu boleh dinikahi. Hukum yang berlaku di Indonesia juga jelas bahwa sepupu bukanlah
sedarah, dalam KHI sepupu tidak tercantum dalam Bab IV Larangan Kawin sehingga boleh melakukan perkawinan, dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
pada pasal 8 juga tidak tercantum sepupu merupakan yang dilarang untuk melakukan perkawinan, sehingga dapat disimpulkan boleh melakukan perkawinan.
Kemudian apabila cerai gugat dengan alasan perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat suami adalah sedarah, berarti perkara ini bukanlah cerai
gugat melainkan pembatalan perkawinan. Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji
permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul
“CERAI GUGAT
AKIBAT SUAMI
ADALAH SAUDARA
SEPUPUSEDARAH Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Batam No. 104Pdt.G2013PA.BTM”.