mungkar. Di kalangan madzhab Syafi’iyah seperti yang dikemukakan oleh Zakariya al-Asnshar, bahwa syiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara
suami istri, dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan apabila perkawinan itu diteruskan isytidaadusy syiqaq.
18
Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa shiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami istri. Untuk
sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui beberapa proses.
19
Dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 35 dinyatakan:
:ءﺎﺴﻨﻟا
35 Artinya: bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua,
utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan
memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah maha mengetahui, maha mengenal.Q.S. An-Nisa’: 35.
d. Fasakh
Arti fasakh ialah diputuskanya hubungan perkawinan oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa
18
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana: Jakarta, 2008, cet. Ke-5, h. 385.
19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 11974 sampai KHI,Jakarta: Kencana, 2006, cet.
Ke-3, h. 212.
tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan, dengan difasakhkan ini bubarlah hubungan perkawinan itu.
20
Fasakh tidak hanya melibatkan dua pihak pengakad, suami dan istri saja tetapi termasuk pihak ketiga, sehingga ada kemungkinan fasakh itu
terjadi karena suami, istri dan kehendak orang lain yang berhak. Adapun hal- hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh akad nikah berkisar pada
dua yaitu ada sebab yang diketahui setelah akad terjadi padahal sebenarnya telah ada sebelum akad dan ada sebab yang terjadi kemudian yakni muncul
setelah akad.
21
Untuk sebab yang pertama yaitu diketahui setelah akad contoh secara tiba-tiba terungkap ada bukti kuat bahwa antara mereka yang berakad
sebagai suami istri itu adalah saudara sesusuan yang haram saling menikah, atau istri ketika akad berlangsung masih dalam masa iddah, masih ada ikatan
perkawinan dengan suami lain dan sebagainya. Sedangkan untuk sebab kedua yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad contoh salah satu
pihak mengubah agama, karena murtad ke dalam iman yang diharamkan kawin, putus, batal ikatan akadnya, baik pihak yang satu menerima ridha
ataupun tidak.
22
20
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, cet. Ke-5, h. 117.
21
Ahcmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, cet. Ke-1, h. 141
22
Ibid, h. 141-142.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, fasakh ada yang memerlukan putusan pengadilan seperti misalnya karena istri musyrik, dan fasakh yang
tidak melalui putusan pengadilan yaitu fasakh yang ada hal-hal yang cukup jelas, misalnya diketahui mahram antara suami istri karena hubungan
susuan.
23
e. Ta’lik talak
Arti ta’lik talak ialah menggantungkan, yaitu suatu talak yang digantungkan kepada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan
dalam perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu, ta’lik talak ini diadakan untuk melindungi istri agar tidak teraniaya oleh suami.
24
Adapun dasar hukum ta’lik talak terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 128 yaitu:
:ءﺎﺴﻨﻟا
128
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan perdamain
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu dari dari nusyuz dan sikap tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Q.S.An-Nisa’: 128
23
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990, cet. Ke-2, h. 111.
24
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, cet. Ke-5, h. 107.