Pemeriksaan Perkara Perceraian TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

Adapun Majelis Hakim terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang yang salah satunya sebagai ketua majelis Pasal 11 UU No. 48 tahun 2009. 55 Setelah Majelis Hakim menerima berkas dari Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah, Ketua Majelis menerbitkan penetapan hari sidang PHS disertai perintah kepada JurusitaJurusita Pengganti memanggil para pihak untuk mengadakan sidang insidentil. 56 Panggilan menghadap sidang langsung disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan sendiri atau melalui lurah atau melalui kepala kantor tempat ia bekerja, surat panggilan mana setelah ditanda tangani oleh yang dipanggil pada potongan surat panggilan menghadap, dikembalikan kepada Pengadilan Agama untuk dicatat kemudian disatukan pada berkas perkara yang bersangkutan. 57 Pada sidang pertama hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan hakim mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak yang bersifat pemberitahuan cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk mengahadiri sidang. Setelah itu yang harus dilakukan oleh hakim adalah usaha mendamaikan antara mereka. 55 Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010, cet. Ke-1, h. 10. 56 Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010 57 Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, cet. Ke-1, h. 135. Upaya perdamaian ini haruslah dilakukan oleh hakim, dalam upaya perdamaian ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: 58 1. Harus ditulis upaya perdamaian oleh hakim, terutama pada sidang pertama sebelum mulai pemeriksaan. 2. Dalam sidang perdamain untuk cerai suami istri harus hadir secara pribadi. 3. Apabila salah satu pihak di luar negri, harus diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. 4. Apabila kedua belah pihak di luar negri, penggugat harus hadir sendiri dalam sidang perdamaian itu. 5. Selama belum diputus perdamaian dapat terus dilakukan. 6. Dalam perkara voluntoir tidak ada usaha damai. Jika usaha perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatlah akte perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum sebagai keputusan Pengadilan Agama, serta mengikat kedua belah pihak, hanya akte perdamaian ini tidak dimungkinkan banding. Akte perdamaian seperti ini jarang sekali dilakukan di Pengadilan Agama, karena perdamaian yang berhasil diusahakan oleh hakim biasanya dibuat keputusan juga, sehingga memberi kemungkinan untuk banding. 59 58 Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010, cet. Ke-1, h. 19 59 Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, cet. Ke-1, h. 136. Jika usaha perdamaian tidak berhasil maka sidang dilanjutkan, sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat permohonan atau surat gugatan yang kemudian ditanggapi oleh termohon atau tergugat dengan jawaban. Tahapan selanjutnya adalah replik dan duplik. Replik yaitu jawaban penggugat baik terulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan penggugat untuk meneguhka gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya. Replik merupakan lanjutan dari pemeriksaan perkara perdata di pengadilan setelah tergugat mengajukan jawaban. Duplik, yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Sama dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat. 60 Selanjutnya yaitu pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya. Sesuai ketentuan pasal 163 HIRpasal 284 RBg ada 5 macam alat-alat bukti, yaitu: 61 1. Bukti surat. 2. Bukti saksi. 3. Persangkaan. 60 Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata,Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2009, cet. Ke- 5, diakses dari http:lawfile.blogspot.com201106replik-dan-duplik.html , pada hari Rabu, 20 November, pukul 23:34 WIB. 61 Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010 4. Pengakuan. 5. Sumpah Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti lawannya, adapun yang harus dibuktikan adalah: 62 1. Fakta kejadianhukum yang dibantah oleh lawan. 2. Peristiwa umum Notoir, yang diketahui dalam sidang, sesuatu yang bersifat meniadakan dan tidak perlu dibuktikan. Kemudian tahap kesimpulan, pada tahap ini masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan. Selanjutnya yaitu putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan memberi kesimpulan dalam putusan, putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa atau perkara. Dalam putusan hakim haruslah mencantumkan dalil gugatan, sebab putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan dianggap tidak memililiki landasan titik tolak, dalil gugat adalah landasan titik tolak pemeriksaan perkara, berarti putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan, dianggap tidak mempunyai dasar titik tolak. Itulah sebabnya putusan MA No. 312 KSip1974 menegaskan putusan yang tidak mencantumkan posita gugat, batal demi hukum, karena bertentangan dengan pasal 184 ayat 1 HIR. Penegasan yang sama dikemukakan dalam putusan MA No. 177 KSip1976. Dikatakan, putusan 62 Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010, cet. Ke-1, h. 23. pengadilan yang memenuhi syarat, harus memuat isi gugatan pernggugat dan jawaban tergugat. 63 63 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, cet. Ke-10, h. 808. 49

BAB III PERKAWINAN SEPUPU DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut dengan asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang terlarang untuk menikah. 1 Allah SWT telah mengatur jelas khususnya mengenai siapa yang dilarang untuk dinikahi, hal ini terdapat secara rinci di dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 22-23 yang berbunyi:                                                                            :ءﺎﺴﻨﻟا 22 - 23 1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 11974 sampai KHI,Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke- 3, h. 144. Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan saudara-saudara ibumu yang perempuan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang perempuan ibu-ibumu yang menyusui kamu saudara perempuan sepersusuan ibu-ibu isterimu mertua anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya dan diharamkan bagimu isteri-isteri anak kandungmu menantu dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Q.S. An-Nisa’: 22-23 Ayat inilah yang dijadikan dasar siapa saja yang dilarang untuk dinikahi, atau dalam Islam disebut mahram, dari ayat ini juga ulama fikih telah membagi mahram ini kepada dua macam, mahram mua’qqat dan mahram muabbad, adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Mahram Mua’qqat

Mahram Mu’aqqat ialah yang haram dikawini karena hubungan persemendaan al-muharramat min al-musharah. 2 Hubungan semenda artinya hubungan perkawinan terdahulu, misalnya kakakadik perempuan dari istri kamu laki-laki, lazimnya di Indonesia disebut 2 Ibid, h.145. kakakadik ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri. 3 Atau dengan kata lain keharaman perkawinannya karena adanya perkawinan. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasul dari hadis yang berbunyi: َﻋ ِﻦ ﻟا ﱠﻀ َﺤ ِكﺎ ْﺑ ِﻦ َﻓْﯿ ُﺮ ْو َز َﻋ ْﻦ َاِﺑ ْﯿِﮫ َﻗ َلﺎ َا : ْﺳ َﻠْﻤ ُﺖ َو ِﻋ ْﻨِﺪ ْي ِاْﻣ َﺮ ٔاَﺗ ِنﺎ ُا ْﺧ َﺘ ِنﺎ َﻓ . َﺎَﻣ َﺮ ﱠﻨﻟا ِﺒ ﱡﻲ َا ص ْن ُا ْﻃ ِﻠ َﻖ ِا ْﺣ َﺪ ُھا َﻤﺎ . Artinya: Dari Dahak bin Fairuz dari ayahnya ia berkata:”saya masuk Islam dan pada saya ada dua istri yang bersaudara kandung, lalu Nabi SAW menyuruh saya untuk menceraikan salah satunya.H.R. Ahmad, Ashhabus Sunan, Syafi’i, Daruquthni dan Baihaqi, hadis ini oleh Tarmidzi dan disahkan Ibnu Hibban. 4 Dari hadist diatas dapat disimpulkan bahwa keharaman perkawinan dengan mahram mua’aqqat karena adanya perkawinan yang menyebabkan terjadinya hubungan persemendaan bukan untuk selamanya, jika suatu hari perkawinan itu putus maka hubungan persemendaan itu pun putus begitu juga dengan keharaman perkawinannya. Adapun keharaman karena hubungan semenda ini yaitu ibu dari istri mertua, anak bawaan istri yang telah dicampuri anak tiri, istri bapak ibu tiri, istri anak menantu, saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam ikatan perkawinan. 5 3 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind. Hill-Co,1990, cet. Ke-2, h. 39. 4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, Bandung: PT. Al-ma’arif, 1990, cet. Ke-7, h. 172. 5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 11974 sampai KHI,Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke- 3, h. 146.

2. Mahram Muabbad

Mahram Muabbad yaitu larangan untuk selamanya, artinya keharaman perkwinannya yaitu untuk selamanya. Wanita yang haram dikawini untuk selamanya terbagi dalam dua kelompok yaitu karena berhubungan darah atau pertalian nasab al-muharramat min an-nasab, karena sepersusuan al- muharramat min r-radha’ah. 6 a. Karena berhubungan darah atau pertalian nasab al-muharramat min an- nasab yaitu Ibu, nenek dari garis ibu atau bapak dan seterusnya keatas, anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah, saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu, saudara perempuan ibu bibi atau tante, saudara perempuan bapak bibi atau tante, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, anak perempuan dari saudara laki-laki seayah, anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, anak perempuan saudara perempuan sekandung, anak perempuan saudara perempuan seayah, anak perempuan saudara perempuan seibu. 7 Larangan disini bukan berarti larangan menikah dalam arti formil saja melalui akad ijab kabul, tetapi juga termasuk larangan menikah secara materil yaitu melakukan hubungan seksual, jika kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut Hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli 6 Ibid. 7 Ibid, h.147.