Status Sepupu Dalam Perkawinan Hukum Islam Dan Hukum Positif
didapat pun berkurang, lain halnya jika petani mengambil biji dari jenis atau hasil lahan yang lain dan ditanam diatas lahan itu, tanaman akan tumbuh dengan baik
dan kualitasnya juga baik, begitu juga perempuan, dia diibaratkan lahan yang ditanami atau disemai hingga melahirkan anak, manusia ibarat biji-bijian dengan
segala variantanya, karena itu seorang laki-laki dianjurkan agar menikahi perempuan dari keluarga yang bukan kerabatnya agar dia dapat melahirkan
keturunan yang baik dan berkualitas, hal ini karena seorang anak mewarisi apa yang ada pada kedua orang tuanya, baik secara fisik, prilaku, maupun psikis, setiap
anak terlahir sebagai duplikat atas perpaduan kedua orang tuanya, sifat mewarisi dan kemiripan dalam diri seorang anak atas orang tuanya merupakan dua diantara
sunnah penciptaan makhluk-Nya, masing-masing dianjurkan untuk menjalankan posisinya sebaik mungkin agar silsilah keturunan manusia terjaga dan mereka
dapat saling berhubungan antara satu dan yang lain, serta saling mendukung dan menguatkan, hal itu tidak bisa didapat dengan pernikahan yang terjadi diantara
kerabat.
21
Dalam Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan, “salah satu hal yang perlu diperhatikan pada diri seorang perempuan yang akan dinikahi adalah
hendaknya dia bukan dari kerabat dekat. Anak laki-laki yang dilahirkan dari pernikahan antar kerabat dekat pada umumnya memiliki postur tubuh yang kurus
atau lemah”.
22
21
Ibid.
22
Ibid, h. 314.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut syari’at Islam bahwa meski sepupu bukanlah mahram namun tidak dianjurkan untuk dikawini
demi kemaslahatan, akan tetapi hukum dari perkawinan sepupu ini bukanlah haram, melainkan mubah boleh.
Meski telah diketahui bahwa hukum perkawinan antara sepupu adalah mubah, akan tetapi ada hal yang istimewa yang perlu diperhatikan dari sepupu ini,
yaitu sepupu dapat menjadi wali bagi si wanita jika walinya telah meninggal. Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urutan-urutan wali adalah:
23
a. Ayah. b. Ayahnya ayah kakek terus keatas.
c. Saudara laki-laki seayah seibu. d. Saudara laki-laki seayah saja.
e. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu. f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu. h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
i. Anak laki-laki dari anak laki-laki dari poin g. j. Anak laki-laki dari poin h seterusnya.
k. Saudara laki-laki ayah, seayah seibu. l. Saudara lako-lai ayah, seayah saja.
23
Timami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009, h. 90.
m. Anak laki-laki dari poin k. n. Anak laki-laki dari poin l.
o. Anak laki-laki dari poin m dan seterusnya. Dalam daftar urutan para wali nikah diatas, dapat disimpulkan bahwa
apabila ayah kandung sudah wafat, maka yang berhak untuk menjadi wali nikah adalah ayahnya ayah atau kakek, bila kakek wafat juga, maka yang jadi wali nikah
adalah saudara laki-laki, bisa kakak atau adik si wanita, yang diutamakan urutannya adalah saudara yang seayah dan seibu dengan si wanita saudara
kandung, kemudian saudara laki-laki yang seayah saja, bila wanita itu tidak punya saudara laki-laki yang bisa menjadi wali, maka hak wali ini pindah kepada
keponakan, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, kalau tidak ada maka kepada keponakan yang merupakan anak darisaudara laki-laki
yang seayah saja, bila sudah wafat juga, maka urutan berikutnya adalah saudara laki-laki ayah atau paman, bukan saudara laki-laki ibu, dan bila paman ini juga
sudah wafat, maka bila paman itu punya anak laki-laki, dalam hal ini menjadi sepupu buat si wanita, dia berhak menjadi wali.
Dari urutan-urutan yang dibuat oleh para ulama, dapat diketahui bahwa semua adalah mahram bagi si wanita kecuali sepupu, khusus untuk urutan wali
yang terakhir yaitu sepupu, dia bukan mahram bagi si wanita, dan inilah yang membuat kedudukan sepupu menjadi istimewa.
Sepupu yang dapat menjadi wali nikah menimbulkan sebuah pertanyaan jika akan terjadi perkawinan antara sepupu, sedangkan pada saat itu wali bagi
perempuan telah meninggal dunia kecuali sepupunya, apakah sepupu laki-laki yang juga merupakan calon pengantin pria dapat sekaligus menjadi wali bagi
wanita yang ternyata dibawah perwaliannya? Dalam kitab Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa menurut
Imam Syafi’I bahwa “yang mengawininya haruslah hakim atau walinya yang lain baik yang setingkat dengan dia atau lebih jauh, sebab wali termasuk syarat
perkawinan, jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebagaimana seorang penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.
24
Jadi menurut Imam Syafi’I bahwa jika akan terjadi perkawinan antara sepupu, sedangkan pada saat itu wanita yang akan dikawini berada didalam
perwaliannya, maka dia tidak boleh menjadi wali bagi wanita yang akan dikawini tersebut, melainkan harus digantikan oleh wali yang lain baik yang setingkat atau
lebih jauh atau bisa juga dengan hakim. Dari penjelasan semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
perkawinan antara sepupu dalam Islam menurut ulama fikih tidak dianjurkan demi kemaslahatan, baik kemaslahatan pasangan suami istri maupun juga keturunannya,
akan tetapi hukum dari perkawinannya adalah mubah boleh dilihat dari tidak adanya dalil dari Al-Qur’an yang melarangnya, sedangkan dalam kaidah fikih
dinyatakan bahwa “segala sesuatu hukumya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”. Kemudian dalam Islam meski sepupu bukanlah mahram atau
24
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1990, cet. Ke-7, h. 24.
yang haram untuk dikawini akan tetapi sepupu dapat menjadi wali dalam perkawinan, akan tetapi menurut Imam Syafi’I, laki-laki yang mengawini
sepupunya yang ternyata pada saat itu dibawah perwaliannya, tidak boleh sekaligus menjadi wali untuk wanita yang akan dikawininya, akan tetapi harus
digantikan oleh wali yang lain yang sederajat atau jauh ataupun dapat digantikan oleh wali hakim.
Adapun status sepupu dalam perkawinan menurut hukum positif dilihat dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pasal 8
menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas, berhubungan darah dalam
garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, berhubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan,
berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dari daftar diatas tidak ditemukan larangan untuk melakukan perkawinan antara sepupu
begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam, sepupu tidak termasuk dalam pasal 39 tentang larangan perkawinan karena pertalian nasab, pertalian semenda ataupun
sesusuan, sehingga dapat disimpulkan dalam hukum positif yang berlaku bagi ummat muslim di Indonesia, perkawinan sepupu hukumnya adalah boleh.
65