2. Alasan Perceraian
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang menjadi dasar bahwa suami istri ini tidak dapat untuk hidup rukun kembali sesuai
dengan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”.
32
Di dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan pasal 19 disebutkan alasan-alasan apa saja yang dapat diterima sebagai dasar
untuk melakukan perceraian, yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap orang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiistri.
32
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Surabaya: Rona Publishing, h. 24.
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dala rumah tangga.
33
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam KHI dengan penambahan dua ayat yaitu:
a. Suami melanggar taklik talak. b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumah tangga.
34
Dalam hukum perdata juga diatur alasan-alasan apa saja yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian yaitu:
a. Zina overspel. b. Ditinggalkan dengan sengaja kwaadwillige verlating.
c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa pasal 209 B.W..
35
C. AKIBAT DAN HIKMAH
1. Akibat Perceraian
Setelah perceraian terjadi tidak serta-merta permasalahan selesai, akan tetapi akan ada akibat hukum yang timbul karena terjadinya perceraian tersebut,
33
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, cet. Ke-4, h. 116- 117.
34
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana: Jakarta, 2008, cet. Ke-5, h. 447.
35
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003, cet. Ke-31, h. 42-43
baik antara mantan suami dengan mantan istri, harta yang didapatkan antara mantan suami dan mantan istri tersebut selama dalam masa perkawinan mereka
dan jika mereka telah dikaruniai anak, akan ada akibat hukum terhadap hak asuh terhadap anak mereka.
Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menjelaskan bahwa: “Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian harta harus dilakukan
menurut perjanjian tersebut”.
36
Kepada istri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan anak- anak yang diserahkan pada si istri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan
nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan
keadaan si suami. Apabila
keadaan ini
tidak memuaskan
dapat mengajukan
permohonannya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar
mufakat. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuan- ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan
hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.
37
36
Ibid, h. 44
37
Ibid.
Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang tua ouderlijke macht berakhir dan berubah menjadi “perwalian” voogdij. Karena
itu, jika perkawinan dipecahkan oleh hakim, harus pula diatur tentang perwalian itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali
oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka
untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan
wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah dan ibu berdasarkan perubahan keadaan.
38
Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang- Undang Perkawinan.
a. Kompilasi Hukum Islam KHI 1 Akibat hukum dari talak yang dilakukan suami.
39
Pasal 149 menjelaskan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul, memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil, melunasi mahar yang masih terhutang
38
Ibid.
39
Kompilasi Hukum Islam, Rona Publishing: Surabaya, h. 150-151.