Mahram Mua’qqat Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam

adalah hubungan seksual, sedangkan Syafi’I nikah itu menurut pengertian majazi adalah hubungan seksual antara seorang wanita dan seorang pria. 8 b. Karena sepersusuan al-muharramat mir-radha’ah maksudnya ialah antara seorang laki-laki dan perempuan meski tidak memiliki hubungan darah, atau dilahirkan oleh ibu dan ayah yang berbeda tetapi mereka menyusu dengan wanitaibu yang sama, karena hal inilah yang membuat mereka menjadi haram menikah karena sepersusuan. Dalam hadis riwayat Abu Daud, Nasa’I dan Ibnu Majah dari Aisyah, keharaman karena susuan ini diterangkan dalam hadis yang berbunyi: ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ ,ﺔﻟ ﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺔﺸﺋ ﺎﻋ ﻦﻋ ﺎﻣ ﺔﻋﺎﺿﺮﻟا ﻦﻣ مﺮﺤﯾ : ﻮﺑاو ﻢﻠﺴﻣو يرﺎﺨﺒﻟا هاور .ﺐﺴﻨﻟا ﻦﻣ مﺮﺤﯾ اد .ﮫﺟﺎﻣ ﻦﺑاو ئﺎﺴﻨﻟاودو Artinya: Dari ‘Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:”Diharamkan karena ada hubungan susuan apa yang diharamkan karena ada hubungan nasab.” HR Bukhari dan Muslim, Abu Dawun, Nasa’i. Mengenai persoalan berapa lama atau berapa kali menyusu yang dapat menimbulkan keharaman menikah ada dua pendapat yaitu pendapat pertama, mengatakan bahwa walaupun menyusu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan, pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab Hanafiyah tersebut seperti juga Hambali dan Imam Malik. Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal lima kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, 8 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind. Hill-Co,1990, cet. Ke-2, h. 38 dengan tidak dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu, maka barulah timbul keharaman perkawinannya, pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi’I dengan para penganutnya. Selain itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis, maka ternyata air susu ibu itu berproses menjadi darah dan daging membentuk physic baby apabila menyusu itu minimal lima kali sampai kenyang. 9 Adapun yang dilarang yaitu wanita yang menyusui seterusnya keatas, wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis kebawah, wanita saudara sepersusuan dan kemenakan sesusuan kebawah, wanita bibi sesusuan dari bibi sesusuan keatas, anak yang disusui istrinya dan keturunannya. 10

B. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Positif

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 point 1 menjelaskan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. 11 Dari penjelasan pasal 2 di atas saja dapat diketahui bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan masing- masing agama dan kepercayaannya masing-masing, artinya khusus bagi ummat 9 Ibid, h. 38-39. 10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 11974 sampai KHI,Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke- 3, h.146-147. 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernkawinan, Rona Publishing: Surabaya, h. 8. muslim yang ada di Indonesia, apabila ingin melakukan perkawinan harus sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Mengenai perkawinan sedarah dalam hukum positif yang ada di Indonesia khususnya bagi ummat muslim, sebagaimana Islam melarang adanya perkawinan sedarah, begitu juga dalam hukum positif yang ada di Indonesia juga melarang adanya perkawinan sedarah, hal ini diatur secara rinci sebagai berikut: 1. UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 8 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri. 12 2. Kompilasi Hukum Islam KHI 12 Djoko Prakoso dan Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, cet. Ke-1, h. 47-48.