Jenis Pati Resisten Pati Resisten

29 Pati yang tidak dapat dicerna non-digestible starch atau pati resisten atau resistant starch RS merupakan bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dan tidak diserap di dalam usus halus, namun dapat mengalami proses fermentasi secara lambat oleh mikroflora di usur besar Liu 2005. Pati resisten pertama kali diperkenalkan oleh Englyst et al. 1992. Sebagaimana pada serat pangan, pati resisten dapat difermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon dan menghasilkan asam lemak rantai pendek short chain fatty acid atau SCFA. Profil SCFA yang diperoleh dari pati resisten banyak mengandung asam asetat, propionat dan butirat. Dibandingkan sumber serat lainnya, hasil fermentasi dari pati resisten lebih banyak mengandung asam butirat. Pati resisten memiliki sifat dan fungsi seperti serat pangan, yaitu mengandung nilai energi yang rendah, dapat menurunkan indeks glikemik, menurunkan level kolesterol dalam darah dan menurunkan resiko kanker kolon dengan cara memperbanyak produksi asam lemak rantai pendek, terutama asam butirat Liu 2005. Di samping memiliki efek fisiologis terhadap kesehatan, pati resisten juga mempunyai sifat fungsional yang dapat diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan Liu 2005. Pati resisten dapat digunakan sebagai bahan pengisi bulking agent dalam produk pangan rendah gula dan lemak. Pati resisten mempunyai daya ikat air yang lebih rendah dibandingkan serat pangan, sehingga tidak ber- kompetisi dengan ingredien lain untuk memperoleh air, lebih mudah diolah dan tidak menyebabkan produk menjadi lengket. Dengan demikian, pati resisten dapat berguna dalam formulasi pangan dengan kadar air rendah, seperti cookies dan cracker . Penggunaan pati resisten dalam produk pangan seperti roti, cracker, dan muffin memberikan rasa, mouthfeel dan penampakan yang lebih baik dibanding- kan bila ditambahkan serat pangan. Dalam beberapa aplikasi lainnya, pati resisten tidak mengubah rasa, tekstur dan penampakan produk. Kandungan pati resisten dalam beberapa produk pangan telah dilaporkan, seperti pada roti 2,2-4,3, sereal sarapan 0,0-9,0, dan produk pasta 1,3-4,2 Wursch 1999.

2.5.1. Jenis Pati Resisten

Pati resisten RS diklasifikasikan dalam empat kelompok berdasarkan pada asal dan cara proses pembuatannya, yaitu tipe RS1, RS2, RS3 dan RS4. Pati resisten tipe I RS1 merupakan pati yang terdapat secara alamiah. RS1 secara 30 fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks dalam bahan pangan kaya pati, terutama dari biji-bijian dan sereal, di antaranya pati dari padi yang digiling kasar . Jumlah RS1 dipengaruhi oleh proses pengolahan dan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan penggilingan. Pati resisten tipe II RS2 merupakan pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase, biasanya granula pati yang termasuk bentuk kristalin tipe B berdasarkan hasil pengukuran difraksi sinar X, seperti pisang dan kentang yang masih mentah, serta jenis pati jagung dengan kadar amilosa yang tinggi. Pati resisten tipe III RS3 adalah pati teretrogradasi. Pati ini diproses dengan pemanasan gelatinisasi suspensi pati dan dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu rendah 4 o C sehingga mengalami retrogradasi. Retrogradasi pati terjadi melalui penyusunan kembali terutama rantai linear amilosa setelah proses gelatinisasi. RS3 dapat diperoleh dalam gel pati, tepung, adonan, produk yang dipanggang, dan amilosa hasil fragmentasi. Sifat resisten tersebut disebabkan oleh adanya pati yang teretrogradasi. Pati resisten tipe IV RS4 adalah pati termodifikasi secara kimia, seperti pati ester, pati eter atau pati ikatan silang Bird et al. 2000; Champ 2004; Liu 2005. Menurut Liu 2005, sumber pati resisten komersial berasal dari pati dengan kadar amilosa tinggi pati resisten tipe II, misalnya amilomaize dan pati dari biji- bijian. Pati ini lebih tahan terhadap enzim pencernaan, karena berhubungan dengan susunan amilosa dan amilopektin dalam struktur kristal granula pati. Pati resisten tipe III RS3 juga merupakan sumber pati komersial yang penting, karena dapat dihasilkan melalui proses pengolahan Kim et al. 2003. Di antara jenis RS3 komersial adalah Novelose 330 yang diproses dari pati jagung kaya amilosa yang terhidrolisis retrograded hydrolysed high amylose corn starches. Novelose 330 mengandung 40,40 RS3 dan terdiri atas fraksi berbobot molekul rendah dengan panjang rantai α-1,4-D-glukan antara 10-40 unit anhidroglukosa Jacobash et al. 2006. Kecepatan pembentukan struktur double helix amilosa sangat tergantung pada ukuran molekul amilosa, konsentrasi dan suhu pemanasan Jane 2009. Proses pembentukan RS3 atau rekristalisasi amilosa akan menghasilkan dua model pembentukan RS3 yaitu micelle Gambar 15a dan lamella Gambar 31 15b. Ikatan yang terbentuk sangat kuat dan sulit untuk dipecah oleh enzim pencernaan, sehingga dapat menurunkan daya cerna pati. Gambar 15. Model pembentukan R3: a model micelle; b model lamella Sajilata et al. 2006 Kandungan RS3 dari pati dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, yaitu dengan memperbanyak rantai linear, seperti proses hidrolisis asam dari suspensi pati di bawah suhu gelatinisasi proses lintnerisasi atau dengan pemutusan rantai cabang amilopektin debranching dengan enzim pullulanase yang dikombinasi- kan dengan proses pemanasan dan pendinginan suhu rendah Leu et al. 2003. Kandungan RS3 dipengaruhi oleh nisbah amilosa dan amilopektin, konsentrasi enzim debranching, konsentrasi pati, suhu pemanasan, siklus pemanasan dan pendinginan, dan kondisi penyimpanan, dan adanya lipid atau substansi bermole- kul rendah seperti gula Lehmann et al. 2002; Liu 2005; Sajilata et al. 2006. Analisis daya cerna pati merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan modifikasi pati, karena daya cerna pati dapat berkolerasi dengan kadar RS3 yang dihasilkan Muchtadi et al., 1992. 32 Daya cerna pati yang lebih rendah mengindikasikan kadar RS3 yang meningkat. Pengujian daya cerna pati dapat dilakukan secara in vitro. Pati dihidrolisis dengan menggunakan enzim α-amilase menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Hasil akhir reaksi enzimatis ini diukur sebagai maltosa yang merupakan molekul disa-karida yang terdiri atas dua molekul glukosa. Konsentrasi maltosa dalam sampel yang meningkat menunjukkan pati lebih mudah dihidrolisis oleh enzim α- amilase sehingga daya cerna pati akan semakin besar. Tinjauan pustaka berikut menjelaskan prinsip dan penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan penggunaan teknik pemanasan suhu tinggi dan pendinginan, hidrolisis asam dan debranching dalam meningkatkan kadar pati resisten Tipe III RS3. Secara ringkas, rekapitulasi kondisi perlakuan dalam menghasilkan kadar RS3 dari berbagai jenis sumber pati yang telah dilaporkan oleh peneliti lain disajikan pada Tabel 5. 2.5.2. Pemanasan Suhu Tinggi dan Pendinginan Autoclaving-cooling Modifikasi pati untuk menghasilkan pati resisten adalah dengan proses auto- claving-cooling . Proses autoclaving-cooling dilakukan pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasinya. Suspensi pati bersifat tidak larut dalam air dan mudah meng- endap sesaat sebelum dan selama proses autoclaving. Pengendapan pati selama autoclaving tidak dikehendaki, karena dapat menyebabkan proses gelatinisasi pati tidak seragam di seluruh bagian suspensi pati. Adanya pemanasan awal sebelum proses autoclaving diharapkan dapat menghasilkan pasta pati yang lebih homo- gen. Penelitian sebelumnya tidak ada yang menjelaskan kondisi suhu dan waktu pemanasan awal sebelum proses autoclaving. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dilakukan tahapan penentuan kondisi pemanasan awal suspensi pati sebelum proses autoclaving. Proses pemanasan pada suhu tinggi di dalam otoklaf autoclaving menye- babkan suspensi pati mengalami gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi pati, sifat bire- fringence granula pati hilang akibat penambahan air secara berlebih dan pema- nasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula ireversibel Belitz dan Grosch 1999. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selama pemanasan suspensi pati di atas suhu gelatinisasinya menyebabkan terjadinya pemutusan disosiasi ikatan 33 34 35 hidrogen dari struktur double helix amilopektin, pelelehan melting bagian kris- talit dan pelepasan amilosa dari granulanya amylose leaching Tester dan Debon 2000; Waigh et al. 2000. Proses autoclaving-cooling secara berulang dapat menyebabkan semakin banyaknya pembentukan fraksi amilosa teretrogradasi atau terkristalisasi. Fraksi amilosa yang berikatan dengan fraksi amilosa lainnya melalui ikatan hidrogen membentuk struktur double helix. Struktur double helix berikatan dengan struktur double helix lainnya membentuk kristalit sehingga terjadi rekristalisasi fraksi ami- losa yang dikenal dengan proses pembentukan RS3. Rekristalisasi amilosa ini ter- jadi selama proses pendinginan cooling Gambar 16 Haralampu 2000. Gambar 16. Mekanisme pembentukan RS3 dari rekristalisasi amilosa akibat proses autoclaving-cooling Haralampu 2000 Modifikasi fisik pati melalui proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan dapat meningkatkan kadar pati resisten. Proses pemanasan suhu tinggi, misalnya dengan proses pemanasan dalam otoklaf, mengakibatkan pati tergelatinisasi secara sempurna. Proses penyimpanan suhu rendah dari pasta pati yang dihasilkan akan mempercepat terjadinya retrogradasi pati Liu 2005. Menurut Sajilata et al. 2006, faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan RS3 adalah nisbah pati dan air atau konsentrasi pati, suhu autoclaving, jumlah siklus autoclaving- cooling , nisbah amilosa dan amilopektin, panjang rantai amilosa, hidrolisis asam lintnerisasi dan debranching amilopektin. Salah satu teknik untuk meningkatkan kadar RS3 adalah dengan menggu- nakan siklus autoclaving-cooling. Metode modifikasi pati ini telah dilaporkan oleh banyak peneliti, seperti Edmonton dan Saskatoon 1998; Mahadevamma et al. 2003; Shin et al. 2004; Aparicio-Saguilan et al. 2005; Zabar et al. 2008. 36 Prinsipnya, pati disuspensikan dahulu dalam air dengan nisbah penambahan air tertentu 1:3,5 hingga 1:5. Suspensi pati tersebut kemudian dipanaskan dengan menggunakan otoklaf yang mengakibatkan pati tergelatinisasi secara sempurna dan keluarnya fraksi amilosa dari granula pati. Selanjutnya pasta pati didinginkan yang dapat menyebabkan fraksi amilosa mengalami retrogradasi. Kadar RS3 dapat ditingkatkan dengan perlakuan autoclaving-cooling secara berulang. Sajilata et al. 2006 melaporkan bahwa proses autoclaving-cooling pada pati gandum dapat meningkatkan kadar pati resisten menjadi sembilan kali lipat dari pati gandum alami 9,0. Jumlah siklus autoclaving-cooling juga mempe- ngaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan, misalnya pati gandum yang diproses dengan tiga kali siklus autoclaving-cooling meningkat kadar RS3-nya menjadi 7,8 bila dibandingkan hanya satu kali siklus 6,2. Demikian juga pati resisten dari biji barley meningkat kandungan RS3-nya dari 6 menjadi 26 setelah melewati 20 kali siklus autoclaving-cooling Szczodrak dan Pomeranz 1991. Jumlah air yang ditambahkan dalam suspensi pati akan mempengaruhi kon- sentrasi pati dan berpengaruh dalam proses autoclaving-cooling. Hal ini karena nisbah pati dan air sangat mempengaruhi proses ekspansi matriks pati dan gelati- nisasi granula Raja dan Shindu 2000. Jumlah air yang terlalu sedikit kurang menggangu struktur heliks amilosa pada gelatinisasi siklus selanjutnya sehingga jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum Sajilata et al. 2006. Hal ini mengakibatkan jumlah amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang beraso- siasi pada saat retrogradasi lebih sedikit sehingga kadar pati resistennya pun men- jadi lebih rendah. Proses autoclaving-cooling yang berulang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan penyusunan amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin dan pening- katan pembentukan kristalin yang lebih sempurna yang berakibat pada pening- katan kadar RS3 Leong et al. 2007. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembentukan RS3 melalui proses autoclaving-cooling adalah konsentrasi pati dan suhu otoklaf, yaitu pembentukan RS3 yang paling optimum berlangsung bila konsentrasi suspensi pati dalam air sebesar 20 bb dengan suhu otoklaf sebesar 121 o C. 37 Pembentukan RS3 dengan metode autoclaving-cooling dipengaruhi oleh konsentrasi suspensi pati. Beberapa laporan menyebutkan bahwa konsentrasi sus- pensi pati yang optimum untuk pembentukan RS3 adalah 20 bb Vasanthan dan Bhatty 1998; Lehmann et al. 2002; Lehmann et al. 2003. Konsentrasi suspensi pati yang lebih kecil atau lebih besar dari 20 bb menghasilkan kadar RS3 yang cenderung menurun. Proses gelatinisasi granula pati juga sangat dipengaruhi oleh nisbah pati dan air. Penambahan air yang terlalu sedikit ke dalam suspensi pati menyebabkan jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum Raja dan Shindu 2000. Hal ini dapat mengurangi kadar pati resisten yang terbentuk yang disebabkan oleh menurunnya peluang terjadinya reasosiasi amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin Sajilata et al. 2006. Pemilihan siklus autoclaving-cooling tersebut juga telah dilakukan oleh Zhao dan Lin 2009 pada pati jagung. Kadar RS3 hasil modifikasi pati jagung meningkat dari 4,10 1 siklus menjadi 11,2 6 siklus, sedangkan untuk 3 siklus sebesar 8,5, hanya naik sekitar 2,7 dari 6 siklus. Peneliti lain telah melaporkan bahwa siklus autoclaving-cooling sebanyak 3 kali dapat meningkat- kan kadar RS3, yaitu dari pati gandum meningkat dari 6,2 menjadi 7,8 Bjorck et al. 1987, pati barley 3,8 menjadi 7,0 Vasanthan dan Bhatty 1998, dan pati pisang dari 1,51 menjadi 16,02 Aparicio-Saguilan et al. 2005. Peningkatan siklus menjadi 5 kali pada pati gandum dapat meningkatkan kadar RS3 sampai 11,5 Ranhotra et al. 1991. Eerlingen dan Delcour 1995 mela- porkan siklus autoclaving-cooling hingga 20 kali yang dapat meningkatkan jumlah RS3 lebih dari 40 pada sampel pati jagung tinggi amilosa kadar amilosa 70.

2.5.3. Hidrolisis Asam secara Lambat Lintnerisasi