Latar belakang masalah PENDAHULUAN
serta menjalankan kebaikan. Selain itu kandungan ayat diatas menjelaskan anjuran kerja sama yang baik bagi umat Islam untuk sama-sama berperan dalam
menjalankan ketauhidan. Begitu juga sebagaimana yang disebutkan dalam Al- Qur`an Surat An-Nisa ayat 124 :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. ” Q.S An-Nisa : 124
Tidak ada batasan dalam ketaatan, serta anjuran dalam menegakkan amar ma`ruf nahi munkar, semua itu ada balasan serta ganjaran disisi Allah SWT.
Kesemuanya baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk beramal sholeh, berprilaku baik serta mampu mengajak yang lainnya dalam kebajikan.
Sebagaimana yang yang dikemukakan Jajat Burhanudin dalam bukunya “
Ulama Perempuan Indonesia ” mengatakan ;
”Hingga saat ini, istilah “ ulama “ yang dipahami muslim Indonesia mengacu pada mereka yang berjenis kelamin laki-laki, secara sosial-
keagamaan menguasai kitab kuning, dan memimpin pesantren. Kajian para sarjana tentang ulama juga membuktikan demikian, nama tokoh laki-laki
senantiasa menghiasi lembaran karya para sarjana tentang ulama. Oleh
karena itu ketika istilah “ ulama perempuan “ dimunculkan, perdebatan untuk tidak menyebut kontrofersi sempat berkembang meski dikalangan
terbatas. Pengetahuan kami dan juga orang lain tentang ulama, dan kedekatan kami dengan perempuan, nampaknya tidak membuat kami
akrab dengan istilah “ ulama perempuan “. Istilah tersebut tetap asing, bahkan bagi mereka yang terlibat dalam wacana sosial-intelektual Islam
Indonesia. ”
3
3
Jajat Burhanudin ed., Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 , Hal.vii.
Kaum perempuan di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk berkiprah dalam berbagai bidang, termasuk di ranah keulamaan dan keilmuan.
Perempuan muslim tidak hanya bebas untuk memperoleh pendidikan baik formal maupun non formal tetapi juga untuk tampil di ruang publik. Tentunya hal ini
tidak mudah untuk diaplikasikan karena kita harus merubah pola pikir masyarakat dalam memandang peran perempuan selama ini yang selalu dibatasi dalam
pergerakannya terutama dalam hal pendidikan, dan peran selama ini. Tidak mengherankan memang hal ini bisa terjadi terutama dikalangan umat beragama
Islam, yang menyatakan bahwa peran wanita terutama yang sudah berkeluarga sangatlah sempit dan banyaknya rambu-rambu yang harus ditaati.
Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi tentang Islam dan Hak-hak Perempuan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada
pemberdayaan perempuan dalam perpektif Islam.
4
Awalnya Rahima merupakan sebuah divisi bernama Fiqh an-Nisa FN yang bernaung dibawah Perhimpunan
Pengembangan Pesantren P3M. Rekan kerja FN yang utama selama masa kerja enam tahun sejak 1994-2000 adalah pesantren, lembaga keagamaan tradisional
yang berpengaruh dalam masyarakat Indonesia. Rahima didirikan untuk merespon kebutuhan informasi mengenai gender dan
Islam. Rahima berdiri pada tanggal 5 Agustus 2000 dan keberadaannya disahkan oleh Notaris pada tanggal 11 September 2000 di Jakarta. Lembaga ini memulai
aktivitasnya pada bulan Pebruari 2001.
5
Rahima itu sendiri telah menyatakan sebagai organisasi yang kegiatnnya berpusat pada pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam islam.
Yang mengaharuskan rahima memiliki kerangka pandang yang jelas dan mempunyai tempat berpijak yang kokoh untuk mengembangkan program-
programnya. Oleh karena itu ia perlu melakukan dekonstruksi terhadap wacana keagamaan yang bias gender, atau fiqh klasik yang patriarkhal dan
4
www.rahima.or.id April 2014
5
Swara Rahima , No I, Thn I, Mei 2001, Hal.3
mengembangkannya menjadi fiqh yang bersifat egaliter.
6
Tentunya ini merupakan langkah positif bagi perempuan khususnya karena rahima yang merupakan salah
satu organisasi non-pemerintah yang selalu memperjuangkan hak-hak keadilan setiap perempuan.
Pada awalnya Rahima berfokus pada pendidikan kritis dan penyebaran informasi tentang hak-hak perempuan di lingkungan pesantren. Kemudian karena
tuntutan kebutuhan masyarakat , Rahima memperluas jangkauannya pada berbagai kelompok di luar pesantren seperti pada madrasah, para guru di lingkup
sekolah agama maupun guru agama Islam di sekolah negeri, majelis ta’lim, organisasi perempuan muslim, organisasi kemahasiwaan, dan berbagai LSM.
Sementara itu, selain memperluas jangkauan kegiatan, rahima pun telah mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang
bersifat kesetaran
dalam memperjuangkan gender, dan salah satu program kegitan yang sangat bagus dan
sedikit mengundang kontroversial dikalangan para ulama konservatif adalah pengkaderan ulama perempuan. Oleh sebab itu, disini penulis akan menggali lebih
jauh bagaimana peran yang di canangkan lembaga Rahima terhadap Pengkaderan Ulama Perempuan, serta aktivitas apa saja yang dilakukan lembaga Rahima agar
hal tersebut tercapai. Dengan maksud tersebut penulis mengajukan skripsi yang berjudul “ PERAN LEMBAGA RAHIMA TERHADAP KADERISASI ULAMA
PEREMPUAN ”