121 dengan double helix atau terjadi reorientasi struktur double helix di daerah
kristalin. Proses hidrolisis asam dengan menggunakan HCl pada pati garut dapat
menurunkan absorbansi pada bilangan gelombang 1022 cm
-1
baik pada H2AC, H2D1AC maupun H2D10AC. Penurunan ini terjadi karena daerah amorf dari
granula pati merupakan daerah sensitif oleh hidrolisis asam dan daerah pertama yang diserang oleh asam dan tahap penyerangan selanjutnya adalah daerah kris-
talin Mumny 2000; Jayakody dan Hoover 2002; Aparicio-Saguilan et al. 2005; Mun dan Shin 2006. Penurunan absorbansi pada sampel pati garut yang menga-
lami perlakuan hidrolisis asam berdampak pada penurunan nisbah 1022995 dibandingkan dengan sampel tanpa perlakuan hidrolisis asam AC. Pati H2AC
dan H2D1AC masing-masing memiliki nisbah 1022995 sebesar 1,010 dan 1,010 yang lebih rendah dibandingkan dengan AC 1,021, sedangkan pati H2D10AC
lebih tinggi 1,030 dibandingkan dengan pati yang mengalami hidrolisis asam dan debranching pada konsentrasi rendah H2D1AC.
4.3.6.2. Pola Difraksi Sinar X
a Kristalinitas
Gambar 49 menunjukkan difraktogram dari hasil rekapitulasi gambar hasil
smoothing dengan menggunakan program Filter Kalman Lampiran 1a-1c yang
kemudian digunakan untuk menghitung daerah amorf dan kristalin dari pati garut
alami dan hasil modifikasi Lampiran 2a-2d. Perhitungan kedua daerah tersebut menggunakan persamaan Gaussian dan Lorentz Frost et al. 2009. Tipe kristalin
dari pati garut alami dan yang telah dimodifikasi dari hasil pengukuran difraksi
sinar X dapat dilihat pada Tabel 12. Srichuwong et al. 2005a menyatakan
bahwa pati garut alami memiliki kristalin tipe A. Hal ini bersesuaian dengan yang diperoleh dalam penelitian ini yang juga menunjukkan kristalin tipe A. Kristalin
tipe A ditandai dengan puncak pada 2 tetra yaitu 15
o
, 17
o
, 20
o
dan 23
o
. Pati garut alami memiliki derajat kristalinitas sebesar 20,01 sedangkan
pati garut hasil hidrolisis asam selama 2 jam H2 sebesar 20,80. Hidrolisis asam selama 2 jam pada pati garut hanya menyerang daerah amorf sehingga
derajat kristalinitas setelah hidrolisis asam tidak banyak berubah dan tidak
meng yang
Gam
dikom tipe A
200 guna
menj autoc
menj modi
pati bahw
tipe B
krista cooli
gubah tipe g mengalam
mbar 49 . D
al as
U
Semua pe mbinasikan
A menjadi k 7 melapor
akan proses jadi tipe B.
claving-coo jadi tipe B
ifikasi heat dari tipe B
wa modifika B menjadi c
Perubahan alin tipe B
ing Tabel
kristalin. S mi hidrolisis
ifraktogram lami modifi
sam 2 jam; Ug pati
erlakuan hi n dengan au
kristalin tip rkan bahwa
s autoclavin Pati jagung
oling 3 dan
Zabar et t moisture
B menjadi asi dengan
campuran ti n kristalinita
B pada sem
12 disebab
Selisih inten H2 dapat
m hasil smoo kasi. AC= a
D1=debran
idrolisis as utoclaving-c
pe B 2 tetra proses pem
ng-cooling g dan pati j
5 siklus me al.
2008. treatment
tipe A. Ho annealing
ipe A dan B as dari kris
mua perlaku bkan oleh te
nsitas delta dilihat pada
othing dari
autoclaving nching
1,3 U
am dengan cooling
men a pada 17
o
d mbuatan RS
dapat men agung tingg
engalami pe Stute 1992
HMT pati
oover dan mengubah
B. stalin tipe A
uan modifik erbukanya s
a pada pat
a Gambar 5
pati garut a g-cooling
3 Ug pati; D
n atau tanp ngubah kris
dan 23
o
T
S3 dari pat ngubah kris
gi amilosa y erubahan kr
2 menemuk kentang m
Vasanthan kristalinita
A pada pati kasi dengan
struktur dou ti garut alam
50a .
alami dan y siklus; H2=
D10=debran
pa debranc stalinitas da
abel 12. L
ti sagu deng stalinitas d
yang diberi ristalinitas d
kan bahwa mengubah k
1994a m s pati non-
i garut alam n proses au
uble helix p
122 mi dengan
yang meng- =Hidrolisis
ching 10,4
ching yang
ari kristalin Leong et al.
gan meng- ari tipe A
i perlakuan dari tipe A
perlakuan kristalinitas
menemukan sereal dari
mi menjadi utoclaving-
ada daerah
123 kristalin yang tersusun terutama oleh amilopektin. Pada saat proses pendinginan,
terjadi rekristalisasi dari amilosa rantai pendek yang membentuk struktur double helix
, sehingga perubahan bentuk kristalin dan penurunan derajat kristalinitas. Rekristalisasi amilopektin selama proses autoclaving dapat juga terjadi, namun
memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan rekristalisasi amilosa.
Tabel 12.
Derajat kristalinitas dan tipe kristalin pati garut alami dan yang dimodi- fikasi
Perlakuan
1
Derajat Kristalinitas Tipe Kristalin
Pati garut alami 20,01
A H2 20,80
A AC 12,83
B H2AC 11,36
B D1AC 13,38
B D10AC 14,14
B H2D1AC 9,37
B H2AD10AC 12,99
B
1
AC=autoclaving-cooling 3 siklus; H2= Hidrolisis 2 jam; D1= debranching 1,3 Ug pati;
D10= debranching 10,4 Ug pati
Proses autoclaving-cooling 3 siklus AC menurunkan derajat kristalinitas dari 20,01 pada pati garut alami menjadi 12,83. Perbedaan antara pati garut
alami dan yang diberi perlakuaan autoclaving-cooling dapat dilihat pada Gambar 50a
. Proses autoclaving-cooling menyebabkan hilangnya puncak pada 2 tetra 15
o
dan 23
o
C dan yang tersisa pada 2 tetra 17
o
sehingga hasil modifikasi dengan auto- claving-cooling
mengubah kristalin tipe A menjadi tipe B. Proses autoclaving dapat menyebabkan pati garut mengalami gelatinisasi
yang ditandai dengan terjadinya pengembangan granula pati, peluruhan daerah kristalin, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan
kelarutan pati. Proses gelatinisasi pati juga menyebabkan terjadinya diasosiasi double helix
dari amilopektin dan peluruhan daerah kristalin. Disosiasi double helix
dari rantai amilopektin menyebabkan hilangnya sifat birefringence dan kristalinitas granula pati Liu 2005.
Pati garut dengan modifikasi hidrolisis asam dengan autoclaving-cooling H2AC memiliki derajat kristalinitas sebesar 11,32 lebih rendah dari pati garut
alami 20,01 dan AC 12,83. Perlakuan tersebut menyebabkan perubahan
124 jenis tipe kristalin dari tipe A menjadi tipe B, yaitu masih terdapatnya puncak tetra
17
o
tetapi kehilangan 2 puncak pada tetra 15
o
dan 23
o
. Selisih antara AC dengan
H2AC dapat dilihat pada Gambar 50a.
Modifikasi pati garut dengan debranching dan proses autoclaving-cooling juga menurunkan derajat kristalinitas karena proses debranching dapat memutus-
kan titik-titik percabangan amilopketin penyusun daerah kristalin untuk mengha- silkan fraksi amilosa rantai pendek sehingga reasosiasi dan rekristalisasi amilosa
menjadi lebih banyak pada pati garut yang dihidrolisis dengan konsentrasi enzim pullulanase 10,4 Ug pati dibandingkan dengan 1,3 Ug pati. Pati D1AC memiliki
derajat kristalinitas sebesar 13,38 lebih rendah dibandingkan dengan D10AC
sebesar 14,14 Gambar 50b, sedangkan untuk pati yang dimodifikasi dengan
hidrolisis asam, debranching dan autoclaving-coooling H2D1AC dan H2D10AC memiliki derajat kristalinitas masing-masing sebesar 9,37 dan
12,99 Gambar 50c. Hasil analisis korelasi Lampiran 4 menunjukkan bahwa daya cerna pati
berkorelasi secara positif dengan derajat kristalinitas hasil pengujian dengan difraksi sinar X r=0,794;
α=0,05. Daya cerna pati semakin kecil berkaitan dengan menurunnya derajat kristalinitas pati garut. Penurunan derajat kristalinitas
berkaitan erat dengan peningkatan daerah amorf.
b Kristalinitas Setiap Puncak
Kristalinitas setiap puncak merupakan nisbah luas masing-masing puncak terhadap luas daerah kristalin. Data ini diperoleh dari persamaan Gauss dan
Lorentz dengan tahapan yang sama seperti ketika mendapatkan data untuk relatif
kristalinitas. Gambar pada Lampiran 3 menunjukkan contoh kurva kristalinitas
setiap puncak untuk garut pati alami dan pati garut hasil modifikasi H2D10AC.
Tabel 13
memperlihatkan kristalinitas setiap puncak pada pati garut alami dan yang mengalami perlakuan dengan masing-masing nilai 2 tetra pada setiap pun-
caknya. Pada kristalin tipe A ditemukan dua puncak yang berdekatan, yaitu pada 2
tetra di 17
o
dan 18
o
. Hal ini ditemukan juga pada pati garut alami dan yang sudah mengalami proses hidrolisis asam dengan HCl 2,2N, yaitu masing-masing pada 2
tetra 17,14
o
dan 18,20
o
dengan kristalinitas masing 10,89 dan 26,18 serta
125
Gambar 50a . Daerah amorf dan kristalin dari pati garut alami dan hasil hidro-
lisis asam dan autoclaving-cooling. H2=hidrolisis asam 2 jam; AC=autoclaving-cooling 3 siklus; Delta=selisih antara nilai inten-
sitas relatif pati garut alami dengan pati garut termodifikasi pada 2 tetra yang bersesuaian
126
Gambar 50b . Perubahan daerah amorf dan kristalin dari pati garut dari
hasil kombinasi perlakuan hidrolisis dan autoclaving- cooling
. H2= hidrolisis 2 jam; AC=autoclaving-cooling 3 siklus. Delta=selisih antara nilai intensitas relatif pati garut
alami dengan pati garut termodifikasi pada 2 tetra yang bersesuaian
127
Gambar 50c . Daerah amorf dan kristalin dari pati garut alami dan hasil kombi-
nasi perlakuan hidrolisis, debranching dan autoclaving-cooling. H2=hidrolisis 2 jam; D1=debranching 1,3 Ug pati; D10=
debranching 10 Ug pati; AC=autoclaving-cooling 3 siklus; Delta=
selisih antara nilai intensitas relatif pati garut alami dengan pati garut termodifikasi pada 2 tetra yang bersesuaian
128 11,27 dan 26,72. Selain itu, ditemukan juga 2 puncak yang cukup besar yaitu
pada 2 tetra 15,46
o
dan 23,54
o
. Kristalinitas tiap puncak dihitung untuk melihat puncak-puncak yang besar
dan kecil yang berkontribusi terhadap kristanilitas dari pati. Selain itu dapat juga dilihat pada 2 tetra mana ditemukan puncak yang besar. Lopez-Rubio et al. 2008
menemukan 10 puncak pada kristalin tipe A, yaitu ditemukan 4 puncak yang besar pada 2 tetra 15,11
o
; 17,14
o
; 18,14
o
dan 23,68
o
. Frost et al. 2009 melapor- kan bahwa pati jagung tinggi amilosa 80 memiliki 8 puncak dengan puncak
paling besar terdapat pada 2 tetra 17,1
o
.
131
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pati garut yang diperoleh dengan cara ekstraksi basah memiliki kadar ami- losa
24,64
dan amilopektin 73,46. Hasil pengukuran dengan RVA menunjuk- kan bahwa pati garut alami memiliki profil gelatinisasi tipe A yang ditandai
dengan nilai viskositas puncak yang cukup tinggi dan viskositas breakdown yang cukup tajam.
Berdasarkan parameter kadar RS3 dan daya cerna pati in vitro, proses autoclaving-cooling yang terbaik dilakukan dengan pemanasan awal pada 80
o
C dan dilanjutkan dengan 3 siklus proses autoclaving pada suhu 121
o
C selama 15 menit dan pendinginan pada suhu 4
o
C selama 24 jam. Proses hidrolisis asam dilakukan dengan HCl 2,2N selama 2 jam pada suhu 35
o
C. Proses debranching dengan enzim pullulanase dengan konsentrasi 10,4 Ug pati pada 50
o
C selama 24 jam.
Analisis GPC menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi pati garut dengan autoclaving-cooling AC, hidrolisis H2, kombinasi hidrolisis dan autoclaving-
cooling H2AC, kombinasi debranching 1,3 Ug pati atau 10,4 Ug pati dan autoclaving-cooling D1AC dan D10AC, serta kombinasi hidrolisis, debranching
dan autoclaving-cooling H2D1AC dan H2D10AC menyebabkan penurunan fraksi amilopektin dan peningkatan fraksi amilosa. Distribusi rantai linear baik
dari hasil debranching amilopektin maupun hidrolisis amilosa yang diukur dengan menggunakan FACE menunjukkan empat rentang derajat polimerisasi DP, yaitu
6-8; 9-12; 13-24 dan 25-30. Perlakuan modifikasi pati garut AC, H2AC, D1AC, dan H2D1AC mening-
katkan DP 25-30 yang berkontribusi pada pembentukan RS3. Pada perlakuan debranching dengan konsentrasi enzim pullulanase 10,4 Ug pati D10AC dan
H2D10AC, peningkatan terjadi pada DP 11-12. Proses autoclaving-cooling dapat meningkatkan DP 6-8 dengan peningkatan yang cukup besar ditemukan pada pati
garut dengan proses debranching konsentrasi tinggi H2D10AC.