78 amilosa, kadar gula pereduksi dan kadar pati resisten, digunakan sebagai para-
meter untuk memilih kondisi terbaik.
4.2.1.1. Penentuan Suhu Pemanasan Awal
Suspensi pati bersifat tidak larut dalam air sebelum dilakukan proses gelatinisasi, sehingga granula pati berangsur-angsur mengendap bila didiamkan.
Pengendapan granula pati ini terjadi pada saat suspensi pati garut dilakukan proses autoclaving. Karena granula pati terkumpul dan mengendap di bagian
bawah suspensi, maka pasta pati yang dihasilkan tidak seragam dan terjadi pemi-
sahan bagian pasta pati dan air Gambar 27. Pasta pati yang dihasilkan menjadi
sulit untuk ditangani saat pengeringan, sehingga tidak dapat diperoleh pati hasil modifikasi tidak dianalisis lebih lanjut.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pati garut mengalami gelatinisasi pada suhu 76,3
o
C Tabel 7. Pati garut yang tergelatinisasi ini bersifat larut dalam air
dan tidak mengalami pengendapan. Dalam penelitian tahap II ini, pati dilakukan pemanasan awal di atas suhu gelatinisasinya 80
o
C dan 90
o
C selama 5 menit, kemudian dilakukan proses siklus autoclaving-cooling pada suhu 121
o
C selama 15 menit. Pasta pati yang dihasilkan dengan cara tersebut lebih seragam dan tidak
mengalami pengendapan Gambar 28. Pasta pati yang dihasilkan selanjutnya
dikeringkan dan dianalisis nilai kadar amilosa, daya cerna pati in vitro, gula pereduksi dan pati resistennya.
a Kadar amilosa
Gambar 29 memperlihatkan kadar amilosa pati garut alami sebesar
24,64. Proses pemanasan awal pada suhu 80
o
C dan 90
o
C meningkatkan secara nyata kadar amilosa, yaitu secara berturut-turut sebesar 30,37 dan 30,54.
Namun, hasil uji beda nyata menujukkan bahwa kadar amilosa antara pati yang diberi pemanasan awal pada 80
o
C dan 90
o
C tidak berbeda nyata p0,05. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar amilosa pada pati garut yang diberi perla-
kuan pemanasan awal dibandingkan dengan pati garut alaminya lebih disebabkan oleh perlakuan autoclaving-cooling. Di samping berasal dari amilosa yang ada,
peningkatan kadar amilosa disebabkan oleh adanya pembentukan molekul ami- losa baru yang lebih pendek dari hasil depolimerisasi amilosa dan amilopektin
79
Gambar 27. Pati garut yang diotoklaf tanpa proses pemanasan
awal pasta pati tidak seragam dan mengendap
Gambar 28. Pati garut yang diotoklaf dengan proses pemanasan awal
pasta pati seragam dan tidak terbentuk endapan akibat pemanasan suhu tinggi. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis dengan Gel
Permeation Chromatography GPC yang dibahas lebih lengkap pada sub-bab
4.3.4.1. Peningkatan kadar amilosa sebagai akibat perlakuan pemanasan awal dan
siklus autoclaving-cooling ini diharapkan, karena peningkatan kadar amilosa dapat meningkatkan peluang pembentukan ikatan hidrogen yang lebih mudah
pada saat pendinginan, sehingga lebih banyak pati yang dapat teretrogradasi. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan yang dilaporkan oleh Mujoo dan Ali 1999,
Leong et al. 2007, Mutungi et al. 2009 dan Otzurk et al. 2009.
80
Gambar 29 . Perubahan kadar amilosa pati garut sebagai akibat pengaruh
suhu pemanasan awal sebelum proses siklus autoclaving- cooling.
Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata
α=0,05
b Daya cerna pati in vitro
Gambar 30 menunjukkan pengaruh suhu pemanasan awal terhadap daya
cerna pati garut. Pati garut alami yang tidak mengalami perlakuan apapun, baik pemanasan awal maupun proses autoclaving-cooling, memiliki nilai daya cerna
sebesar 84,35. Perlakuan pemanasan awal menyebabkan penurunan daya cerna pati secara tajam dibandingkan pati garut alaminya, yaitu menjadi 46,07 pada
suhu 80
o
C dan 44,65 pada suhu 90
o
C. Hasil uji beda nyata menunjukkan tidak ada perbedaan p0,05 nilai daya cerna pati garut antara yang diberi pemanasan
awal pada suhu 80
o
C dan 90
o
C. Penurunan daya cerna pati garut setelah proses pemanasan awal dan dilan-
jutkan dengan siklus autoclaving-cooling berkaitan dengan peningkatan jumlah amilosa yang terbentuk sebagai akibat proses autoclaving-cooling sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Dengan meningkatnya jumlah amilosa yang terbentuk dari hasil depolimerisasi amilosa dan amilopektin, maka peluang terbentuknya pati
yang teretrogradasi lebih besar dan berakibat pada penurunan daya cerna pati garut.
24,64
b
30,37
a
30,54
a
5 10
15 20
25 30
35
Pati alami 80
90
Amilosa
Perlakuan Pemanasan Awal
o
C
81
Gambar 30 . Daya cerna pati garut sebagai akibat pengaruh suhu pema-
nasan awal sebelum proses siklus autoclaving-cooling. Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda
menyatakan berbeda nyata α=0,05
c Kadar gula pereduksi
Pati garut alami memiliki kadar gula pereduksi yang relatif rendah, yaitu
4,96 Gambar 31. Perlakuan pemanasan awal yang dilanjutkan dengan siklus
autoclaving-cooling dapat meningkatkan kadar gula pereduksi pati garut menjadi
6,08 pada suhu 80
o
C dan 7,01 pada suhu 90
o
C. Hasil uji beda nyata menun- jukkan perubahan kadar gula pereduksi pada suhu pemanasan 80
o
C dan 90
o
C berbeda nyata p0,05, walaupun peningkatannya tidak terlalu besar. Pening-
katan gula pereduksi dari pati garut dari proses tersebut lebih dipengaruhi oleh proses siklus autoclaving-cooling. Peningkatan gula pereduksi ini berkaitan
dengan peningkatan kadar amilosa rantai pendek yang terukur sebagai gula pere- duksi. Peningkatan jumlah amilosa rantai pendek tersebut meningkatkan jumlah
ujung reduksi reducing end yang terukur sebagai gula pereduksi.
84,35
a
46,07
b
44,65
b
20 40
60 80
100
Pati Alami 80
90
Day a
Cerna Pati
Pemanasan Awal
o
C
82
Gambar 31 . Perubahan kadar gula pereduksi pati garut sebagai akibat
pengaruh suhu pemanasan awal sebelum proses siklus auto- claving-cooling.
Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata
α=0,05
d Kadar pati resisten Gambar 32
memperlihatkan kadar pati resisten dari pati garut alami diban- dingkan dengan pati garut yang telah diberi perlakuan pemanasan awal. Di
samping itu, ditambahkan kadar pati resisten komersial Novelose 330. Pati resisten pati garut meningkat tajam dari 2,12 menjadi 11,71 untuk pemanasan
awal 80
o
C dan 12,44 untuk pemanasan awal 90
o
C. Hasil uji beda nyata menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05 antara perlakuan pemanasan awal
80
o
C dan 90
o
C, namun peningkatannya tidak terlalu besar. Hal ini pun menun- jukkan bahwa perubahan kadar pati resisten lebih banyak dipengaruhi oleh perla-
kuan siklus autoclaving-cooling. Hasil ini bersesuaian dengan peningkatan kadar amilosa dan kadar gula pereduksi serta penurunan daya cerna pati sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Kadar pati resisten yang diperoleh dari perlakuan pema- nasan awal dan autoclaving-cooling masih jauh lebih rendah dibandingkan pati
resisten komersial Novelose 330, yaitu sebesar 42,68. Novelose 330 merupa- kan pati jagung kaya amilosa yang terhidrolisis retrograded hydrolysed high
amylose corn starches . Proses hidrolisis pati jagung kaya amilosa akan meng-
hasilkan fraksi berbobot molekul rendah dengan panjang rantai α-1,4-D-glukan
4,96
c
6,08
b
7,01
a
2 4
6 8
Pati Alami 80
90
Gula Pereduksi
Pemanasan Awal
o
C
83 antara 10-40 unit anhidroglukosa sehingga pada saat retrogradasi akan dihasilkan
peningkatan RS3 yang cukup tinggi Jacobash et al. 2006
Gambar 32 . Perubahan kadar pati resisten pati garut sebagai akibat penga-
ruh suhu pemanasan awal sebelum proses siklus autoclaving- cooling
. Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata
α=0,05 Berdasarkan hasil analisis kadar amilosa, daya cerna pati in vitro, kadar gula
pereduksi dan kadar pati resisten sebagaimana dijelaskan di atas, maka pemanasan awal suspensi pati garut pada suhu 80
o
C selama 5 menit sebelum proses auto- claving-cooling
sudah memadai untuk menggelatinisasi pati dan menghasilkan pasta pati yang homogen, sehingga perlakuan tersebut dipilih pada tahap peneli-
tian selanjutnya.
4.2.1.2. Penentuan Waktu Autoclaving dan Jumlah Siklus Autoclaving-