Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren (Konstruksi Rasionalitas Ulama Dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional)

(1)

TRANSFORMASI SOSIO EKONOMI PESANTREN

(Konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional)

YUDHA HERYAWAN ASNAWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren (konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan peran Lembaga Tradisional)” merupakan karya saya sendiri yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir penulisan disertasi ini.

Bogor, 22 September 2016

Yudha Heryawan Asnawi NRP I363120031


(4)

(5)

RINGKASAN

YUDHA HERYAWAN ASNAWI. Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren (konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional). Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO sebagai ketua, DIDIN S. DAMANHURI dan SATYAWAN SUNITO sebagai anggota.

Kajian tentang Pesantren sudah banyak dilakukan, baik oleh peneliti dalam negeri maupun maupun peneliti asing, namun penelitian pesantren dengan setting sosio ekonomi pedesaan belum banyak dilakukan. Pesantren dan kyai tidak dapat dipisahkan dari sejarah desa, terutama desa-desa di pulau Jawa. Pesantren yang pada awalnya adalah lembaga pendidikan, seiring dengan perjalanannya, berperan juga pada fungsi sosio politik. Dengan peran sosio politiknya, pesantren harus bersinggungan dengan kekuasaan. Peran sosio politik pesantren, sekalipun tidak sekeras pada masa kolonial ataupun pada pasca kemerdekaan, tetap ada sampai saat ini. Munculnya isu ekonomi syariah dan pembangkitan ekonomi Islam di Indonesia juga mempengaruhi pesantren sebagai lembaga tradisional masyarakat Islam Indonesia. Saat ini beberapa pesantren memunculkan isu tentang kemandirian ekonomi mendampingi peran pendidikan yang sudah sejak lama dijalaninya. Dengan peran sosio ekonominya, menjadi logis untuk mengaitkan pesantren dengan peta kelas menengah dan demokratisasi di Indonesia pada saat ini.

Penelitian ini secara umum dilakukan untuk melihat bagaimana struktur dan nilai-nilai ekonomi pesantren bertransformasi pada kondisi dinamis sosial politik saat ini, serta bagaimana peran kyai dalam proses transformasi tersebut. Selanjutnya dengan cara menganalisis dan mengkonstruksi ingin diketahui: (1) bentuk-bentuk kebersinggungan pesantren dengan dinamika sosial dan politik, (2) proses pembentukan ruang-ruang ekonomi pesantren, (3) proses rasionalisasi struktur pada ruang–ruang ekonomi pesantren, (4) nilai-nilai yang mengisi struktur ruang-ruang ekonomi pesantren, (5) dampak struktur dan nilai-nilai yang ada pada ruang-ruang ekonomi pesantren terhadap masyarakat di sekelilingnya,dan (6) struktur dan nilai-nilai pesantren yang dikomparasi dengan nilai ekonomi kapitalisme. Tujuan-tujuan tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan peran dan posisi pesantren pada peran sosio ekonominya di pedesaan, serta mengkaitkannya dengan isu kelas menengah dan demokratisasi. Tujuan ke enam dari penelitian juga akan dimanfaatkan untuk merespon teori Weber mengenai The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism.

Secara purposive, penelitian mengambil subyek kasus di dua pesantren yaitu: pondok pesantren dan pimpinan pondok Pesantren (ulama) Roudlatul Ulum Cidahu Kabupaten Pandeglang Banten, dan pondok dan pondok pimpinan pondok pesantren Sidogiri, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Studi ini menggunakan fieldwork, di mana peneliti hadir secara fisik di lokasi dan institusi untuk mengobservasi dan mencatat segalanya secara langsung. Untuk melaksanakan fieldwork, peneliti menggunakan kerangka multi metode yaitu partisipatif, historis dan etnografis secara bersamaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perebutan pengaruh antara penguasa dan pesantren, hal tersebut disebabkan karena keduanya merupakan alat


(6)

untuk mengatur kehidupan masyarakat menuju bonnum commune (kebaikan bersama). Hubungan antara pesantren dengan penguasa atau negara cenderung bersifat latent conflict. Pesantren mampu bertahan dengan situasi latent conflict dengan dinamika sosial politik karena memiliki kemampuan melakukan proses katabolisasi (catabolism) ruang sosial yang dimilikinya menjadi ruang-ruang ekonomi. Kemampuan berkatabolisasi, tidak bisa lepas karena adanya tradisi-tradisi akulturatif, sufism dan kepatuhan yang dimiliki sejak awal kehadirannya. Hasil penelitian menunjukkan setidaknya ada lima fase katabolisme yang terjadi di pesantren dari awal sejarahnya hingga saat ini. Dari poses katabolisme tersebut, dapat dipetakan pertumbuhan komunitas pesantren. Dari sisi kohesivitas sosial, terdapat dua komunitas pesantren yaitu komunitas kental (concentrate community) dengan kohesivitas tinggi dan komunitas cair ( liquid community) dengan kohesivitas yang lebih rendah.

Mengkatabolisasi ruang-ruang sosial menjadi ruang-ruang ekonomi secara rasional dilakukan agar agama menemukan sisi profannya. Agama menjadi realistis sebagai alat menjalani kehidupan. Rasionalisasi tersebut, dalam terminologi islam dikenal sebagai Insijâm. Dengan hadirnya ruang-ruang ekonomi pesantren, agama menjadi sebuah substansiasi bukan formalisasi.

. Sejalan dengan fase katabolisme yang dilaluinya, dalam hal penyerapan dan pengelolaan modal didapati dua bentuk tahapan ekonomi di pesantren yaitu kapitalistik embrionis (embryonic capitalistic) dan kapitalistik matang (mature capitalistic). Sedangkan sistem akumulasi modal menghasilkan sistem ekonomi-saluran (drainage economy) dan ekonomi-kolam (pond economy). Ekonomi saluran menunjukkan sisi sosialisme pesantren, sedangkan ekonomi kolam adalah representasi penguatan modal kapitalistik. Ekonomi pesantren merupakan ekonomi sinkretik yang memadukan sosialisme sekaligus penguatan modal.

Perbedaan kapitalistis pesantren dengan kapitalisme adalah pada disisipinya nilai-nilai Islam sebagai orientasi ekonomi. Pertama adanya keterlibatan seluruh elemen pesantren, baik yang di pinggir atau yang di tengah pusaran kekuasaan dalam sebuah proses interaksi berbagi manfaat. Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk dialektika kepatuhan sehingga tidak terjadi free fight liberalism yang didasarkan pada kekuatan pemilikan modal semata. Ketiga, keuntungan sebagai surplus usaha adalah cara untuk mempertahankan kemandirian dan perlindungan umat bukan sekadar representasi dari kepentingan sekelompok elite pesantren.

Berkaitan dengan isu ekonomi, politik dan demokrasi, transformasi sosio ekonomi yang terjadi di pesantren melalui proses katabolisme adalah sebuah "strategi bertahan hidup" dalam dunia modern. Penelitian ini mendapatkan fakta bahwa pesantren memiliki resiliensi sosial, mempunyai kemampuan mengembangkan komunitas, mempunyai kemampuan membangun tradisi keilmuan dan budaya, dan menunjukkan kemampuan ekonomi untuk membiayai dirinya. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, pesantren dapat disebut sebagai kelompok sosial kelas menengah dalam sistem sosial Indonesia.

Kata kunci: Transformasi, Konflik Laten, Katabolisme, Komunitas Kental, Komunitas Cair, Insijam, Kapitalistik Embrionis, Kapitalisme Matang, Ekonomi Saluran, Ekonomi Kolam, kelas menengah. Ekonomi sinkretik


(7)

SUMMARY

YUDHA HERYAWAN ASNAWI. Socio-Economic Transformation of Pesantren (The Rationality Construction of Ulama and Changes of Traditional Institution’s Roles). Supervisory panel chaired by ENDRIATMO SOETARTO, and co-supervised by DIDIN S. DAMANHURI and SATYAWAN SUNITO.

Studies on pesantren have already conducted by scholars. However, there is lack of research on pesantren using rural socio-economic. Pesantren and Kyai can not be separated from the history of the rural development, especially in Java Island. Pesantren is initially an educational institution. It evolves and develops to take a socio-political role. The role leads pesantren to interact with the power. The socio-political role remains significant today, although it is not as strong as its role in the colonial period or in post-independence. The emergence of Islamic economic issues (sharia economy) in Indonesia, has also influence the role of pesantren as an islamic traditional institution in Indonesia. Today, some pesantrens have addressed the issueof economic independence beside its educational role. Considering its socio-economic role, pesantren can also be associated with the Indonesian map of the middle class and democratization.

This study was conducted to see how the structure and economic values of pesantren have transformed within the social and political dynamics, and what the role of kyai in the transformation process. Furthermore, the study analyses: (1) the intersection of pesantren with social and political dynamics; (2) the process for establishing the space of pesantren’s economy; (3) the process of structural rationalization of pesantren economic spaces; (4) the economic values of the structure of pesantren economic spaces; (5) the impact of the structure and values that exist in pesantren economic spaces on the surrounding communities; and (6) the comparation between the structure and economic values of pesantren and economic capitalism. The objectives are used as a basis to define the role and position of pesantren in the socio-economic condition of rural areas and to link it to the issue of the middle class and the democratization. Objective 6 of this study is also designed to respond to the Weber theory of “The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism”.

This study chooses two pesantrens as case study sites namely; (1) Kyai (leader of pesantren) and Pesantren of Roudlatul Ulum Cidahu Pandeglang, Banten; and (2) Kyai and Pesantren of Sidogiri in Pasuruan, East Java. This study employs qualitative research using constructivism paradigm. Data collection was conducted through fieldwork, where the investigator was physically present to observe and record everything directly. To carry out fieldwork, the researcher used a mix-method framework comprising participatory historical and ethnographic methods. The research results show that there is a competition between powers and pesantren to influence the community, because both are tools to organize the life of society towards bonnum commune (the common good). The relationship between pesantren and the ruler or state tends to be a latent conflict.

Pesantren is able to survive with the situation of latent conflict and can deal with the powers (government) because it has the ability to catabolize social spaces into economic spaces. The catabolic ability of pesantren cannot dissapear because of the existence of acculturative, sufism and compliance traditions within the pesantren since several centuries ago. The results show that there are at least


(8)

five phases of catabolism that occurs in pesantren from early history to the present time. Using the catabolism approach, the pesantren community growth can be mapped. In terms of social cohesion, there are two communities of pesantren namely “concentrated community” with high cohesiveness and “liquid community” with a lower cohesiveness

Catabolising social spaces into economic spaces rationally is conducted to find the profan side of religion. Thus, religion becomes something realistic as a tool of life.The rationalizing activity is called Insijam (complemantarism) in the islamic term. The presence of business spaces in the pesantren has made religion as a substance not a formalism.

Referring to the ideal typhus of Weber, the presence of business space in pesantren, the exception of the issue of sharia, and the profit orientation have made the operation of business in pesantren to use the logic that resembles the ideal typhus of Weber. In line with the phases of catabolism, in terms of absorption and management of capital, there are two forms of economic stages at pesantren namely the embryonic capitalistic and the mature capitalistic. In addition, the capital accumulation process has two models, namely drainage economy and pond economy. Drainageeconomy shows the pesantren socialism, while pond economy represents capital strengthening process. Thus, the economy of pesantren is a syncretic economy that combines socialism and capital strengthening process.

The difference between capitalistic pesantren and capitalism is the insertion of islamic values as the orientation of the economy. Firstly, the insertion can be seen from the involvement of all elements of pesantren, either alongside or in the swirl of power, in a process of interaction to share benefits. Secondly, the inseetion can be represented by the process of interaction is in the form of compliance-dialectic, so there is no free fight liberalism that is based on the strength of the equity sheer. Thirdly, the insertion can be seen from advantages of business surplus (profit) that is used to preserve the independence and protection of the people, not just the representation of the interests of a group of pesantren elite. Related to the economic, politics and democracy issues, socio-economic transformations that occur in the pesantren through catabolism is as a "survival strategy" in the modern world. The research found that pesantrens have social resilience, capacity to develop the community, the ability to build the scientific tradition and culture, and demonstrate the economic ability to self-financing. With all the capabilities, pesantren can be considered as a middle-class in the social system of Indonesia

Socio-economic transformation of pesantren is not a transformation that departs from the historical emptiness. Transformation through social catabolism strengthens the position of pesantren as the Indonesian middle class that was played by the muslim community in 1920s. Socio-economic transformation of pesantren is the return of Indonesian middle class force with the “Indonesian-ness”.

Keywords: Transformation, Latent Conflict, Catabolism, Concentrated Community, Liquid Community, Insijam, Embryonic Capitalistic, Mature Capitalistic, Drainage Economy, Pond Economy, the Middle Class, syncretic economy.


(9)

@ Hak Cipta Milik IPB Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

TRANSFORMASI SOSIO EKONOMI PESANTREN

( Konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional)

YUDHA HERYAWAN ASNAWI

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Aji Hermawan. MM 2. Dr. M. Arief Mufriani, Lc, M.Si Penguji Luar Komisi Pada Sidang Promosi : 1. Prof. Dr. Azyumardi Azra 2. Dr. Yudi Latif


(13)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren

(Konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional)

Nama : Yudha Heryawan Asnawi

NRP : I363120031

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA Ketua

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE. MS.DEA Dr. Drs. Satyawan Sunito Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir Arya H. Dharmawan. MSc.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah. MSc. Agr

Tanggal Ujian Tertutup : 11 Agustus 2016 Tanggal Lulus : Tanggal Sidang Promosi : 15 September 2016


(14)

(15)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kepada Allah SWT, atas berkah dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyusun disertasi ini. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, tauladan dan inspirasi untuk mengisi kehidupan dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya untuk kemaslahatan orang banyak.

Disertasi yang saya beri judul, “Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren (Konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Peran Lembaga Tradisional), saya tulis bukan hanya untuk memenuhi persyaratan mengambil gelar doktor di Program Studi Sosiologi Pedesaan, tetapi juga merupakan ungkapan keprihatinan saya pada ketidakseimbangan informasi mengenai pesantren yang dibuat oleh para peneliti asing atau peneliti dalam negeri yang sudah terpengaruh oleh teori-teori sosial Barat, sehingga potret tentang “orang-orang pesantren” dihasilkan oleh kacamata orang luar. Saya meyakinkan diri, bahwa gambaran tentang pesantren perlu pula dipotret dari kacamata orang dalam sehingga didapat komparasi informasi yang adil.

Bermodalkan latar belakang pribadi yang memiliki akses terhadap pesantren-pesantren. Penulis menempatkan diri menjadi bahagian dari orang-orang pesantren dengan ikut “nyantri” dan berinteraksi langsung dengan para kyai. Kesulitan dialami ketika menyusun informasi untuk menarik kesimpulan-kesimpulan penelitian. Para Kyai alih-alih memberikan informasi yang terstruktur, penulis justru dihadapkan pada ungkapan-ungkapan simbolik yang harus dikonstruksi dan di- triangulasi kepada berbagai fihak. Konfirmasi dari fihak lain, tidaklah cukup untuk menarik sebuah kesimpulan namun harus dikembalikan kepada kyai. Proses berputar dan panjang untuk memastikan apa yang ditulis adalah benar-benat perspektif pemikiran kyai adalah kesulitan terberat dalam penulisan disertasi ini.

Pada disertasi ini pun banyak digunakan istilah-istilah ilmu alam. Pilihan saya menggunakan istilah-istilah ilmu-ilmu alam menunjukkan kompleksitas pesantren seringkali tidak terjangkau oleh istilah-istilah lazim ilmu sosial. Hal ini saya sadari dapat menimbulkan pertentangan dan kontroversi namun penggunaan istilah-istilah ilmu alam dimaksudkan hanya untuk mengananalogi gambaran empiris, untuk memasukan kajian-kajian sosial ke dalam pendekatan positivistik ilmu alam.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Sebagai Ketua Komisi Pembimbing

2. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri sebagai anggota Komisi Pembimbing 3. Dr.Satyawan Sunito, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

4. Prof. Dr. Noer Azam Achsani, sebagai penguji luar dalam Ujian Kolokium.

5. Dr. Ir. Aji Hermawan MM dan Dr. M. Arief Mufriani. Lc. Msi, sebagai penguji luar komisi dalam Ujian Tertutup.

6. Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Dr. Yudi Latif sebagai penguji luar komisi pada Sidang Promosi.


(16)

7. KH. Nawawi bin Abdul Jalil, atas perkenannya saya “nyantri” di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur, juga para masyaik, Mas D. Nawawi Sadoellah yang membuka jendela ruang pesantren untuk saya. Mas Abdul Madjid, direktur BMT Sidogiri, mas EdyAmin ketua Kopontren Sidogiri, Mas Baihaqi, mas fatih, mas syamsul, mas samsul huda, mas manfaat dan keluarga besar Sidogiri yang tidak bisa saya sebeut satu per satu.

8. KH. Muhtadi Dimyati, atas perkenannya saya “nyantri” di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Cidahu Pandeglang Banten, juga untuk sahabat saya Hubab Nafi dan kawan-kawan santri Cidahu yang tidak bisa saya sebut satu per satu.

9. Dr. Arief Satria, Dekan FEMA IPB yang “membantu membuka jalan” sehingga saya bisa studi di Program studi Sosiologi Pedesaan IPB.

10.Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Dr. Arya H. Dharmawan, para dosen yang tidak saya sebut satu per satu dan Jajaran staf Sekretariat prodi SPD: mbak Angra, mbak Lia, Bu Susi dan mbak Heti.

11.Dr. Ir. Arief Daryanto, Direktur Program Pasca Sarjana Manajemen dan Bisnis IPB, Prof. Dr. Ujang Sumarwan, Dr.Ir. Idqan Fahmi dan rekan-rekan Litbang, Suhendi, Andina, Tyo, Adit, Anes, Ary, Elsa, Devi, Zenal, Gunawan dan Aswin.

12.Rekan-rekan sesama peserta program doktoral di Program Studi SPD IPB ; Mbak Melani, Mbak Eni Prasodjo, Mas Tohir, Mas Syamsul, mbak Yanti, Adinda Wahyu, kang Asep, Bang Martua, Teh Jamilah dan yang lainnya yang berbagi rasa dalam harmoni pertemanan.

13.Semua pihak yang telah memberi dukungan moril maupun materiil pada pelaksanaan penelitian dan selama penulis melakukan studi di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB.

14.Keluargaku semua.

Akhirnya, semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang terkait dan bagi yang membacanya. Amin.

Bogor, September 2016 Yudha Heryawan Asnawi


(17)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 7

1.3. Historiografi Pesantren... 13

1.4. Perumusan Masalah ... 15

1.5. Tujuan Penelitian ... 17

1.6. Kegunaan dan Kebaruan Penelitian ... 18

II. PENDEKATAN TEORITIK ... 21

2.1 Relasi Sosial dan Struktur Sosial ... 21

2.2. Aktivitas Sosial dan Ruang Ekonomi ... 25

2.3Tindakan Rasional, Rasionalisasi dan Struktur ... 27

2.4 Nilai-Nilai Sosial, Struktur dan Perubahan Nilai ... 31

2.5 Transformasi dan Perubahan Sosial ... 33

2.6 Kapitalisme dan Ekonomi Islam ... 37

2.7 Kelas Menengah... ... 38

2.8 Kerangka Pemikiran ... 42

III. METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Subyek dan Lokasi Penelitian ... 45

3.2 Jenis dan Paradigma Penelitian ... 47

3.3 Pendekatan teori utama sosiologi (Grand theory of Sociology)... 49

3.4 Metode Penelitian... 51

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 53

3.6 Metode Analisis Data ... 54

3.7 Penggunaan Istilah-Istilah Ilmu-Ilmu Alam ( Nature Science)... 55

IV. PESANTREN ... 58

4.1. Sejarah istilah Pesantren ... 59

4.2. Pesantren adopsi Sistem Pendidikan Islam di Timur Tengah 60

4.3. Tradisi-tradisi di Lingkungan Pesantren ... 62

4.3.1. Akulturatif: Tradisi Kontak Budaya Pesantren ... 63

4.3.2. Tasawuf dan Kitab Kuning: Epistemologi dan Sumber Pemikiran Pesantren ... 66

4.3.3. Kepatuhan dan kritis santun: Epistemologi keteraturan sosial ... 71

4.4. Bentuk Pesantren Saat ini... 74

4.4.1. Pondok pesantren dilihat dari kekhususan pengetahuan ... 74

4.4.2. Pondok pesantren dilihat klasifikasi dari pola pengajaran ... 75


(18)

4.4.4. Pondok pesantren dilihat dari jumlah santrinya ... 79

V. MASUKNYA ISLAM DI BANTEN DAN JAWA TIMUR ... 80

5.1. PESANTREN BANTEN ... 80

5.1.1. Sejarah Pesantren di Banten: Antara Tasawuf Dan Kanuragan ... 80

5.1.2. Sejarah Pesantren di Banten: Kyai langgar dan Jawara ... 82

5.1.3. Kyai Nawawi Al Bantani, Ulama Banten, Al Ghozaly Moderen... 85

5.1.4. Pesantren Pondok Pesantren Roudlatul Ulum Cidahu Pandeglang Banten: Kobong di masa Moderen ... 88

5.1.4.1. Sejarah dan pendiri... 88

5.1.4.2. Kekhususan Pengetahuan PP. Roudlatul Ulum ... 89

5.1.4.3. Klasifikasi dari pola pengajaran PP. Roudlatul Ulum ... 91

5.1.4.4. Sarana dan prasarana ... 93

5.1.4.5. Jumlah santri ... 94

5.2. PESANTREN JAWA TIMUR ... 95

5.2.1. Sejarah Pesantren di Jawa Timur: Tasawuf Dan Saudagar ... 95

5.2.2. Kyai Muhammad Kholil Bangkalan: Guru para kyai Jawa ... 101

5.2.3. Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur: Toko di rumah sufi ... 104

5.2.3.1. Sejarah dan Pendiri PP. Sidogiri ... 104

5.2.3.2. Kekhususan Pengetahuan PP. Sidogiri ... 105

5.2.3.3. Klasifikasi dari Pola Pengajaran PP. Sidogiri ... 105

5.2.3.4. Sarana dan Prasarana di PP.Sidogiri ... 107

5.2.3.5. Jumlah Santri di PP.Sidogiri ... 108

BAB VI. RELASI SOSIAL POLITIK PESANTREN ... 109

6.1 RELASI POLITIK PESANTREN ... 109

6.1.1 Relasi Politik Pesantren di masa Penjajahan Belanda: Konflik dan Kecurigaan ... 109

6.1.1.1 Kelas Menengah pada Era kolonial, Bangkitnya Kesadaran Masyarakat Pesantren... ... 112

6.1.2. Relasi Politik Pesantren di masa Orde Lama-Orde Baru : kecurigaan dan Persahabatan ... 115

6.1.2.1. Persahabatan Setengah Jalan ... 119

6.1.3. Hubungan Politik Pesantren dengan Kepartaian ... 121

6.1.4. Hubungan Politik Penguasa dan Pesantren: Argumen dan Teorisasi ... 124

6.2. PERTANAHAN PESANTREN ... 130

6.2.1. Pertanahan Pesantren di Zaman Kolonial: Kontrol Politik melalui Jalur Wakaf ... 130

6.2.2. Pertanahan Pesantren di Zaman Kemerdekaan dan orde Baru: Wakaf dan Kepastian Hukum ... 132


(19)

6.3. SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN ... 141

6.3.1. Sistem Pendidikan Pesantren di Masa Penjajah Belanda: Berhadapan dengan Sistem Pendidikan Barat ... 141

6.3.2. Sistem Pendidikan Pesantren di Awal Kemerdekaan - Zaman Orde Lama: Menghadapi Modernisasi Sistem Pendidikan Nasional ... 146

6.3.3. Sistem Pendidikan Pesantren pada Masa Orde Baru : Kurikulum dan Persamaan Derajat ... 148

6.3.4. Preferensi Masyarakat Terhadap Pesantren ... 150

6.3.5. Sistem Pendidikan Pesantren: Kekuasaan dan Modernisasi, Argumen dan Teorisasi ... 152

6.4. KEBERSINGGUNGAN: KOEKSISTENSI DAN KONFLIK LATEN ... 158

BAB VII. RUANG RUANG EKONOMI PESANTREN ... 160

7.1. MASJID ... 162

7.1.1. Fungsi Masjid Pada Awal Sejarahnya Pesantren ... 163

7.1.2. Sumber pendanaan Masjid Pada Awal Sejarahnya Pesantren ... 164

7.1.3. Komunitas Masjid Pada Awal Sejarahnya ... 164

7.1.4. Masjid Pada Ruang Negara ... 165

7.1.5. Komunitas Masjid Pada Saat Ini ... 167

7.1.6. Masjid di PP. Sidogiri ... 168

7.1.7. Pendanaan masjid Sidogiri ... 168

7.1.8. Komunitas Masjid PP.Sidogiri ... 169

7.1.9. Peran dan Posisi Kyai di Ruang Masjid PP.Sidogiri ... 169

7.2 RUMAH KYAI ... 169

7.2.1. Pendanaan Rumah Kyai ... 171

7.3. MAJLIS TAKLIM ... 173

7.3.1. Majlis Taklim di Pesantren ... 174

7.3.1.1. Pembiayaan Majlis Taklim di Pesantren ... 175

7.3.1.2. Komunitas Majlis Taklim di Pesantren ... 178

7.3.1.3. Peran dan Posisi Kyai di Komunitas Majlis Taklim di Pesantren ... 179

7.4. MADRASAH DI LINGKUNGAN PESANTREN ... 179

7.4.1. Pembiayaan Madrasah di Lingkungan Pesantren ... 181

7.4.2. Peran dan Posisi Kyai di Madrasah di Lingkungan Pesantren... 183

7.5. AKTIVITAS, KOMUNITAS DAN RUANG- RUANG BARU DI LINGKUNGAN PESANTREN ... 184

7.5.1. Bisnis di Pesantren ... 184

7.5.2. Koperasi di Lingkungan Pesantren ... 185

7.5.3. Lembaga Keuangan di Lingkungan Pesantren ... 186

7.5.4. Koperasi dan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Sidogiri ... 188


(20)

VIII. TRANSFORMASI SOSIO EKONOMI PESANTREN... ... 193

8.1. Perkembangan Ruang Ekonomi Pesantren... .... 193

8.2. Rasionalisasi Pembentukan ruang... ... 200

8.3. Aktor-aktor Pesantren... ... 204

8.4. Karakteristik Komunitas Pesantren: Komunitas Kental dan Komunitas Cair... ... 206

8.5. Perubahan Struktur, Peran dan Fungsi Pesantren... ... 208

8.6. Kapitalisme, Ekonomi Rasional Pesantren ( Embryonic Rational Economy dan Mature Rational Economy) ...... 211

8.7. Model Ekonomi Pesantren dan Peran Sosial Pesantren.. ... 218

8.7.1. Ekonomi Saluran (Drainaged Economy) ... 220

8.7.2. Ekonomi Kolam (Pond Economy)) ... 222

8.8. Perubahan Sosial di Pesantren... ... 227

8.9. Pembelajaran dari Transformasi Sosial Ekonomi Pesantren. ... .229

IX. KESIMPULAN.. ... 236

9.1. Ikhtisar Penelitian... ... 236

9.2. Epilog 240 DAFTAR PUSTAKA... ... 249 RIWAYAT HIDUP


(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Fase, Ruang, Komunitas, penyebab, sumber Penggerak

pembiayaan dan aktor Pesantren 211

Tabel 2. Fase dan Transformasi Sosial Ekonomi Pesantren 232 Tabel 3. Perbedaan antara kapitalisme, Embryonic capitalistic, Mature

capitalistic pesantren 233

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 44

Gambar 2. Pola Pengelolaan PP.Sidogiri 190

Gambar 3. Struktur Organisasi Keluarga Besar PP.Sidogiri 192

Gambar 4. Katabolisme Ruang di Pesantren 195

Gambar 5. Fase Perkembangan Ruang-Ruang Ekonomi Pesantren 199

Gambar 6. Aktor dan Peran pada Pesantren 205

Gambar 7. Perkembangan Ruang Ekonomi dan Komunitas di Pesantren 206 Gambar 8. Cash flow dari Drainage economy di Pesantren Raudlatul

Ulum Cidahu 221

Gambar 9. Cash flow dari Pond economy di Pondok Pesantren Sidogiri

Pasuruan 225

Gambar 10. Transformasi Ruang-ruang Persantren dan Sumber

Pembiayaan yang menggerakannya 234


(22)

(23)

I. PENDAHULUAN

1.7.Latar Belakang

Pengambilan setting pesantren dalam penelitian ini, sebenarnya sebagai batu loncatan untuk mengetahui hal yang lebih besar. Penelitian tentang pesantren dengan perspektif sebagai lembaga pendidikan sudah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang ada mampu membuka beberapa tabir tentang pesantren. Demikian halnya penelitian sosial tentang perdesaan, berbagai penelitian telah mampu menggambarkan apa dan bagaimana sosial desa berjalan. Tidak cukup sampai di situ, penulis bukan sekedar ingin mengambil potret tentang pesantren atau menceritakan pesantren dalam lanskap perdesaan. Kerangka besar yang ingin dituju adalah apa dan bagaimana pesantren dalam lanskap nasional. Sekalipun penelitian ini diawali dengan memotret sisi eksklusivitas pesantren sebagai lembaga keislaman namun secara sosiologis dia dapat dielevasi pada subjek lain sebagai lembaga masyarakat sipil (civil sosciety organization), siapa dan apa yang dilakukannya pun dibawakan dalam konstelasi kepentingan yang lebih luas tentang kekuatan bangsa yang memasuki era demokrasi.

Hubungan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tema kajian menarik yang menyita perhatian para sarjana dan kaum intelektual sejak lama. Tema ini sudah menjadi isu klasik dalam debat akademis di kalangan ilmuwan politik dan ahli ekonomi, yang melahirkan beragam pandangan dan kesimpulan, Robert Baro (1997) berpendapat bahwa demokrasi dapat mendorong dan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Sebagian lagi menyatakan keduanya tak ada hubungan kausalitas, bahkan diskoneksi antara satu dengan yang lain (Rodrik 1997). Sistem demokrasi saja tidak cukup untuk menggerakkan ekonomi negara. Hal terpenting lainnya adalah kehadiran masyarakat kelas menengah ( middle class society). Siapa kelas menengah Indonesia? Pertanyaan kritis berulang kali sudah dan pernah dibahas dalam berbagai diskursus sosial politik. Namun dari kesemua hasil diskusi tersebut, jawaban yang diperoleh selalu saja mengambang dan tidak pernah berakhir pada definisi kejelasan mengenai definisi tersebut. Di antara berbagai macam metanarasi mengenai kelas menengah tersebut, analisis yang dikembangkan umumnya bersumber pada munculnya oil boom yang kemudian menghasilkan adanya kelompok “golongan menengah” yang kemudian diartikan sebagai munculnya kelompok masyarakat berpendidikan, berpenghasilan menengah-tinggi dan memiliki gaya hidup moderen. Golongan menengah atau golongan intelektual adalah kaum yang telah mempunyai, meminjam konsepnya Durkheim, “kesadaran organik”. Solidaritas yang mereka bangun telah berubah dari mekanis ke organik, yaitu solidaritas yang menunjuk kepada keterpaduan dalam organisme, yang berdasarkan keanekaragaman fungsi-fungsi demi kepentingan keseluruhan. Dalam masyarakat ini, hubungan-hubungan sosial baru terbentuk atas pembagian kerja

Adanya terminologi masyarakat berepenghasilan menengah-tinggi bahwa pertumbuhan ekonomi sendiri menjadi pionir penting dalam merumuskan kelas menengah tersebut. Dalam titik ini kemudian, analisa Neo-Marxis sendiri menjadi analisa mendasar dalam membahas kelas menengah ini, bahwa proses kapitalisme


(24)

pinggiran (ersatz capitalism) sendiri telah menghasilkan kelompok masyarakat dependen dengan negara. Namun demikian, kita juga bisa melihat tesis yang disampaikan oleh Alavi (1976) bahwa dalam kasus negara paska kolonial sendiri terjadi perrebutan ruang kuasa dalam struktur masyarakat yang dilakukan oleh kelas-kelas dalam masyarakat. Dalam hal ini, kelas menengah kemudian muncul sebagai pemenang berkat mediasi terhadap kelas penguasa (governing elite) dengan kelas masyarakat lainnya (non-governing elite).

Berdasarkan cacatan sejarah diketahui bahwa wilayah Hindia Belanda (Indonesia) pada era awal abad ke-20 erat kaitannya dengan kaum pergerakan akibat munculnya golongan pengusaha dan golongan intelektual di kalangan kaum pribumi. Kemunculan kedua golongan tersebut memang tidak dapat dipisahkan, dan merekalah yang memotori pergerakan. Sementara itu, timbulnya pergerakan di kalangan mereka secara umum sebenarnya merupakan akumulasi dari jawaban atas kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang telah lama tidak pernah memihak pada kaum pribumi. Pada permulaan abad ini, telah timbul suatu rasa kesadaran yang terus berkembang, yaitu kesadaran terhadap situasi yang terbelakang sebagai hasil dari kolonialisme. Perlakuan diskriminatif, telah menyadarkan rakyat dan khususnya bagi kedua golongan tersebut atas keadaan yang terjajah ini. Bertahannya pesantren, berkembangnya komunitas yang ada di dalamnya dan aktivitas ekonomi yang dilakukan saat ini mengingatkan pada pergerakan-pergerakan masyarakat muslim di Indonesia pada era awal abad 20 atau pada dekade tahun 1920-an. Masyarakat muslim pada waktu itu yang tergabung pada Syarikat Islam atau Syarikat Dagang Islam, muncul menjadi kekuatan kelas menengah ekonomi baru. Namun kekuatan kelas menengah ekonomi itu kandas dengan tekanan-tekanan politik kolonial, lemahnya kaderisasi dan tidak terbangunnya nilai-nilai ideologis ekonomi.

Penelitian ini dilakukan secara induktif, dengan membedah anatomi pesantren melalui kasus perilaku ekonomi di dua pesantren. Pembedahan dalam rangka mencari tahu apakah pesantren memenuhi karakteristik kelas menengah yang dibutuhkan bagi kemajuan bangsa yang memiliki potensi politik laten yang bisa menjadi kekuatan politik manifest dalam bersinggungan dengan dinamika sosio-politik dan ekonomi yang terjadi. Dalam klausul mengenai definisi kelas menengah yang dipersyaratkan kepada pesantren adalah sikap rasional dan kritis termasuk di dalamnya.

Penelitian dan kajian masalah sosial ekonomi di pedesaan, lebih banyak difokuskan pada masalah petani dan pertanian, yaitu petani sebagai aktor dan pertanian sebagai institusi sosial ekonomi yang menggerakannya, padahal desa sebagai sebuah lingkungan sosial memiliki kompleksitas lebih dari sekedar masalah hubungan petani dan pertanian. Sejarah terbentuknya desa terutama di desa-desa Pulau Jawa pada masa kesultanan menunjukkan bahwa terbentuknya masyarakat desa di samping oleh bangsawan dan petani sebagai cacah, juga terbentuk oleh faktor keagamaan dengan aktornya yang disebut kyai serta muridnya yang disebut santri. Kehadiran kyai, santri dan infrastruktur yang menjembatani hubungan keduanya inilah yang menciptakan konsep pesantren.

Hadirnya berbagai pandangan terhadap pesantren pada khususnya dan masyarakat Islam tradisional di Indonesia pada umumnya adalah fakta yang tak dapat dihindari. Penulisan sejarah pesantren pada masa pra kolonial lebih banyak mengandalkan folklore atau cerita turun temurun. Kisah disampaikan dengan


(25)

bias lokal-mistisisme, pengkultusan pada kyai yang tinggi sehingga paparan tentang pesantren keluar dari nalar rasionalitas bahkan untuk ukuran-ukuran sufistik sekalipun. Selanjutnya pada masa kolonial, penulisan tentang pesantren dibuat oleh para pegawai pemerintah atau peneliti kolonial. Pesantren ditulis secara antropologis dengan apa yang dilihat, tidak ditelisik ke kedalaman sebuah peristiwa. Mereka berusaha untuk objektif namun ada keterbatasan pada akses menjadi bagian integral dunia pesantren dan masyarakat Islam. Tulisan peneliti kolonial tidak bisa dipungkiri tetap bias oleh latar belakang kultural penulis maupun kepentingan politik penjajah.

Sejarah menunjukkan bahwa pada struktur sosio-ekonomi dan politik desa ada perbedaan posisi antara petani dengan kyai. Petani ditempatkan pada kelas massa sedangkan kyai ada pada posisi kelas elite. Posisi ini tidak semata-mata karena tingginya ilmu agama kyai, tetapi diciptakan oleh struktur politik yang ada. Sejak zaman pra kolonial, kolonial, pasca kemerdekaan bahkan saat ini kyai ditempatkan sebagai pemimpin informal yang berpengaruh. Saat ini bahkan posisi elite kyai bukan hanya ada pada wilayah desa tetapi meluas pada skala nasional. Fakta ini menjadikan kyai sebagai bagian issu sentral ketika agama ditarik pada ranah sosial politik.

Hubungan antara kyai dan penguasa tidak selalu berjalan mulus. Pada masa kolonial hubungan politik kyai dengan penguasa banyak ditandai hubungan saling curiga sampai pada konflik yang bersifat terbuka. Dilanjutkan pada masa pasca kemerdekaan, peran politik Kyai cukup menonjol. Kehadiran partai NU menjadikan para ulama berada dalam putaran politik praktis. Pesantren-pesantren menjadi basis massa politik. Pada masa Orde Baru, Pemerintah melakukan pendekatan ganda terhadap kyai dan pesantren. Pemerintah melakukan tindakan represif pada kyai pesantren yang oposan dan memberikan akomodasi pada yang sejalan. Posisi politik kyai baik oposan maupun yang pro menimbulkan trauma ekonomi pesantren.

Beberapa pesantren saat ini menahan1 atribut politiknya dan fokus pada dunia pendidikan. Isu yang belakangan muncul adalah Konsep kemandirian. Konsep formal yang dicetuskan oleh kalangan Islam non pesantren, sekalipun secara esensi sudah dilakukan oleh pesantren sejak lama. Santri sebagai basis massa yang sebelumnya dijadikan political bargaining position digeser menjadi alat untuk penguatan kemandirian. Tradisi-tradisi yang selama ini digunakan dalam ruang praksis politik diarahkan kepada isu ekonomi. Beberapa kyai mengajukan tesis baru, bahwa peran politik Islam tidak melulu melalui jalur politik formal, melainkan pada tataran membangun umat melalui pendidikan dan ekonomi. Para kyai berpendapat politik praktis yang pernah dilakukan oleh pesantren menjadikan pesantren pada citra negatif sebagai “mustahik politik2 ” atau penerima dana belas kasih sayang politik.

1

Saya menyebut dengan “menahan”, dengan pengertian bahwa pesantren tidak sepenuhnya melepas atau meninggalkan peran-peran politiknya.

2

Istilah ini saya adaptasi dari pernyataan Kyai Nawawi Sidogiri, aslinya beliau mengatakan, “ pesantren itu bukan orang yang menerima zakat dan shodaqoh pemerintah ~ tapi sebaliknya pemerintah nantinya yang akan kita kasih shodaqoh”.


(26)

Tesis kyai tentang kemandirian ini tidak lantas mengucilkan pesantren dari dunia luar. Pesantren tetap melakukan kebersinggungan3 dengan masalah sosial, politik, ekonomi dan isu modernisasi. Para kyai melihat dunia luar untuk selanjutnya ditempatkan pada ruang tradisi pesantren. Repleksi dunia luar pada ruang-ruang tradisi adalah dalam rangka membangun kemandirian dan nilai-nilai religi yang baru. Disadari atau tidak tesis tentang kemandirian membawa pesantren pada penciptaan ruang-ruang ekonomi4 yang lebih kompleks. Ruang-ruang ekonomi tersebut untuk memfasilitasi tuntutan bagaimana pesantren menghidupi diri sendiri sampai pada upaya-upaya membangun kekuatan ekonomi masyarakat. Kyai tak dapat menutup mata bahkan eksistensi pesantren ditentukan pada sejauh mana ia memberikan imbas ekonomi pada masyarakat sekelilingnya. Persoalannya adalah apakah pesantren mempunyai pondasi yang kuat untuk merubah diri yang tadinya berperan sebagai lembaga pendidikan kemudian menambahkan peran dirinya sebagai lembaga ekonomi.

Beberapa pesantren tidak hanya terperangkap dalam wacana, tetapi mulai menunjukkan aktivitas-aktivitas konkret dalam ekonomi. Aktivitas ekonomi ini bergandengan dengan isu gerakan ekonomi Islam di Indonesia yang mengusung kemandirian dan bangkitnya kekuatan ekonomi masyarakat muslim. Hal tersebut seolah mejadi counter perekonomian Indonesia yang ditandai oleh persetujuan negara pada sistem mekanisme pasar kapitalistik yang mensyahkan adanya permintaan dan penawaran secara bebas yang mengeksplorasi sisi konsumtif manusia. Ketika Indonesia telah masuk ke dalam perangkap ekonomi liberal yang kapitalistis, gerakan ekonomi Islam yang dilakukan oleh pesantren dipandang sebagai alternatif model ekonomi. Perubahan pada ruang-ruang pesantren bukan sekedar logika pertumbuhan karena kebutuhan sarana fisik, namun oleh kebutuhan untuk memfasilitasi terbangunnya aktivitas sosial ekonomi.

Dalam ruang teori, pemahaman tentang kapitalisme ada pada ruang perdebatan. Collins (1980) seorang Weberian menafsirkan kapitalisme sebagaimana yang dimaksud Max Weber dalam ideal typhus adalah upaya manusia untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan kegiatan-kegiatan usaha, dimana tindakan individu terhadap kehidupan dunia adalah sebagai bentuk asketisisme aktif yaitu dorongan yang kuat bagi para penganutnya agar menjalani kehidupan yang nyata (real) di dunia ini dan bukannya asketisisme pasif seperti yang berkembang dalam mistisisme agama. Henry Levebre (1991) seorang Marxian, berpendapat bahwa kapitalisme tidak semata-mata praktik-praktik akumulasi cara berpikir tetapi pada upaya penaklukan ruang-ruang ekonomi untuk mempertahankan nafas kapitalisme di muka bumi. Ruang-ruang digunakan sebagai tempat akumulasi alat produksi, mendapatkan keuntungan, eksplorasi dan penguasaan.

3

Penulis menggunakan istilah “bersinggungan” untuk menjelaskan bahwa hubungan yang terjadi bisa bersifat saling bertemu dan mempengaruhi, pada saat bersinggungan satu fihak bisa menjadi fihak yang dominan, bisa pula masing-masing memiliki posisi tawar yang sama. Kata bersinggungan ini, dalam bahasa Inggris, dapat diartikan sebagai intersected. Untuk selanjutnya akan digunankan kata, “bersinggungan,” “Kebersinggungan” dengan maksud sebagaimana dijelaskan di atas.

4

Penjelasan mengenai ruang-ruang ekonomi saya gunakan dengan pendekatan kritis Karl Marx terhadap kapitalisme. Menurutnya ruang ekonomi menjadi kunci dari akumulasi kapital. Usaha menggerakkan modal dalam proses produksi baik berupa tenaga kerja, uang, barang maupun jasa tidak dapat berjalan tanpa adanya ruang ekonomi.


(27)

Dua pesantren yang mengedepankan isu kemandirian ekonomi adalah Pondok pesantren Roudlatul Ulum di Cadasari Pandeglang Banten dan Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur. Kedua pesantren adalah dua pondok pesantren salafiyah5. Kedua pesantren tersebut dalam istilah kekinian menerapakan prinsip people driven dan self sufficient. Kyai dan pondok pesantrennya tidak menempatkan diri sebagai oposan radikal terhadap pemerintah namun kedua pesantren ini sangat membatasi, mengambil jarak dan selektif dalam berhubungan dengan pemerintah. Secara konsisten kedua pesantren ini tidak mau menerima bantuan dari pemerintah (melalui APBD/APBN). Sikap mengambil jarak yang dipilih oleh Pesantren Sidogiri dan Raudlatul Ulum dengan pemerintah terlihat dari kreativitas dan konsistensi perilaku, yang dalam hal ini digawangi oleh Kyai pemimpin pondok. Kyai di pondok pesantren ini menciptakan struktur dan sistem nilai, dimana dirinya menjadi row-model atau uswatun dari sistem yang ia ciptakan. Kedua pesantren mematahkan dan tumbuh sebagai antitesa model kapitalisme ersatz yang melibatkan campur tangan pemerintah, ketergantungan dan daya saing semu.

Pondok pesantren Roudlatul Ulum di Cadasari Pandeglang Banten dan Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur telah bertahan puluhan tahun, bahkan untuk pondok pesantren Sidogiri sudah bertahan ratusan tahun. Kedua Pondok pesantren tersebut saat ini menjadi rujukan pesantren-pesantren salafiyah di seluruh nusantara. Perbedaan kedua pesantren terletak pada interpretasi self sufficient (“kecukupan”), jika pondok pesantren Roudlatul Ulum menginterpretasikan kecukupan dengan cara “memiminalkan keinginan”, sedangkan Pondok Pesantren Sidogiri menginterpretasikannya dengan “memaksimalkan peluang”. Namun, keduanya mempunya pandangan yang sama tentang konsep “ kepemilikan material” atau harta. Keduanya berpandangan bahwa “harta bukan ditentukan oleh seberapa banyak yang dapat ditahan di rumah, tetapi seberapa banyak yang disalurkan untuk membantu mengisi rumah orang lain”.6 Konsep ini berlawanan dengan konsep ekonomi kapitalis yang menempatkan volumious materi dan akumulasi modal yang dikuasai/dikendalikan sebagai ukuran.

Pondok Pesantren Sidogiri sesuai dengan arahan Kyai-nya mengedepankan kemandirian finasial dengan berbagai usaha bisnisnya yang sangat sukses. Pondok pesantren ini melakukan aktivitas bisnisnya dengan menggunakan lembaga ekonomi koperasi. Berbeda dengan Pondok Pesantren

5

Secara tradisi memiliki keterkaitan dengan organisasi massa Islam Nahdlatul Ulama. Ciri lainnya adalah tidak menggunakan kurikulum Kementrian Agama, tidak mengeluarkan ijazah, materi pengajaran berbasiskan kitab-kitab kuning, penyampaian pengajaran dengan cara sorogan dan

bandongan. Pengertian Salafiyah di sini, berbeda dengan istilah salafi yang identik dengan gerakan-gerakan pemurnian agama ala wahabi yang berpusat di Saudi Arabia yang juga menyebar di Indonesia.

6

Islam memiliki karakteristik syumul(universal), wasattiyah (moderat), Islam tidak mengenal sekulerisme, tidak ada pemisahan kehidupan antara spiritual dan material, seluruh aspek kehidupan manusia (baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan

muamalah) diatur oleh Islam. Islam juga mengedepankan aspek rasionalitas dan spiritualitas secara seimbang sehingga dalam Islam, hukum, agama, kehidupan, muamalah dapat dicerna oleh akal dan hati nurani yang bersifat spiritual.Dalam Islam tujuan ekonomi bukan sebatas mengumpulkan uang, memenuhi kebutuhan duniawi semata tetapi falah (kebaikan bersama), maslahah ( kemanfaatan) dan kesejahteraan yang adil dan merata.


(28)

Sidogiri di Pasuruan, Pondok Pesantren Raudlotul Ulum Cidahu Pandeglang Banten lebih menerapkan konsepsi “meminimalkan keinginan” dalam kehidupan ekonominya. Konsepsi ini merupakan konsep paling dasar dalam ekonomi Islam yang dikenal dengan perilaku kehidupan zuhud. Pilihan pada kehidupan zuhud terepresentasikan pada ruang-ruang pesantren yang sangat sederhana, nyaris tanpa kemewahan.

Menyandingkan antara Pesantren Roudlatul Ulum Cidahu Pandeglang Banten dengan Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur seperti memotret loncatan sejarah. Keduanya memiliki latar belakang yang sama yaitu sebagai pesantren salafiyah, memiliki rujukan-rujukan teologis yang sama yaitu bermazhab ahlussunah dengan referensi kitab-kitab kuning, sama-sama memiliki alumni-alumni yang tersebar dan beberapa diantaranya menjadi tokoh-tokoh agama terkemuka. Pesantren Roudlatul Ulum juga dihadapkan pada persinggungan tawaran privelese politik, modernisasi dan ekonomi kapitalis. Namun dengan persamaan-persamaan yang dimiliki, Pesantren Raudlotul Ulum di Pandeglang Banten tidak membuka ruang-ruang ekonomi baru seperti halnya Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan. Tidak dikembangkannya ruang ekonomi baru di lingkungan pesantren, bukan karena ketidakmampuan, tetapi lebih kepada pilihan. Bagi pesantren Raudlatul Ulum kemandirian akan dapat terus dipertahankan dengan prinsip “meminimalkan keinginan”. Dengan kata lain kedua pesantren juga menunjukkan bahwa kebersinggungan pesantren dengan dinamika politik dan ekonomi menghasil dua model Ekonomi pesantren, yaitu aliran progresif seperti yang terjadi di pondok pesantren Sidogiri Pasuruan, dan aliran konservatif seperti yang terjadi di pesantren Raudlatul Ulum Pandeglang Banten. Keduanya, secara subjektif mempunyai alasan (rasionalisasi) menjadikannya sebagai cara terbaik untuk membuktikan sikap kemandirian (tidak bergantung kepada pihak lain). Perbedaan ini karena ada ruang sempit yang dinamakan istinbath, yaitu suatu proses rasional yang menafsirkan kondisi kekinian yang tidak terjadi pada masa sebelumnya, dan secara eksplisit tidak tertuang dalam kitab suci maupun sunnah nabi.

Dengan demikian studi kasus pada pesantren Sidogiri dan pesantren Cidahu sebagai obyek studi yang pada awalnya sebagai studi kasus untuk kebersinggungan pesantren dengan dinamika sosial eksternal, struktur dan nilai-nilai (etika moral) ekonomi yang ada pada ruang-ruang ekonomi pesantren, dampak pada kelembagaan ekonomi desa, atau pada kelembagaa ekonomi yang lebih luas, dianggap memadai untuk menggambarkan: pola hubungan antara pesantren dengan penguasa /negara yang dapat dielevasi pada skala yang lebih luas yang menunjukkan sikap dan daya tahan (resilience) sebuah organisasi masyarakat sipil. Aktivitas ekonomi dan perumusan ulang pada ruang-ruang sosial pesantren dianalogikan sebagai pembentukan sikap rasional dan kritis melalui proses eksekusi akumulasi pengetahuan dalam praktik sosial. Dalam perspektif sosiologis kasus pesantren Cidahu dan pesantren Sidogiri bisa digunakan untuk menentukan apakah pesantren adalah sebuah organisasi sosial sipil yang memiliki karakter sebagai kelas menengah Indonesia.


(29)

1.8. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian klasik sosiologis mengenai hubungan antara agama dengan ekonomi adalah penelitian Max Weber, yang dibukukan dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Buku tersebut mengemukakan kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat. Di dalam etika protestan upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam buku tersebut dijelaskan pula efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat dan budaya timur. Weber (dalam Keith Tribe 2007) menyimpulkan bahwa agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Tesis utama Weber adalah agama Protestan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi kapitalis (S.P. Turner 2001) dan dominansi kehidupan moderndi Eropa dan Amerika Serikat. Selanjutnya Weber, menyimpulkan bahwa perbedaan religi dan filosofi di Barat dan di Timur

menyebabkan kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur (RH. Robert 2001).

Kesimpulan Weber mengundang berbagai perdebatan dan kritik. Kurt Samuelson (1973), seorang ahli sejarah ekonomi Swedia, menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber, menurutnya dari penelitian sejarah yang ia lakukan tak ditemukan dukungan teori tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme, ia juga menolak konsep korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Menurutnya kapitalisme adalah konsekuensi industrialiasasi dan dorongan ekonomi imperialis akibat penemuan wilayah-wilayah baru yang tidak ada kaitannya dengan etika religius.

Pernyataan Weber yang mengemukakan bahwa ekonomi kapitalis dan modernitas hanya dapat tumbuh di belahan dunia barat adalah sesuatu kesimpulan yang perlu terus dikaji dan dikritisi. Fenomena tumbuhnya negara-negara Industri baru di kawasan Timur dan bergesernya geo ekonomi ke kawasan Asia menunjukkan bahwa kapitalisme, industrialisasi dan modernitas bukan semata-mata akibat dari protestanisme. Samuelson pun perlu dikritisi dengan pandangannya yang terlalu keras yang mengabaikan peran agama dalam kehidupan ekonomi. Temuan-temuan kedua ilmuwan Barat tersebut berbeda dengan kondisi empirik yang terjadi di dunia timur, termasuk Indonesia saat ini. Beberapa Pesantren sebagai lembaga tradisional yang khas timur, menggeliat memasuki aktivitas ekonomi yang modern, hal ini bertolak belakang dari kesimpulan Weber yang mengatakan, bahwa ekonomi modern (ekonomi kapitalis) hanya dapat berkembang di Barat. Demikian pula pernyaataan Samuelson bahwa tidak ada korelasi agama dengan ekonomi, beberapa pesantren menjalankan berbagai aktivitas ekonomi moderen justru dengan nilai-nilai keagamaannya.

Penelitian lain yang sering menjadi rujukan penelitian sosial keagamaan di Indonesia adalah peneltian Clifford Geertz. Geertz telah mengilhami peneliti- peneliti sosial dalam memahami aspek religio-kultural orangJawa. Geertz (1964)


(30)

mengungkapkan tentang adanya trikotomi; abangan, santri dan priyayi di dalam masyarakat Jawa. Menurutnya masing-masing kelompok memiliki penafsiran sendiri-sendiri dalam memaknai kebudayaan untuk kehidupan religinya. Ia juga melakukan analisis hubungan antara agama dan budaya serta hubungan antara agama dan politik. Dalam penelitiannya didapati diskursus interaksi antara agama ~khususnya Islam~ dan budaya di Jawa. Diskursus ini disebutnya sebagai interrelasi ( zainudin 2001). Sekelompok orang Jawa yang disebut sebagai kelas santri digambarkan olehnya sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai level ketaatan yang tinggi dalam beribadah, bersifat puritan, tradisional dan pasif, sementara untuk elite santrinya sendiri berlaku sebagai makelar budaya.

Trikotomi Geertz menimbulkan kritik karena tidak tepat menggunakan istilah priyayi sebagai alat untuk pengelompokkan tingkat ketataan dalam menjalankan agama (Islam)7. Alih-alih sebagai kategori tingkat ketaatan dalam beragama, priyayi lebih merupakan kategori pengelompokkan sosial yang dapat dikontraskan dengan wong cilik, bukan dengan abangan dan santri.8 Pernyataannya yang mengatakan kelas santri bersifat puritan, tradisional dan pasif adalah tantangan tersendiri bagi dunia penelitian tentang Islam di Indonesia. Jika pernyataannya tentang puritan dan tradisional difahami sebagai suatu kondisi imperior atau negatif untuk kemajuan, faham itu adalah tidak tepat. Sikap puritan dan tradisional di beberapa pesantren salafiyah, saat ini terbukti menjadi kelompok-kelompok santri yang progresif baik dalam kegiatan politik maupun ekonomi.

Sekalipun dari pengistilahan terasa kurang tepat, menyebut ulama sebagai pialang budaya (culture broker), namun Geertz mengakui bahwa para

7

Realitas manusia dalam terminologi Islam menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "shobirin" dan seterusnya. Merujuk pada Al Qur'an sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia.Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.Derajat ketaqwaan manusia dalam Islam terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu :Muslim, Mukmin, Muhsin, Mukhlis dan Muttaqin. Tingkatan ini bukan berarti Islam mengkastakan umatnya secara parsial, tetapi membagi berdasarkan derajat ketaqwaannya kepada Allah. Dan derajat itu bisa dicapai oleh siapapun,golonganapapun tanpa membeda-bedakan status sosialnya. Penjelasannya adalah (Muslim), yaitu orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan berjanji melaksanakan syariat Islam dengan baik, mendirikan sholat, melaksanakan ibadah puasa, membayar zakat dan melaksanakan ibadah haji jika mampu.Kedua adalah orang beriman (Mukmin), yaitu orang yang betul-betul beriman kepada Allah dengan segala konsekwensinya. .Ketiga adalah orang yang selalu berbuat baik (Muhsin), yaitu orang yang dalam hidupnya selalu berbuat baik, tidak mau menyakiti hati orang lain, tutur katanya santun – bicaranya selalu dipikir dulu sebelum diucapkan, tidak pernah mau ingkar janji, selalu menebar kasih sesama mahluk Tuhan, dan sekali-kali jauh dari keburukan.Keempat adalah orang yang ikhlas dalam menjalankan agama (Mukhlis), yaitu orang yang mau merelakan jiwanya, hartanya, segala sesuatu yang mereka miliki semata-mata untuk berjuang untuk agama Allah dengan Ikhlas dan hatinya ridha terhadap ketentuan Allah.Untuk mencapai derajat ini tentu harus berusaha ibadah yang super keras.Yang kelima adalah orang yang bertaqwa (Muttaqin), inilah derajat paling tinggi disisi Allah dimana manusia telah menjadi insan kamil – orang yang disayang Allah baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

8

Mark R. Woodward (Dalam Syamsul Arifin) berpendapat sebaliknya. , Islam Jawa, bukan abangan, yang merupakan varian dominan dalam keberagamaan orang Jawa. Temuan dan tesis Mark R. Woodward merupakan hal yang wajar jika menelisik proses islamisasi yang terus berlangsung. Dalam proses yang demikian, perpindahan dari kategori yang satu ke kategori lainnya, misalnya dari abangan ke santri, dimungkinkan terjadi.


(31)

ulama ( kyai) di samping ahli dalam urusan keislaman, juga pakar kebudayaan. Ulama dipandang sebagai orang yang piawai dalam mengartikulasikan unsur-unsur budaya (adab) dan tradisi (tsurats) di masyarakat. Dengan kepiawaian mengartikulasikan budaya maka persoalan-persoalan kekinian seperti modernisasi dan sistem ekonomi moderen bukanlah ruang yang tertutup bagi ulama. Ulama mampu mereproduksi modernisasi dengan adab dan tradisi yang dimilikinya. Demikian dengan ekonomi sebagai cara untuk bagaimana memenuhi kebutuhan hidup, sudah sejak lama menjadi adab dan tsurats pesantren.

Geertz yang mengambil kesimpulan bahwa Ulama adalah berperan sebagai “culture Broker” karena Geertz hanya melihat agama seperti apa yang ada di benaknya yaitu terpisahnya aspek sakral dan profan. Dalam Islam tidak ada pemisahan semacam itu, aktivitas apapun termasuk aktivitas budaya dan politik juga memiliki dimensi keruhanian yang diatur oleh nilai-nilai spiritual. Aktivitas budaya dan politik pun bukan semata-mata kebudayaan dan politik praktis, tetapi merupakan aktivitas keruhanian. Kelemahan Geeertz adalah terlalu etnologi sentris padahal dalam memotret ulama diperlukan pendekatan emik9 yaitu mengambil kesimpulan dengan menggunakan sumber-sumber keilmuan ulama itu sendiri, menyimak hukum fiqih, dalil-dalil naqliah (aturan-aturan kitab suci) yang digunakan ulama sebagai dasar rasionalisasi untuk bertindak.

Kajian terhadap pesantren yang juga dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah penelitian Zamakhsyari Dhofir (1994) yang dibukukan dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Kajian ini memberikan gambaran dunia pesantren dengan pendekatan emik. Dalam kajiannya Dhofir menyebut tiga nama sebagai sasaran kritik yaitu Clifford Geertz, Alan Samson dan Deliar Noer. Dua nama yang disebut pertama dikritik karena melakukan pemahaman tentang ulama dan keagamaan Islam di Jawa dengan tidak berimbang. Menurutnya menyebut pesantren sebagai golongan Islam kolot adalah kesalahan fatal dan sayangnya kesalahan cara pandang peneliti asing tersebut masih sering dirujuk oleh peneliti-peneliti Indonesia saat ini (Dhofier 1994). Kritik lainnya adalah kepada pandangan Deliar Noer10 yang menyetujui pandangan Alan Samson (1973) dan Clifford Geertz yang memposisikan pesantren pada kerangka dikotomik: tradisionalisme dengan modernisme. Menurut Dhofier, pemikiran ulama Islam di Indonesia saat ini sudah sangat maju, mereka tidak lagi hanya berkutat pada pemikiran tasawuf seperti pada abad 13 saat pertama kali pesantren dirintis. Para Ulama pesantren saat ini masuk kepada paradigma epistemic, para ulama telah berpikir secara continuity and change (kesinambungan masa lampau dan perubahan masa kini). Hasil kesimpulan

9

Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan.Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini peneliti) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.Dalam etnografi, peneliti memang diharuskan untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat yang menjadi objeknya untuk periode yang cukup lama. Di sana dia akan mengamati apa yang terjadi, mendengar apa yang dikatakan orang-orang, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data apa pun yang tersedia dan menjelaskan masalah yang menjadi perhatiannya.

10

Pandangan Deliar Noer dapat dibaca pada, Deliar Noer (1978), The Modernist Muslim in Indonesia, 1900-1942. Oxford, New York and Jakarta, Oxford University Press.


(32)

Dhofir adalah bahwa pesantren telah menunjukkan kreativitas dalam merespons perubahan dengan tetap merujuk pada tradisi keilmuan klasik.

Sebagai mana yang dikemukakan Dhofir bahwa pesantren mempunyai kekhasan dalam tradisi keilmuan. Untuk melihat tradisi keilmuan klasik Pesantren, khususnya pada pesantren salafiyah,11 Martin van Bruinessen (1995) melakukan kajian tentang silsilah keilmuan (intellectual geneology) pesantren. Ia melakukan studi kritis atas buku-buku teks yang diajarkan di pesantren-pesantren sejak dua abad terakhir (ke-19 dan 20 M). Buku-buku teks tersebut merupakan kitab klasik yang populer dengan sebutan kitab-kitab kuning. Kitab-kitab klasik ini merupakan basis tradisi keilmuan pesantren. Pengkajian ratusan kitab-kitab klasik oleh para santri yang dibimbing Kyai adalah hal yang sangat moderen untuk ukuran abad awal abad 19. Demikian pula dengan metoda sorogan dan bandongan, Cara-cara mempelajari kitab-kitab klasik tersebut memiliki keunikan dan berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara entitas Islam reformis atau modernis lainnya di Indonesia. Kitab-kitab berbahasa Arab bukan hanya dibaca tetapi juga dicoba untuk dihafal oleh santri atas bimbingan Kyai. Para santri yang mempelajari Kitab-kitab kuning diwajibkan membaca dan menuliskan terjemahan kata per kata pada kitab yang dipegangnya sesuai dengan bahasa yang difahami, biasanya bahasa Jawa atau Sunda, dan ditulis dengan huruf Arab pegon . Cara-cara seperti itu disamping menjaga keaslian kitab, juga akan meresapkan nilai-nilai spiritual yang dibahas dalam kitab-kitab klasik tersebut. Bruinessen menyimpulkan bahwa terdapat vitalitas (vitality) cara-cara tradisional dalam menularkan ilmu pengetahuan (yang ada di dalam kitab-kitab kuning) dari sebuah generasi kepada generasi berikutnya. Bruinessen menolak pelekatan tradisionalisme yang terkesan merendahkan pesantren. Menurutnya pesantren justru sukses membangun tradisi agung (great tradition) dalam memelihara ajaran dan pengajaran agama Islam yang tidak mampu dilakukan oleh entitas-entitas pendidikan moderen sekalipun. Kenyataan ini ironis jika pada masa berikutnya, justru ada upaya modernisasi pendidikan pesantren oleh pemerintah.

Penelitian lain tentang pesantren dilakukan oleh Abdurrahman mas’ud (2004) yang mengambil fokus penelitian pada peran kyai dalam mengembangkan tradisi keilmuan di pesantren. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa kyai merupakan unsur utama di samping pondok, masjid, kitab (kuning/klasik), dan santri dalam pengembangan keilmuan. Mas’ud menemukan adanya kegigihan Kyai dalam merawat tradisi keilmuan klasik12 yang nyaris diabaikan oleh kaum

11

Sistem salafiyah dalam sistem pembelajarannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Menjadikan kitab-kitab kuning klasik sebagai materi pokok dalam kurikulum pesantren; 2) Tidak mengajarkan materi umum seperti pesantren semi modern dan modern; 3) Lulusan dari pesantren ini tidak mendapat ijazah resmi dari pemerintah seperti lulusan madrasah lembaga pendidikan Islam formal; 4) Tidak mengenal batasan waktu pelaksanaan pembelajarannya karena tidak memakai sistem ijazah. Santri akan pulang kalau sudah mendapat izin dari kiai meski yang bersangkutan sudah lulus di madrasah diniyah pesantren tersebut; 5) Karena hanya mempelajari ilmu-ilmu kitab kuning saja, pendidikannya cenderung bersifat akhirat oriented yang dapat dilihat dari peraturan pasantren seperti larangan bersekolah ke sekolah umum; 6) Menjunjung tinggi nilai-nilai agama seperti nilai spiritual beribadah pada Allah, keikhlasan, kesabaran, ketaatan pada kiai dan ustadh, etika dan sopan santun kepada sesama manusia.

12

Salahsatu sumber keilmuan klasik dalam pesantren adalah kitab-kitab kuning yaitu kitab-kitab yang berisi pelajaran-pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah), mulai dari fiqh, aqidah,

akhlaq/tasawuf, tata bahasaarab (`ilmu nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, `ulumul qur'aan, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah). Dikenal juga dengan kitab gundul


(33)

modernis. Tanpa kemampuan merawat tradisi keilmuan klasik, seorang kyai akan kehilangan kharisma. Ketinggian kharisma seorang Kyai pada komunitas pesantren, adalah pada sejauh mana seorang kyai menguasai ilmu-ilmu klasik. Selanjutnya dengan kharisma itulah Kyai memiliki peran sentral untuk menginterpretasi teoritik nilai-nilai keagamaan, maupun mengartikulasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kajian yang menelaah proses dialektika pesantren dengan dunia luar dilakukan oleh Manfred Ziemek (1986)13, Menurutnya, pandangan yang menganggap pesantren tertutup dan mengisolasi didiri (ekslusif) adalah pandangan yang keliru, peran-peran sosial pesantren dalam mengembangkan masyarakat di sekitarnya adalah terbuka dan reformis.

Hiroko Horikoshi (1976) melakukan kajian terhadap peran sosial kyai di pedesaan Jawa Barat. Horikoshi mengkritisi pandangan Geetz tentang pialang budaya, menurutnya kyai tidak memainkan peran sebagai pialang budaya (cultural broker) yang pasif, namun lebih jauh kyai adalah agen perubahan sosial yang aktif. Kyai secara nyata seringkali menggerakkan orang desa untuk melaksanakan keputusannya. Kyai berperan dalam perubahan sosial berkat keunggulan kreativitasnya sesuai dengan kaidah agama (al-muhafadatu ala qadimis shalih wa al-jadidi al-ashlah (memelihara yang baik dari tradisi lama dan mangambil yang lebih baik dari perubahan baru). kyai mendorong pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren membuka diri terhadap dunia luar, namun pesantren tetap berpijak pada kearifan klasiknya. Sehingga dengan kaidah ini, pesantren dapat memelihara ketertiban sosial (sosial order) dan komunitas sosial. Peneltian tentang kepemimipinan pesantren dilakukan oleh Mastuhu (1989), ia melakukan penelitian di enam pesantren besar yang terdapat di Jawa Timur tentang dinamika lembaga pendidikan pesantren. Mastuhu mendapati tipe-tipe kepemimpinan kyai yang bervariasi. Di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep ditemukan pola kepemimpinan kyai dengan ciri paternalistic dan free rein leadership (laissez faire), yang sangat berbeda dengan pola kepemimpinan yang terdapat di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo yang menerapkan tipe kepemimpinan karismatik (spritual leader) dan otoriter-paternalistic. Sebagian dari pola kepemimpinan yang terdapat di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo ternyata juga ditemukan dalam pola kepemimpinan yang terdapat di Blok Agung Banyuwangi, yaitu paternalistic, otoriter, dan laissez-faire. Di Pesantren Tebuireng Jombang ditemukan pola kepemimpinan yang tidak didapati pada tiga pesantren di atas, karena pola kepemimpinan yang diterapkan bersifat partisipatif, meskipun dalam keadaan tertentu dan mendesak terkadang kyai menggunakan cara-cara yang otokratik. Sedangkan tipe kepemimpinan kyai yang terdapat di Pesantren Paciran Tuban merupakan pola kombinasi antara otoriter, paternalistic,

karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya.Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu belajar yang relatif lama. Kitab-kitab tersebut diantaranya Tafsir Thabari, Tafsir Ibnu Katsir.Tafsir al-Jalalain, I`anatuh Thalibin,Fathul Mu`in,Raudlatuth Thalibin, Bidayatul Mujtahid, Fathul Qorib.

13Edisi berbahasa Jerman, berjudul Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel,

Dalam Syamsul Arifin, Pesantren Sebagai Saluran Mobilitas Sosial, Suatu Pengantar Penelitian, Jurnal Salam Volume 13 Nomor 1 Januari - Juni 2010.


(34)

dan birokratik. Kepemimpinan yang terdapat di Pesantren Gontor Ponorogo adalah pola kepemimpinan karismatik dan rasional. Berdasarkan hasil penelitianya, Mastuhu juga memandang pentingnya pesantren mengembangkan pembaruan pemikiran dalam memahami ajaran agama Islam dan mengembangkan wawasan berpikir keilmuan dari lembaga pendidikan nasional, yaitu metode berpikir deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis. Dalam penelitian diitemukan pola kepemimpinan kyai dengan ciri paternalistic dan free rein leadership (laissez faire), pola karismatik (spritual leader) dan otoriter-paternalistic, paternalistic, otoriter, laissez-faire dan partisipatif, otoriter, paternalistik, birokratik, karismatik, dan rasional.

Peneltian tentang pesantren lainnya adalah penelitian Iik Arifin Mansurnoor (1990) yang menyimpulkan bahwa kyai adalah elite keagamaan dan berperan kuat dalam membangun masyarakat religius. Peran ini dilakukan kyai dengan mentransmisikan nilai-nilai religius melalui lembaga pendidikan pesantren dan madrasah di dalam pesantren. Peran ini dilakoni kyai secara terus-menerus dalam waktu yang sangat lama sehingga kyai dan pesantren mendapat pengakuan masyarakat sebagai lembaga pendidikan alternatif di tengah kecenderungan masyarakat modern yang materialistis.

Kajian yang membahas relasi antara kyai dan pesantren dengan politik. dilakukan oleh Mahmud Sujuti (2001), dan Endang Turmudi (2004). Selanjutnya adalah penelitian Jajat Burhanudin (2012) yang menggambarkan upaya para ulama dalam membangun peran dan legitimasi sosio-intelektual dan budaya mereka di Indonesia. Menurutnya Ulama memiliki fondasi kuat, baik secara kultural maupun sosial, yang membuat mereka mampu merespon berbagai perubahan di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 hingga sekarang ini. Pada masa Islam baru muncul sebagai sebuah ideologi politik yang mapan di kerajaan, dan ulama dilembagakan ke dalam kadi dan Syaikhul Islam. Pola hubungan ulama dan raja ini tetap terpelihara hingga panorama politik Nusantara berubah. Jajat Burhanudin (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa dalam konsep politik, ulama mampu menunjukan otoritas politik raja berbasiskan agama.

Penelitian tentang afiliasi agama dengan pertumbuhan ekonomi negara dilakukan oleh Marcus Nolland (2005) yang mengkaji tentang hubungan antara agama dan kinerja ekonomi. Dia Mengemukakan, bahwa hipotesa yang selama ini mengatakan bahwa afiliasi agama tidak mendukung pertumbuhan ekonomi, terbukti ditolak. Sedangkan hubungan antara afiliasi agama dan ekonomi yang terjadi di negara-negara Muslim, menurut Nolland, secara statistik menunjukkan korelasi positif.

Kajian tentang ekonomi pesantren yang terbaru di Indonesia adalah penelitian Shofwan Al Banna Choiruzzad dan Bhakti Eko Nugroho (2013) yaitu kajian tentang peran Ulama dengan pertumbuhan gerakan ekonomi Islam. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa telah terjadi perkembangan sikap dan peran yang dimainkan oleh ulama, baik di MUI maupun ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, dalam pertumbuhan proyek ekonomi Islam di Indonesia. Dalam kajiannya dijelaskan bahwa setelah kontroversi kampanye publik oleh gerakan ekonomi Islam di tahun 1980-an untuk membangun proyek ekonomi Islam (termasuk "Bank Islam" dan pelarangan bunga) pada 1990-an, para pendukung gerakan ekonomi Islam berhasil meyakinkan ulama Islam di MUI (dan ICMI) untuk mendukung pendirian bank


(1)

Peter L. Berger and Thomas Luckmann, Social construction of reality. PENGUIN BOOKS. Published by the Penguin Group Penguin Books Ltd, 27 Wrights Lane, London W8 STZ. England, Penguin First published in the USA 1966.

Peterson Michael L.1991. “Reason And Religious Belief” An Introduction to The Philosophy of Religion, Oxford University Press.

Pigeaud, Th. G.Th, 1967. Literature of Java Catalogue Raisonné of Javanese Mansucripts in the Library of The University of Leiden and OtherPublic Collections in The Netherlands, Vol. I. 1967. The Hague: Martinus Nijhoff.

Piotr Sztompka. 2010 Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta(ID): Prenada.

Poedjawijatna. 2002. Pembimbing Kearah Alam Filsafat, Jakarta(ID): Rineka Cipta.

Prasodjo, Sudjoko, dkk. 1975. Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta(ID): LP3ES.

Puja Mondal.Social Processes: Elements, Classification, Characteristics|, Sociology.http://www.yourarticlelibrary.com/society/social-processes-elements-classification-characteristics-sociology/6203/

Purwadi, 2004. Ensiklopedia kebudayaan Jawa. Yogyakarta(ID): Bina Media. Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and revival of American

Community, New York: Simon and Schuster

Putuhena, M. Shaleh. 2007. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta(ID): LKiS. Qomar Mujamil. 1996. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Insntitusi. Jakarta(ID): Erlangga. QS. Az-Zukhruf [43] ayat 32.

R.H. Roberts. 2001. Religion and Economic Life, International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences Pages 13028-13034.

Raco, J. R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta(ID): PT. Grasindo.

Raihani. 2011. Kepemimpinan Sekolah Transformatif. Yogyakarta(ID): LKiS. Rajendra Kumar Sharma. 2007. Social Change And Social Control. Atlantic

Publishers and Distributors New Delhi.

Randall C. 1980. Weber's Last Theory of Capitalism: A Systematization, American Sociological Review 45(6): 925-942.

Richard S. 1992. The Sociology of Economic Life. (edited with Mark Granovetter) Boulder, Co: Westview Press.

Ricklefs MC. 2005. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Terj. Satrio

Ritzer G, Goodman DJ. 2003. Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan dari judul asli “Modern Sociological Theory” (McGraw-Hill). Jakarta(ID): Kencana-Prenada Media.

Rukiati, Hj. Enung K. dan Fenti Hikmawati. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung(ID): Pustaka Setia.

Saifullah M. 1998. Karisma Ulama’, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung(ID). Mizan.

Salim A. 2000. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba dan Penerapannya. Yogyakarta(ID): PT. Tiara Wacana.


(2)

Samson, Allan, 1972. Islam and Politics in Indonesia [disertasi]. University of California,

Samsul Nizar, 2008, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta(ID), Kencana.

Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jilid 2. Jakarta(ID): Gramedia.

Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Sendi-sendi perjuangan TNI-AD, Dinas Sejarah Militer tentara nasional Indonesia Angkatan Darat, 1979.

Seta Basri ,Proses Pembentukan Masyarakat Dan Perubahan Masyarakat Menurut

Lenski Marx Weber Dan Durkheim

Http://Setabasri01.Blogspot.Com/2012/04/Proses-Pembentukan-Masyarakat-Dan.Html.

Shihab A. 1998. Membendung Arus Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung(ID): Mizan.

Shofwan Al Banna Choiruzzad ,Bhakti Eko Nugroho, Indonesia's Islamic Economy Project and the Islamic Scholars. Procedia Environmental Sciences 17: 957–966.

Sholehuddin . Lentera Pendidikan, Vol. 15 No. 2 Desember 2012: 221-230. Simmel, Georg, 1950, The Sociology of Georg Simmel, Compiled and translated

by Kurt Wolff, Glencoe. IL: Free Press.

Siti Maryam. 2002. Sejarah Peradaban Islam : dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta(ID) : LESFI.

Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan, Bogor(ID): Kelompok Dukumentasi Ilmu Sosial.

Slamet M. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Munculnya Negara Islam Nusantara. Yogyakarta. LKIS .

Slamet Untung .Moh., 2013. Forum Tarbiyah Vol.11 No 1 Juni 2013 Soedjito S. 1968. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Soeri S. Sejarah Kerajinan di Indonesia. Prisma, 18 Agustus 1983. Sosial, Terj. Misbah Zulfa Ellizabet. Yogyakarta(ID): Tiara Wacana.

Sri H. 2008. El.Tarbawi. Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, 1( I).

Stake RE. 2011. “Studi Kasus Kualitatif”, dalam Norman K. Denzin & Yvanna S. Lincoln, “The Sage Handbook of Qualitative Research”, (Penj. Dariyatno), Pustaka pelajar Yogyakarta.

Stanley A. The Ignored Philosopher and Social Theorist: The Work of Henri Lefebvre , in: Situations, vol. 2, no. 1, pp. 133–155

Steebrink, Karel A. 1994. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. terjemahan Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman. Jakarta(ID): LP3ES.

Steenbrink, Karl A. 1994. Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam kurikulum Modern. Jakarta(ID): LP3ES.

Stephen Kalberg, Max Weber's Types of Rationality: Cornerstones for the Analysis of Rationalization Processes in History' American Journal of Sociology,Vol.85, No5, Mar. 1980.

Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung(ID). Alfabeta. Suhartono, 2001. Sejarah Pergerakan Naasional, Yogyakarta(ID): Pustaka


(3)

Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara danMasyarakat. Yogyakarta(ID): Galang Press.

Sunatra. 2002. “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, dalam Disertasi Pada Program Pascasarjana. Bandung(ID): Universitas Padjadjaran..

Suparto. 1987. Sosiologi dan Antropologi. Bandung(ID): CV ARMICO.

Suprayago. 1997. Imam, Kyai dan Politik di Pedesaan (suatu kajian tentang Variasi dan bentuk Keterlibatan Politik Kyai) [Desertasi]. Universitas Airlangga.

Supriadin. 2014. Politik Pendidikan Islam Di Indonesia: Analisis Sistem Pendidikan Pesantren dan Madrasah, El- HiKMAH, 8(2).

Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pada tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, didalamnya tertuang tentang Ijazah.

Suryanegara, Ahmad M. 1996. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandun(ID)g: Mizan.

Suryasumantri. Jujun S, 2010. Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta(ID): Penerbit pustaka Jaya.

Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta(ID): Rineka Cipta.

Sutarmo, Manajemen Pembiayaan Berbasis Madrasah, http2014/11/manajemen-pembiayaan-berbasis-madrasah.html.

Sutopo S, 1988. Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat: karya dan pengabdiannya/ Jakarta, Perpustakaan UI.

Swasono (ed.). 1987. Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di

Syamsul A, 2010. Pesantren Sebagai Saluran Mobilitas Sosial, Suatu Pengantar Penelitian, Jurnal Salam Volume 13 Nomor 1 Januari - Juni 2010.

Sztompka, 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta(ID): Prenada.

T. Parsons “ 1977 on Building Social system Theory. A Personal History, Social System and the Evolution of Action Theory. New York. Free Press.

Takashi S. 1997. Zaman Bergerak; Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912-Tantangan Baru. Jakarta(ID): LP3ES.

Tempo, 14 November 1981, “Bertanya-tanya tentang Jumlah Korban Komando Jihad”.

Thomas E. Harris (Ph. D.) 1993. Applied organizational communication: perspectives, principles, and pragmatics.Business & Economics - Lawrence Erlbaum Associates, Jan 1, 1993.

Tilaar HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta(ID): KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Toto S. 2012. Pendidikan Berbasis Masyarakat : Relasi masyarakat dan Negara dalam pendidikan, Lkis.

Tridiana A. 2014. Studi Kasus Pola Interaksi Masyarakat Pesisir Situbondo, Universitas Negeri Malang.


(4)

Turner SP. 2001. Weber, Max (1864–1920).International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences..

Tuty A. 1999. Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, Bandung(ID): Mizan,.

Ummi MHsb, di dalam makalahnya, Lembaga- Lembaga Pendidikan Islam Era Awal: Rumah, Kuttab, Mesjid, Shoolunat dan Madrasah, 2011, hlm. 11

yang diadd- nya melalui website

http//infolepas.blogspot.com/2006/05/eksistensidanperkembanganlembaga .html (21 April 2011).

Van Der Kroef. J.M. 1954. Indonesia in The Modern World. Bandung(ID):Masa Baru.

W. Bakhtiar. 1990. Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat. Bandung: Balai Penelitian IAIN Sunan Gunung Jati.

wahab R. (2004). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung(ID): Alfabeta.

Weber Max. 2012. Sosiologi Agama, diterjemahkan dari buku The Sociology of religion, oleh Yudi santoso. IRCiSoD.

Wertheim WF. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi . Yogyakarta(ID): PT. Tiara wacana.

Woodward M .1999. Islam Jawa: kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta(ID): Lkis,

Yoyok R, 2010. Pesantren Dan Ekonomi” (Kajian Pemberdayaan Ekonomi Pesantren Darul Falah Bendo Mungal Krian Sidoarjo Jawa Timur ), Confrence Proceedings. Annual International Confrence on Islamic Studies (AICIS) XII. Hal. 1182.

Yudi Latif . Pengantar Prof. James.2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20 , Jakarta. Project Democracy.

Yusdani dan Tim Peneliti. 2013. Konstruksi Sosial Tata Ruang Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Surakarta, TAPIS Vol.XIII, 01 Januari 2013. Zamakhsari D.1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.

Jakarta:LP3ES.

Ziemek M. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. terjemahan Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M.

Zuhairini. 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta(ID): Bumi Aksara.

Zuhri, KH. Saifudin. 2001. Guruku Orang-orang dari Pesantren.Yogyakarta(ID): LKiS.


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Yudha Heryawan Asnawi

Lahir di Bogor pada hari Jumat, tanggal 10 Oktober 1969, sebagai anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara pasangan Alm. H. Sachrul Asnawi dan Alm.Hj. Sinnah Nurnani.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1982 di SD Negeri Centre Ciriung II Cibinong Bogor. Pada tahun 1985 lulus dari SMP Negeri 1 Cibinong Bogor. Lulus SMA Negeri 1 Kota Bogor pada tahun 1988.

Pada Bulan Juli 1988 penulis diterima di Program Studi Sosiologi Fakultas Hukum Universitas Negeri Jenderal Soedirman Purwokerto dan lulus sebagai sarjana Sosial Politik (Drs) pada bulan April 1992. Tahun 2000 mengikuti studi pada Program Magister Manajemen Agribisnis (MMA) Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahum 2002. Tahun 2012 mengikuti Program Doktoral (S3) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis pernah bekerja di beberapa perusahaan pengembang pemukiman, pertanian dan jasa konsultan. Terhitung tahun 2002, penulis memasuki dunia pendidikan sebagai peneliti dan pengajar di Program Pasca Sarjana manajemen dan Bisnis IPB.

Pada tanggal 27 September 1993 Menikah dengan Darwanti dan dikarunia tiga orang putri, Dekrit Pakuannisa, Aqira Pakuanzahra dan Aini Adha Pakuan Syahida.

Bagian-bagian dari Disertasi ini sudah di publikasikan pada Jurnal ilmiah nasional maupun internasional, yaitu pada: Jurnal Sodality : Jurnal Sosiologi Pedesaan Volume 4, Nomor 1, April 2016, dengan Judul Katabolisme Ruang dan Utilisasi Komunitas Sebagai Strategi Kebertahanan Pesantren dan Journal of Research on Humanities and Social Sciences, published by IISTE, Vol 6 No 8, 2016. Dengan judul Values and Tradition Inheritance in The Pesantren.