13 amilase dan pullulanase. Kedua jenis enzim tersebut dapat memutus secara spesi-
fik ikatan-ikatan glikosidik α-1,6 sehingga membentuk struktur linear amilosa
rantai pendek Morell et al. 1998.
Tabel 3 memperlihatkan distribusi panjang rantai amilopektin dari beberapa
sumber pati yang dianalisis dengan menggunakan FACE Srichuwong et al. 2005a. Terlihat bahwa sumber pati yang berbeda memiliki distribusi rantai amilo-
pektin yang berbeda. Dibandingkan jenis pati lainnya, pati garut memiliki distri- busi panjang rantai amilopektin pada DP 6-8 paling sedikit 4,0. Distribusi
rantai amilopektin pati garut yang terbesar berada pada kisaran DP 9-30 96,0. Tabel 3. Distribusi panjang rantai amilopektin
1
Sumber Pati Nisbah
APC
2
Distribusi Panjang Rantai DP 6-8
DP 9-12 DP 13-24
DP 25-30
Tipe A Ubi jalar
0,419 11,0
27,9 54,1
7,0 Garut 0,352
4,0 27,7
58,4 9,9
Sagu 0,397 9,0
28,1 56,2
6,7 Talas 0,388
7,4 28,9
57,3 6,4
Singkong 0,489 9,9
36,3 48,3
5,5 Jagung 0,392
5,1 31,4
56,7 6,8
Beras 0,449 8,0
34,5 52,1
5,4 Tipe B
Ganyong 0,312 7,2
21,5 63,4
7,9 Kentang 0,364
10,2 23,5
58,9 7,4
Tipe C Lesser yam
0,394 11,6 24,9 56,2 7,3
1
Srichuwong et al. 2005a
2
Nisbah APC Amylopectin unit-chain merupakan nisbah relatif molar distribusi amilo- pektin dengan DP 6-12 terhadap DP 6-24.
2.3. Model Struktur Granula Pati
Buleon et al. 1998 membagi struktur granula pati menjadi daerah kristalin
dan daerah amorf Gambar 4. Daerah kristalin disusun oleh rantai pendek dari
amilopektin dalam bentuk klaster. Menurut Oostergetel dan van Bruggen 1993,
daerah kristalin pada granula pati membentuk struktur superheliks Gambar 5.
Daerah amorf merupakan daerah titik-titik percabangan dalam rantai amilopektin terbentuk dan daerah dimana molekul amilosa umumnya berada. Menurut Liu
14 2005, ikatan hidrogen yang menghubungkan antar molekul amilosa dan atau
amilopektin di daerah kristalin lebih kuat dibandingkan dengan di daerah amorf.
Gambar 4. Model daerah amorf dan kristalin dari granula pati Buleon et al.
1998
Gambar 5. Model superhelix daerah kristalin yang terbentuk dari amilopektin
Oostergetel dan van Bruggen 1993
15 Teknik pelabelan dengan fluorofor dapat digunakan untuk menganalisis
struktur amilosa Hanashiro dan Takeda 1998 dan amilopektin Morell et al. 1998; Edwards et al. 1999; Hanashiro et al. 2002; Nakamura et al. 2002. Distri-
busi panjang rantai amilosa dan amilopektin dapat dilakukan dengan teknik pela- belan pada rantai tersebut dengan menggunakan metode Size-exclusion Chromato-
graphic SEC Hanashiro dan Takeda, 1998; Hanashiro et al. 2002 atau elektro-
foresis dengan detektor Laser-induced Fluorescence Morell et al. 1998. Distri- busi panjang rantai glukan berdasarkan satuan molar dapat dilakukan dengan
menggunakan metode Fluorophore-Assisted Capillary Electrophoresis FACE
yang merupakan jenis instrumen DNA squencer. Metode analisis lain yang dapat digunakan untuk menganalisis panjang rantai glukan adalah High Performance
Anion Exchanger Chromatography –Pulse Amperometric Detection HPAEC-
PAD Schmiedl et al. 2000; Lehmann et al. 2002. Menurut Morell et al. 1998, panjang rantai glukan dengan derajat polime-
risasi DP 6-30 dapat dianalisis dengan menggunakan FACE. Pati dihidrolisis dengan menggunakan enzim isoamilase dan dilabel dengan senyawa 8-amino-
1,3,6-pyrenetrisulfonic acid APTS yang berfungsi untuk menderivatisasi gula
pereduksi pada rantai glukan dan APTS membentuk kompleks dengan rantai glu- kan sehingga membentuk senyawa kromofor atau fluorofor yang dapat terdeteksi
oleh FACE O’Shea et al. 1998; Edwards et al. 1999 Gambar 6. Metode
FACE banyak digunakan untuk menganalisis derajat polimerisasi dari pati dan umumnya digunakan untuk menentukan panjang rantai amilopektin dengan DP 6-
30. Srichuwong et al. 2005a telah melakukan analisis DP amilopektin pada 15 jenis pati baik dengan menggunakan FACE maupun dengan HPAEC-PAD.
Metode FACE juga digunakan oleh Singh et al. 2008 untuk melihat DP amilo- pektin pada kentang dan pati mangga serta pisang Espinosa-Solis et al. 2009.
Metode HPAEC-PAD sudah banyak digunakan di antara pada pati RS3 dari pati pisang Lehmann et al. 2002, kacang merah Lehmann et al. 2003 dan pati beras
Shu et al. 2007. Donald et al. 1997 mengilustrasikan daerah amorf dan daerah semi-kris-
talin pada granula pati dengan bagian tengahnya merupakan hilum sebagai titik
pertumbuhan Gambar 7. Daerah amorf dan daerah semi-kristalin digambarkan
16
Gambar 6. APTS, derivatisasi gugus pereduksi karbohidrat A dan
pelabelan amilopektin dengan APTS B penentuan distri- busi panjang rantai amilopektin dengan FACE Srichu-
wong 2006
A
λ
ex
488 nm λ
em
520 nm
A A
λ
ex
488 nm λ
em
520 nm
17 berselang-seling. Struktur tersebut digambarkan seperti cincin yang berlapis-lapis
yang dimulai dari hilum ke arah luar secara radial. Daerah semi-kristalin tersusun oleh lamella amorf dan lamella kristalin, sedangkan daerah amorf sebagian besar
tersusun oleh amilosa dan ikatan antar klaster. Ukuran satu lamella amorf dan satu lamella kristalin berkisar 9-10 nm, sedangkan satu lamella kristalin berkisar 5-6
nm. Perbedaan istilah dikemukakan oleh Gallant et al. 1997 yang membagi
granula pati menjadi daerah kristalin dan semi-kristalin. Daerah kristalin menurut Gallant et al. 1997 sama dengan daerah semi-kristalin, sedangkan daerah semi-
kristalin sama dengan daerah amorf. Seluruh jenis granula pati, termasuk granula pati garut, memiliki daerah kristalin dan amorf sebagaimana dijelaskan di atas.
Gambar 7. Model struktur granula pati Donald et al. 1997. A Daerah kris- talin; B lamella amorf dan lamella kristalin; C Struktur double
helix dari rantai amilopektin yang berdekatan membentuk lamella
kristalin Model granula pati yang lain menurut Gallant et al. 1997 adalah berbentuk
“Blocklets” Gambar 8. Daerah lamella kristalin-amorf disusun dalam bentuk
spherical blocklets yang merupakan hasil pengamatan dengan menggunakan
Atomic Force Microscopy AFM pada permukaan pati kentang dan gandum.
Berdasarkan pengukuran menggunakan instrumen difraksi sinar X, pati alami diketahui memiliki derajat kristalinitas sebesar 15-45,0 Zobel 1988. Kristalini-
tas granula pati dapat diamati dengan menggunakan metode difraksi sinar X Pomeranz dan Meloan 2000.
Puncak intensitas dari difraksi sinar X berhubungan dengan jumlah daerah kristalin di dalam granula pati Cullity 1978; Stute 1992.
Dengan menggunakan difraksi sinar X, Zobel 1988 membedakan daerah semi-
18
kristalin pati menjadi tipe A, B, C dan V Gambar 9. Kristalin tipe A umumnya
ditemukan pada pati yang berasal dari serealia, seperti beras, gandum, dan jagung. Kristalin tipe B banyak ditemukan pada pati yang berasal dari umbi-umbian,
amilomaize dan pati yang teretrogradasi. Kristalin tipe C yang merupakan gabungan antara tipe A dan B biasanya terdapat pada pati biji-bijian. Kristalin tipe
V terjadi apabila amilosa membentuk kompleks dengan senyawa lain, seperti lemak. Pola difraksi sinar X tersebut dapat berubah oleh pemanasan, misalnya pati
kentang dengan tipe B dapat berubah menjadi tipe A atau C dengan perlakuan Heat Moisture Treatment
HMT Liu 1997. Beberapa peneliti menggunakan difraksi sinar X dalam mengkarakterisasi
perubahan struktur kristal dari pati Stute 1992; Hoover dan Vasanthan 1994a dan 1994b. Stute 1992 menemukan bahwa perlakuan modifikasi Heat Moisture
Treatment HMT pati kentang mengubah kristalinitas pati dari tipe B menjadi
tipe A. Hoover dan Vasanthan 1994a menemukan bahwa modifikasi dengan annealing
juga mengubah kristalinitas pati non-sereal dari kristalin tipe B menjadi campuran kristalin tipe A dan B.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bagian non-kristalin dari granula pati
disebut dengan amorf. Berdasarkan model klaster amilopektin Gambar 7,
daerah percabangan amilopektin merupakan daerah amorf. Molekul amilosa juga berada sebagian besar di daerah amorf tersebut dan dapat berinteraksi dengan
rantai amilopektin. Berbeda dengan daerah kristalin, daerah amorf tidak menun- jukkan pola difraksi sinar X Zobel 1992. Daerah amorf ini mudah mengalami
reaksi kimia, misalnya dihidrolisis oleh asam atau bereaksi dengan suatu gugus fungsional. Daerah amorf merupakan bagian yang dapat mengembang dalam
proses gelatinisasi pati Liu 2005. Distribusi daerah kristalin dan amorf dari pati telah didekati melalui hidro-
lisis asam. Hidrolisis oleh asam, terutama di awal proses, terjadi secara cepat pada daerah amorf yang mengandung titik percabangan
α-1,6 dari molekul amilo- pektin dan sebagian besar amilosa. Selanjutnya, proses hidrolisis terjadi secara
lambat di daerah kristalin. Kristalilitas granula pati dapat ditentukan dengan menggunakan pemisahan dan integrasi kurva di bawah puncak daerah kristalin
dan daerah amorf dari pola difraksi sinar X. Derajat kristalinitas bervariasi dari
19
Gambar 8. Struktur granula pati berdasarkan model “Blocklet” Gallant
et al. 1997
Gambar 9. Profil kristal pati hasil pengukuran dengan difraksi
sinar X Buleon et al. 1998
20
15-45,0 Tabel 4, tergantung pada sumber pati dan metode penghitungannya.
Kristalinitas pati juga sangat dipengaruhi oleh kadar air dari granula. Kristalinitas pati tipe A dipengaruhi oleh kadar amilosa. Pada pati tipe B yang memiliki kadar
amilosa yang cukup tinggi seperti amilomaize, derajat kristalinitasnya lebih kecil dibandingkan dengan pati jenis lain pada tipe yang sama ganyong dan
kentang. Untuk pati tipe C, derajat kristalinitas tidak menunjukkan pola yang sistematis Zobel 1988 dan Tang et al. 2001.
Tabel 4. Kristalinitas pati tipe A, B dan C pada kandungan ami- losa yang berbeda
1
Pati Kristalinitas
Amilosa
Struktur Pati Tipe A Barley 22-27
22-27 Gandum 36
23 Beras ketan
37 -
Sorgum 37 25
Beras 38 17
Jagung 40 27
Waxy maize 40
Struktur Pati Tipe B Amilomaize 15-22
55-75 Edible canna
26 25
Kentang 28 22
Struktur Pati Tipe C Ubi jalar
38 20
Tapioka 38 18
1
Zobel 1988 dan Tang et al. 2001
Pola difraksi sinar X menunjukkan kristalin pati garut tergolong tipe A dengan karakteristik amilopektin pati garut memiliki derajat polimerisasi DP 9-
30 yang cukup tinggi, densitasnya lebih padat pada daerah struktur heliks menun-
jukkan semakin banyak double helix yang terbentuk Gambar 10 dengan derajat
kristalinitas sebesar 31,5 Wang et al. 1998; Srichuwong et al. 2005a, proporsi rantai cabang berukuran pendek pada amilopektin lebih tinggi Hizukuri et al.
1983 dan jumlah rantai per klaster lebih banyak 10-23 per klaster diban- dingkan dengan kristalinitas tipe B 6-7 per klaster Takeda dan Hanashiro
2003. Apabila pati garut dengan jumlah rantai per klaster lebih banyak pada
21 molekul amilopektin dihidrolisis oleh enzim pullulanase debranching maka akan
dihasilkan lebih banyak fraksi amilosa rantai pendek.
Gambar 10. Perbedaan struktur kristalin tipe A dan B dari pati Tang et al. 2006
Karakteristik pati garut yang diukur dengan difraksi sinar X sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan potensinya untuk dijadikan sebagai bahan baku
dalam pembuatan pati resisten. Semakin banyak fraksi amilosa rantai pendek baik hasil pemutusan ikatan percabangan amilopektin debranching atau hidrolisis
asam, maka akan semakin banyak fraksi amilosa yang teretrogadasi sehingga kadar pati resisten yang terbentuk akan semakin tinggi. Menurut Lehmann et al.
2003, amilopektin dengan derajat polimerisasi DP kurang dari 10 dapat meng- halangi pembentukan pati resisten, namun struktur linear dengan DP bekisar 10-
35 merupakan panjang rantai yang optimal untuk pembentukan pati resisten. Sementara itu, distribusi panjang rantai amilopektin pada pati garut dengan DP
13-24 cukup tinggi, yaitu sebesar 58,4. Bila rantai-rantai tersebut dihidrolisis oleh enzim pullulanase pada titik percabangannya, maka diharapkan dapat
meningkatkan pati resisten yang terbentuk.
22
2.4. Pengaruh Proses Pemanasan terhadap Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati