Analisa penulis, dari rangkaian tadarus serta Rencana Tindak Lanjut tersebut maka Lembaga Rahima dapat mencapai tujuan dari Pengkaderan
Ulama Perempuan ,serta dari tadarus yang sedang dijalankan inilah sebagai bahan refleksi untuk tadarus selanjutnya, agar tadarus yang
selanjutnya lebih terprogram dan berjalan lebih efektif dan efisien. Hanya saja dari isi materi masih banyak materi-materi yang justru
mengunggulkan perempuan, bukan yang menyetarakan antara laki-laki dan perempuan. Maka untuk pengisian materi diperlukan pemikiran dari kedua
belah pihak agar relasi gender dari buah pemikiran bersama dapat berjalan dengan baik.
2. Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima
Tujuan utama didirikannya Rahima adalah untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat demokratis yang ditandai dengan terpenuhinya hak-hak
perempuan sebagai hak asasi manusia. Demi mewujudkan tujuan tersebut, Rahima menjalankan program pengkaderan ulama perempuan yang
diharapkan mengasilkan out put ulama perempuan yang dapat berkontribusi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang setara dengan laki-laki,
yang selama ini selalu menjadi bias gender. Kemudian, untuk melibatkan perempuan dalam proses istinbath hukum
Islam dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan yang memiliki otoritas, dimana selama ini hanya melibatkan laki-laki saja. Padahal dalam
kenyataannya banyak perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam keulamaan dan penyebarluasan tema-tema keIslaman.
Dari pernyataan dan tujuan tersebut lembaga Rahima membentuk Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan. Ulama yang dikehendaki
Rahima adalah “ orang yang memiliki pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun lainnya, dan dengan pengetahuan tersebut mereka melakukan
p erubahan sosial demi kemaslahatan umat.”
47
47
AD. Eridani, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, Jakarta: Rahima, 2014, h.xxxii
Ulama senantiasa menduduki posisi penting khususnya di tengah masyarakat muslim. Peran dan otoritas mereka bahkan menjangkau wilayah
di luar batas keagamaan, karena keterlibatan mereka dalam ranah sosial dan politik. Karena itu banyak istilah menjelaskan kondisi sosial-politik ulama,
yang semua mengacu pada pengakuan masyarakat muslim atas pentingnya peran dan otoritas ulama, misalnya istilah “ palang budaya “ cultural broker
yang dialamatkan Clifford Gertz untuk kedudukan ulama.
48
Sebagaimana yang diungkapkan Ahmad Mustafa Bisri, yang dikutip oleh Subhan bahwa :
“ulama memang berasal dari bahasa arab dan semua merupakan bentuk jamak dari kata `alim yang berarti mengetahui, orang pandai, orang yang
pandai dalam ilmu apapun dikategorikan sebagai ulama istilah itu kemudian berkembang dan tepatnya menciut sehingga lebih banyak
digunakan untuk menyebut mereka yang ahli ilmu agama Islam, bagi
mereka yang mengerti literatur “ Kitab Kuning “ istilah ulama umumnya difahami dalam konotasi yang tidak terbatas untuk menunjukan orang-
orang yang berilmu agama ”.
49
Ulama yang dilahirkan lembaga Rahima adalah ulama yang cakap dalam membahas isu-isu yang terkait dengan kesetaraan relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai aktifitas baik dalam berdakwah, pendidikan, pekerjaan maupun tanggung jawab dalam berumah tangga. Ulama perempuan
hasil pendidikan pengkaderan Rahima dalam peranan yang dijalankan di masyarakatnya, masing masing telah memiliki kepandaian dalam hal tersebut
dengan baik. Lebih dari hal tersebut ulama perempuan yang dikehendaki Rahima adalah mereka yang mampu menyebarluaskan isu-isu kesetaraan
gender, kesetaraan yang sama antara hak yang dimiliki laki-laki dan hak yang dimiliki perempuan dalam hal berdakwah
dan menyebarluaskan tema-tema kesetaraan gender.
Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menuturkan bahwa lembaga Rahima mendidik para lulusannya tidak hanya dalam satu bidang keilmuan
saja. Lembaga Rahima membentuk lulusannya untuk dapat mampu bersaing
48
Jajat Burhanuddindan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003,h.13.
49
Subhan, Ulama-ulama Oposan, Bandung : PT.Hidaya IKAPI, 2000 , hal 7
di berbagai tatanan komunitas, baik dalam majlis-majlis taklim maupun masyarakat umum. Sehingga nanti para lulusan ulama perempuan Rahima
dapat tercetak
menjadi kader-kader
yang berjuang
keras untuk
penyebarluasan informasi terhadap isu-isu kesetaraan perempuan dalam Islam. Walau masih belum terlalu menuju dengan apa yang dimaknai oleh arti
ulama namun lembaga Rahima sudah mampu mencetak ulama secara bahasa. Lulusan dari Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempan Rahima ini telah
banyak berperan dan berkonstribusi di ranah keulamaannya masing-masing. Sudah banyak lulusan-lulusan Rahima yang memiliki kontribusi yang sangat
berarti dimasyarakatnya, semisal ketika ibu Yulianti Muthmainnah mengisi kuliah umum bertemakan gender di fakultas FISIP UIN Jakarta, beliau tidak
hanya menjelaskan gender dalam segi umum saja namun beliau juga menjelaskan bagaimana gender dari segi pandangan Islam. Selain itu pula
beliau melakukan pemberdayaan perempuan melalui majlis taklim. Melalui majlis taklim tersebut ibu Yulianti mebiasakan jaamaahnya untuk lebih
percaya diri dalam berbicara dan belajar untuk bisa menyampaikan pendapat. Salah satu lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan lagi yaitu Neng
Hannah, beliau merupakan salah satu dosen Fakultas Ushuluddin di UIN Bandung dan juga sebagai aktifis Fatayat Jawa Barat serta mantan Direktur
LSM Research of Environment and Self Independent Capacity yang biasa disingkat RESIC pada periode 2008-2011. Peran yang dilakukan Neng
Hannah sebagai upaya kontribusi dalam keulamaan adalah dengan berusaha mendampingi masyarakat dan terlibat dalam advokasi untuk perempuan
korban kekerasan. Beliau juga terjun ke masyarakat membantu anak-anak belajar membaca menulis dan berceramah di majelis taklim.
50
Selain hal tersebut yang dilakukan Neng Hannah dengan melalui diskusi-diskusi untuk
mengajarkan mahasiswa kearah pendidikan untuk lebih kritis. Ibu Afwah Mumtazah merupakan pengasuh dan pendiri madrasah
“takhassus lil banaat” di sekitar komplek pondok pesantren Kempek,
50
AD. Eridani, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, Jakarta: Rahima, 2014, h.170
Cirebon. Peran yang dilakukan beliau dengan cara menyama ratakan serta mengajarkan materi yang semula hanya untuk santri putera namun kini
diajarkan pula kepada santri putri. Selain itu hal yang dilakukan dimasyarakat adalah dengan beliau dijadikan sebagai tempat bertanya atas permasalahan
masyarakat yang ada disekitarnya khususnya mereka kaum perempuan. Pesan yang sering ia sampaikan dari perolehan yang didapat dari pelatihan yang
telah ia lalui adalah tentang kemandirian perempuan, terutama dalam hal ekonomi.
51
Dari hasil pengamatan penulis ditinjau dari bagaimana pengertian ulama yang diharapkan oleh lembaga Rahima maka peranan yang di hasilkan
lembaga Rahima dalam mencetak kader-kadernya sudah sangat sesuai. Para lulusan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima bukan hanya
pandai dalam pengetahuan umum dan Islam. Namun juga kemanfaatan kepada sesama menjadi nilai lebih dari yang dihasilkan oleh lulusannya
tersebut. Penulis sering kali mendapati ulama-ulama yang berdakwah dengan cara berceramah. Namun berceramah dan langsung terjun dan merubah
seseorang dengan perlakuannya masih sedikit sekali. Disinilah peran Rahima dan lulusan pengkaderannya dapat terlihat sesuai dengan tujuannya yaitu
dapat berdakwah bukan hanya bil lisan namun juga dengan bil hal atau perbuatannya.
Selain dari itu, para lulusan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima telah masuk sebagaimana kriteria ulama yang diungkapkan Achmad
Satori Ismail. Ulama perempuan yang menyeru kepada kebaikan, menjalankan hal-hal yang menurutnya baik kemudian menyampaikannya
kepada khalayak ramai, dan yang pasti kesabaran yang tinggi dalam menyerukan isu-isu yang terkait didalam pengkaderan, inilah yang menjadi
nilai yang harus dimiliki bagi ulama-ulama perempuan lainnya. Pengamatan penulis,Ulama yang dihasilkan dari Pendidikan Pengkaderan
Ulama Perempuan Rahima sudah sesuai dengan yang diharapkan yaitu
51
AD. Eridani, dkk. Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, Jakarta : Penerbit Rahima, 2014 , Cet.I, h.13.
memiliki pengetahuan dan dengan pengetahuan itu dapat melakukan perubahan demi kemaslahatan sosial. Tetapi lingkup atau ruang yang
dinaungi dan dikembangkan ulama yang dihasilkan oleh Rahima masih sebatas lokal, taraf keulamaannya belum sampai kepada ranah nasional.
Walau demikian Rahima dan para ulama perempuan yang dihasilkannya sudah mampu merubah masyarakat yang berada disekitarnya. Masih
dibutuhkan pengakuan dari komunitas atau lembaga lain untuk ulama lembaga Rahima dapat terjun diruang dakwah yang lebih luas jangkauannya.
Agama Islam sangat menjunjung tinggi kesetaraan. Hanya terkadang seseorang sering mengenyampingkan hal tersebut masih memandang sebelah
mata terhadap peran keulamaan seorang perempuan. Allah SWT berfirman dalam Q.S at-Taubah ;
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
mereka menyuruh mengerjakan yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Q.S At-
Taubah 71 Dari ayat diatas terlihat bagaimana persamaan antara hak dan kewajiban
seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam mengajarkan amar ma`ruf nahi munkar. Tidak membedakan apakah dia seorang laki-laki ataupun
perempuan, keduanya mempunyai eksistensi kewajiban yang sama dalam menyeru, mengajak serta menjalankan kebaikan. Selain itu kandungan ayat