114 tinggi terdapat pada DP 10-24 58,9 dan DP 24 31,2, sedangkan DP 10
hanya sekitar 8. Rendahnya jumlah panjang rantai glukan dengan DP10 disebabkan pencucian pati dengan air deionisasi yang dapat menghambat proses
pembentukan RS3. Pati jagung yang dimodifikasi dengan HMT baik yang dikom- binasikan dengan modifikasi annealing maupun tanpa annealing ternyata dapat
meningkatkan DP 6-8 dan menurunkan DP37 Chung et al. 2009. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dapat memutuskan
ikatan kovalen pada rantai glukan sehingga terbentuk rantai glukan yang lebih pendek baik pada amilopektin maupun pada amilosa Chung et al.2009.
Shu et al. 2007 menjelaskan bahwa pembentukan RS3 bukan hanya dipe- ngaruhi oleh kadar amilosa tetapi juga oleh panjang rantai amilopektin. Pening-
katan proporsi rantai pendek DP 12 dan penurunan proporsi rantai medium 13DP36 dan amilopektin rantai panjang DP37 pada amilopektin beras
berkontribusi pada peningkatan kadar RS3. Demikian pula pada pati sereal yang yang teretrogradasi mengalami peningkatan pada DP 6, DP 18 dan DP40
Silverio et al. 2000.
4.3.5. Kestabilan Panas dan Derajat Retrogradasi Pati
4.3.5.1. Kestabilan Panas Gambar 47
memperlihatkan grafik hasil pengukuran dengan DSC, sedang-
kan Tabel 10 memperlihatkan suhu onset T
o
, suhu puncak T
p
dan suhu con- clusion
T
c
, entalpi transisi ΔH dan derajat retrogradasi nisbah entalpi pati
garut perlakuan dengan entalpi pati garut alami yang diolah dari grafik DSC tersebut. Suhu transisi yang tinggi menunjukkan tingginya derajat kristalinitas,
yaitu struktur granula lebih stabil dan pati lebih tahan untuk tergelatinisasi. Nilai T
o
dan ΔH merupakan parameter mengenai jumlah rantai glukan dengan DP
tinggi DP12. Pati dengan rantai glukan dengan DP yang tinggi membutuhkan suhu yang tinggi untuk meluluhkan disosiasi double helix secara sempurna
dibandingkan dengan pati dengan rantai glukan dengan DP rendah.
115
Gambar 47 . Profil DSC pati garut alami dan yang mengalami modifikasi. H2=
hidrolisis 2 jam; D1=debranching 1,3 Ug pati; D10= debranching 10 Ug pati; AC=autoclaving-cooling 3 siklus
Pati garut H2D10AC dan D10AC memiliki T
o
masing-masing 100,11
o
C dan 102,31
o
C, sedangkan pati garut H2D1AC dan D1AC memiliki T
o
masing-masing 113,41
o
C dan 137,74
o
C Tabel 10. Hal ini disebabkan proses debranching pada
konsentrasi tinggi menghasilkan distribusi rantai glukan dengan DP 6-8 yang
tinggi, yaitu 16,81 untuk D10AC dan 14,79 untuk H2D10AC Tabel 9.
116
Tabel 10. Hasil pengukuran Diffential Scanning Calorimeter DSC pada pati
garut alami dan hasil modifikasi
Perlakuan Kestabilan Panas
Derajat Retrogradasi
T
o o
C T
p o
C T
c o
C T
c
-T
o o
C ΔH
Jg
Pati garut alami 48,27
49,04 59,01
10,74 134,78
- 93,55 103,98 112,18 18,63 336,35
- H2 129,99
130,21 134,88
4,85 538,08
159,97 AC 84,88
98,55 104,10
19,20 197,20
58,60 H2AC 76,90
100,45 112,14
35,24 918,15
272,97 D1AC
137,74 138,56
142,66 4,92
519,71 154,50
D10AC 100,11
106,23 112,71
12,60 591,10
175,70 H2D1AC
113,41 121,96
128,29 14,88
726,34 215,90
H2D10AC 102,33 106,51
115,13 12,80
662,26 196,90 T
o
= suhu onset
o
C, T
p
= suhu puncak, T
c
=suhu akhirconclusion tempe-rature; ΔH=
entalpi. Derajat retrogradasi= nisbah ΔH pati garut perlakuan terhadap ΔH pati alami;
H2= Hidrolisis 2 jam; AC= autoclaving-cooling 3 siklus; D1= debranching 1,3 Ug pati; D10= debranching 10,4 Ug pati
Pati garut alami memiliki 2 dua suhu puncak T
p
yaitu pada suhu 49,04
o
C endoterm I dan 103,98
o
C endoterm II, sehingga disebut juga biphasic endo- thermic
. Endoterm I suhu 50-80
o
C menunjukkan peluluhan melting dari double helix
rantai glukan dengan DP rendah DP 6-11, sedangkan endorterm II menun- jukkan peluruhan dari double helix rantai glukan dengan DP11. Sebagai perban-
dingan, pati waxy maize juga dilaporkan memiliki karakteristik sama dengan pati garut dengan dua suhu puncak, yaitu pada 56,59
o
C dan 103,74
o
C Miao et al. 2009.
Nilai T
c
-T
o
menunjukkan ukuran kestabilan kristalin. Semakin tinggi nilai T
c
-T
o
, maka semakin besar variasi kestabilan kristalinnya. Semakin tinggi nilai T
c
-T
o
mengindikasikan semakin banyak titik percabangan amilopektin yang terpo- tong sehingga semakin lebar suhu peluluhannya Singh et al. 2005b. Hal ini
dibuktikan dengan nilai T
c
-T
o
pada H2D10AC 12,80
o
C yang lebih rendah dari- pada H2D1AC 14,88
o
C, disebabkan jumlah titik percabangan pada H2D1AC lebih banyak dibandingkan dengan H2D10AC.
Entalpi transisi ΔH berkorelasi dengan jumlah double helix dan kristalin.
Entalpi transisi juga menunjukkan hilangnya susunan ikatan double helix dan merupakan salah satu parameter yang sangat dipengaruhi oleh kadar amilosa,
117 panjang rantai dari amilopektin dan kompleks amilosa-lipid Chung et al 2009;
Mutungi et al. 2009. Endoterm I pada pati garut alami memiliki nilai ΔH yang
lebih rendah 134,78 Jg dibandingkan dengan ΔH pada endoterm II yaitu sebesar
336,35 Jg Tabel 10. Nilai
ΔH yang rendah pada endoterm I menunjukkan 1 susunan double helix dengan kestabilan yang rendah; 2 membutuhkan waktu
yang lebih lama lagi untuk membuat secara terus-menerus struktur double helix yang stabil; atau 3 jumlah rantai glukan dengan DP rendah 6-11 Garcia-Rosas
et al. 2009. Rantai glukan dengan DP 6-12 terlalu pendek untuk membentuk
struktur double helix yang stabil dan hanya memerlukan energi yang sedikit untuk meluluhkannya Chung et al. 2009. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab
sebelumnya bahwa minimum panjang rantai glukan yang dapat menyusun double helix
yang stabil adalah pada DP 10 Lehmann et al. 2009. Pati garut yang mengalami debranching pada konsentrasi enzim pullulanase
rendah dan autoclaving-cooling D1AC memiliki nilai ΔΗ lebih rendah 519,71
Jg dibandingkan dengan yang mengalami debranching pada konsentrasi enzim yang tinggi D10AC 591,10 Jg. Hal ini menunjukkan bahwa D10AC mem-
butuhkan energi lebih besar untuk disosiasipeluluhan melting struktur double helix
-nya atau jumlah struktur double helix yang terbentuk lebih banyak diban- dingkan dengan D1AC.
Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai
ΔH pada H2D1AC 726,34 Jg lebih besar dibandingkan dengan H2D10AC 662,26 Jg. Perlakuan kombinasi hidro-
lisis asam dan debranching pada konsentrasi tinggi H2D10AC menyebabkan jumlah rantai glukan dengan DP rendah DP 6-8 meningkat sehingga struktur
double helix yang terbentuk lebih sedikit. Sebagai akibatnya, energi untuk
peluluhan H2D10AC lebih rendah dibandingkan dengan H2D1AC. 4.3.5.2. Derajat retrogradasi
Derajat retrogradasi adalah nisbah nilai entalpi pati hasil modifikasi dengan entalpi pati garut alami. Derajat retrogradasi pati pada pati D10AC lebih tinggi
175,7 dibandingkan dengan D1AC 154,5. Derajat retrogradasi D10AC lebih tinggi karena proses debranching pada konsentrasi enzim pullulanase 10,4
Ug pati memutuskan lebih banyak titik-titik percabangan α,1-6 amilopektin
118 sehingga dihasilkan jumlah rantai glukan yang lebih banyak dan menyebabkan
peluang terjadinya retrogradasi pati garut selama proses pendinginan lebih besar. Derajat retrogradasi pada H2D1AC 215,9 lebih tinggi dibandingkan
dengan H2D10AC 196,9. Hal ini menunjukkan bahwa H2D10AC menghasil- kan hidrolisat dengan rantai glukan yang pendek sehingga proses pembentukan
struktur double helix tidak dapat dilakukan yang menyebabkan rendahnya derajat retrogradasi pati. Namun, kadar RS3 pada H2D10AC lebih tinggi 39,30 diban-
dingkan dengan H2D1AC 36,80 Gambar 39. Analisis kadar RS3 dilakukan
dengan menggunakan enzim porcine α-amilase pada suhu 37
o
C selama 16 jam. Selama proses tersebut kemungkinan terjadi peningkatan retrogradasi dari amilosa
hasil hidrolisis oleh enzim. Kecepatan retrogradasi ini dapat lebih tinggi diban- dingkan dengan kecepatan reaksi hidrolisis enzimatis pada pati Lopez-Rubio et
al. 2008. Hal ini menjelaskan mengapa kadar pati resisten pada H2D10AC lebih
tinggi dibandingkan H2D1AC, meskipun derajat retrogradasi dari hasil analisis
DSC lebih rendah pada H2D10AC Tabel 10. 4.3.6.
Sifat Kristalinitas Pati 4.3.6.1.
Perubahan Daerah Kristalin dan Amorf FTIR digunakan untuk menentukan tingkat susunan heliks dari pati untuk
melihat perubahan pati akibat proses gelatinisasi, retrogradasi atau penyimpanan. Polisakarida seperti pati dapat diabsorpsi pada bilangan gelombang 800-1200 cm
-1
yang merupakan fingerprint dari konformasi dan hidrasi pati Savenou et al. 2002. Bilangan gelombang 1022 cm
-1
menunjukkan vibrasi dari deformasi C-O- H yang dapat dihubungkan dengan daerah amorf dan kristalin dari granula pati.
Bilangan gelombang 1045-1047 cm
-1
dan 1020-1022 cm
-1
merupakan band untuk daerah kristalin dan daerah amorf pada granula pati. Nisbah intensitas
10451022 dan 1022995 digunakan untuk menentukan perubahan konformasi pati terutama pada daerah kistralin dan amorf. Peningkatan nisbah 10451022 mengin-
dikasikan peningkatan susunan daerah kristalin Chung et al. 2009, sebaliknya peningkatan nisbah 1022955 memperlihatkan adanya peningkatan susunan
daerah amorf Htoon et al. 2009. Sementara menurut Lopez-Rubio et al. 2008, peningkatan nisbah 9951022 menunjukkan peningkatan susunan daerah kistralin.
Bilangan gelombang 1151 cm
-1
digunakan sebagai standar internal untuk meng-
119 hindari variasi dari ketebalan sampel dan pengukuran transmitan atau absorban
pada saat pengukuran Ottenhof et al. 2005; Bello-Perez et al. 2005. Nisbah 10451151 digunakan untuk menentukan struktur heliks selama proses retrogra-
dasi. Kurva hasil pengukuran dengan FTIR dari pati garut alami dan yang diberi
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 48. Perubahan daerah amorf dan kristalin
dari pati garut pada berbagai perlakuan berdasarkan hasil analisis dari kurva FTIR
dapat dilihat pada Tabel 11. Sebagaimana dijelaskan di atas, nilai nisbah 1022
995 merupakan nilai yang memperlihatkan susunan daerah amorf dari granula pati. Semua perlakuan pati garut meningkatkan daerah amorf yaitu AC 1,021,
H2AC, D1AC dan H2D1AC sebesar 1,010, D10AC 1,019 dan H2D10AC 1,030 dibandingkan dengan pati garut alami 0,991.
Gambar 48 . Kurva hasil pengukuran FTIR dari pati garut alami dan yang menga-
lami modifikasi. AC= autoclaving-cooling 3 siklus; H2= Hidrolisis 2 jam; D1= debranching 1,3 Ug pati; D10= debranching 10,4 Ug pati
120
Tabel 11. Perubahan daerah amorf dan kristalin dari pati garut pada berbagai
perlakuan modifikasi berdasarkan hasil pengukuran dengan FTIR
Perlakuan
1
Absorbansi A Kristalin
Amorf
1045 cm
-1
1022 cm
-1
995 cm
-1
A
1045
A
1022
A
1022
A
955
Pati garut alami 0,6167
0,6212 0,6268
0,993 0,991
AC 0,4847 0,4948
0,4848 0,979
1,021 H2AC 0,4050
0,4194 0,4152
0,966 1,010
D1AC 0,4927
0,4972 0,4924
0,991 1,010
D10AC 0,5854
0,5962 0,5849
0,982 1,019
H2D1AC 0,4996
0,4962 0,4914
1,007 1,010
H2D10AC 0,4751 0,4825
0,4683 0,985
1,030
1
AC=autoclaving-cooling 3 siklus; H2= Hidrolisis 2 jam; D1= debranching 1,3 Ug pati; D10= debranching 10,4 Ug pati
Peningkatan daerah amorf pada pati garut yang diproses autoclaving- cooling
AC 1,021 lebih tinggi dibandingkan dengan pati garut alami 0,991. Pemanasan dengan otoklaf dapat menyebabkan hidrolisis amilosa dan amilo-
pektin bagian terluar dari klaster Mujoo dan Ali 1999; Mutungi et al. 2009; Leong et al. 2007 sehingga daerah kristalin menurun dan daerah amorf
meningkat. Fraksi amilosa dan titik-titik percabangan α-1,6 berada pada daerah
amorf. Susunan daerah kristalin mengalami penurunan seiring dengan meningkat-
nya konsentrasi enzim pullulanase dan diikuti dengan peningkatan susunan daerah amorf. Pemutusan titik-titik percabangan
α-1,6 yang berada dalam daerah amorf oleh enzim pullulanase dapat meningkatkan daerah amorf. Semakin tinggi kon-
sentrasi enzim pullulanase, maka semakin banyak titik-titik percabangan yang terputus sehingga meningkatkan daerah amorf dan menurunkan daerah kistralin.
Nisbah 10451022 pada D1AC 0,991 lebih tinggi dibandingkan dengan D10AC 0,982. Begitu pula pada H2D1AC 1,007 lebih tinggi dibandingkan dengan
H2D10AC 0,985. Sebagai perbandingan, hasil penelitian Chung et al. 2009 menunjukkan
bahwa proses modifikasi HMT pada pati jagung, pea dan lentil menyebabkan penurunan nisbah 10451022 atau penurunan daerah kristalin. Hal ini kemung-
kinan disebabkan oleh pemutusan beberapa ikatan hidrogen yang berdekatan
121 dengan double helix atau terjadi reorientasi struktur double helix di daerah
kristalin. Proses hidrolisis asam dengan menggunakan HCl pada pati garut dapat
menurunkan absorbansi pada bilangan gelombang 1022 cm
-1
baik pada H2AC, H2D1AC maupun H2D10AC. Penurunan ini terjadi karena daerah amorf dari
granula pati merupakan daerah sensitif oleh hidrolisis asam dan daerah pertama yang diserang oleh asam dan tahap penyerangan selanjutnya adalah daerah kris-
talin Mumny 2000; Jayakody dan Hoover 2002; Aparicio-Saguilan et al. 2005; Mun dan Shin 2006. Penurunan absorbansi pada sampel pati garut yang menga-
lami perlakuan hidrolisis asam berdampak pada penurunan nisbah 1022995 dibandingkan dengan sampel tanpa perlakuan hidrolisis asam AC. Pati H2AC
dan H2D1AC masing-masing memiliki nisbah 1022995 sebesar 1,010 dan 1,010 yang lebih rendah dibandingkan dengan AC 1,021, sedangkan pati H2D10AC
lebih tinggi 1,030 dibandingkan dengan pati yang mengalami hidrolisis asam dan debranching pada konsentrasi rendah H2D1AC.
4.3.6.2. Pola Difraksi Sinar X