Efisiensi dan Konservasi Energi Kampung Naga

50 Tabel 10 Total tarif penggunaan 2 lampubulan Total Tarif Penggunaan 2 lampuBulan Rumah Gol. R-1 Rumah Gol. R-2 Rumah Gol. R-3 Rp 1.494 – Rp 3.524 Rp 4.122 Rp 4.867 Rp 7.470 – Rp 17.622 Rp 20.610 Rp 24.336 Rp 11.952 – Rp 28.195 Rp 32.976 Rp 38.937 Sumber: Lampiran Peraturan Menteri ESDM No. 30 Tahun 2012 Tanggal 12 Desember 2012 Dari hasil penghitungan biaya pemakaian lampu petromak di Kampung Naga dan lampu bohlam konvensional, didapat hasil bahwa penggunaan lampu petromak dalam sebulan masih lebih mahal dibanding penggunaan lampu bohlam konvensional. Dengan semakin langkanya bahan bakar minyak dapat dikatakan nilai penghematan biaya dan energi listrik untuk penerangan di Kampung Naga pada aspek ini rendah.

4.3.3 Pengkondisian Udara

Pengkondisian udara yang dimaksud dalam standar ini adalah penggunaan teknologi air conditioner AC di dalam rumah. Penggunaan AC untuk tingkat hijau yang baik adalah penggunaan dengan perencanaan yang sesuai kebutuhan ruangan. Persentase penggunaan AC dari total luas lahan dan koefesien kinerja COP dari AC yang digunakan, menjadi pertimbangan dalam penilaian pada aspek ini. Penggunaan lebih rendah dari atau maksimum 50 dari total luas lantai bangunan merupakan kriteria yang baik. Pemaksimalan penyebaran kondisi sejuk dan dingin pada ruangan rumah dari sumber dingin, menjadi solusi bagi kesejukan seluruh ruangan rumah. Pada Kampung Naga, penilaian pada aspek ini dibuat TIDAK BERLAKU. Sesuai dengan ketentuan GREENSHIP sendiri, penilaian mengenai pengkondisian udara ini dapat tidak dilakukan bila rumah tidak menggunakan AC. Rumah-rumah adat di Kampung Naga memiliki kondisi udara yang cukup sejuk tanpa menggunakan AC. Udara sejuk ini didapat dengan memaksimalkan kondisi topografi di areal permukiman yang berupa lembah. Rumah-rumah ini menghadap ke arah Utara dan Selatan saling berhadapan dan sejajar dengan arah angin berhembus dari arah Barat atas bukit ke arah Timur sungai. Rapatnya jarak antar rumah yang menggunakan material kayu dan daun ini, membuat kelembaban lingkungan tinggi. Kelembaban lingkungan yang tinggi ini tereduksi oleh angin yang berhembus sehingga menyebabkan kondisi sejuk yang nyaman untuk aktivitas dalam rumah Gambar 23. Pembuatan lubang angin pada sisi Barat dan Timur, serta desain bangunan yang berupa rumah panggung juga berpengaruh pada perputaran udara yang optimal menyejukkan ruang dalam. Angin masuk ke dalam langit-langit melalui lubang angin yang kecil di sebelah Barat. Angin ini kemudian terperangkap dan berputar di dalam langit-langit sebelum keluar melalui lubang angin di sebelah Timur. Proses ini membuat plafon para di langit-langit rumah menjadi dingin ketika siang hari, dan menimbulkan kesejukan di dalam rumah. Begitu pula dengan desain rumah panggung. Angin yang terpecah datang dari Barat, masuk ke 51 bagian kolong rumah dan melakukan sirkulasi yang sama seperti angin yang masuk melalui langit-langit Gambar 24. Gambar 24 Sirkulasi angin pada atap dan kolong bangunan Proses pemaksimalan kondisi lingkungan yang salah satunya dilakukan dengan merancang bangunan berupa rumah panggung ini sangat efektif dan efesien menambah kesejukan ruang dalam, tanpa perlu menggunakan AC. Dari pengamatan, didapat rata-rata suhu dalam rumah ketika siang hari ialah sekitar 18 -22 C. Nilai suhu demikian dapat dikatakan sejuk bagi ruang dalam bangunan. Oleh karena itu, pada aspek ini, meskipun penilaian tidak berlaku, seharusnya mendapat poin yang tinggi karena masyarakat telah melakukan penghematan energi dan konservasi lingkungan yang baik.

4.3.4 Reduksi Panas

Kondisi panas di dalam ruangan dan di lingkungan rumah menjadi hal yang harus bisa diatasi oleh penghuni rumah tersebut. Selain penggunaan AC seperti Gambar 23 Kelembaban udara di sekitar rumah tereduksi oleh angin 52 yang dijelaskan sebelumnya, pemilihan material bangunan menjadi pertimbangan selanjutnya. Material bangunan berpengaruh pada proses penyerapan energi panas dan pelepasannya ke lingkungan. Bahan-bahan seperti seng dan alumunium membuat kesan panas bagi pengguna karena memiliki nilai absorbtansi radiasi yang rendah, sehingga kondisi di sekitar benda tersebut menjadi panas Tabel 11. Lain halnya dengan warna, pemilihan warna cat gelap seperti hitam dan abu-abu memiliki nilai absortansi α tinggi, sehingga mampu penyerap panas dan mengalirkannya ke dalam ruangan Tabel 12. Tabel 11 Nilai Absorbtansi α Radiasi Matahari untuk Dinding Luar dan Atap Tak Tembus Cahaya Bahan α Beton berat 0,91 Bata merah 0,86 Beton ringan 0,86 Kayu permukaan halus 0,78 Beton ekspos 0,61 Atap putih 0,50 Seng putih 0,26 Lembaran alumunium yang dikilapkan 0,12 Sumber: SNI 03-6389-2000: Konservasi Energi Selubung Bangunan Pada Bangunan Tabel 12 Nilai Absorbtansi α Radiasi Matahari untuk Cat Permukaan Dinding Cat Luar α Hitam merata 0,95 Pernis hitam 0,92 Abu-abu tua 0,91 Pernis biru tua 0,91 Cat minyak hitam 0,9 Coklat tua 0,88 Abu-abubiru tua 0,88 Biruhijau tua 0,88 Coklat medium 0,84 Pernis hijau 0,79 Hijau medium 0,59 Kuning medium 0,58 Hijaubiru medium 0,57 Hijau muda 0,47 Putih semi kilap 0,3 Putih kilap 0,25 Perak 0,25 Pernis 0,21 Sumber: SNI 03-6389-2000: Konservasi Energi Selubung Bangunan Pada Bangunan 53 Pada bangunan Kampung Naga, baik pada rumah maupun bangunan adat lainnya seperti masjid dan balé patémon, material yang digunakan ialah material yang berasal dari lingkungan sekitar. Untuk atap, digunakan material daun eurih, yaitu sebangsa ilalang, atau daun tepus yang lalu ditutupi ijuk. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke dalam rumah melalui atap. Bahan ini juga menyerap panas matahari maksimal namun tidak menyebabkan panas di dalam ruangan karena panas yang melewati ijuk masih tereduksi oleh daun tepus di bawahnya. Selain itu panas juga tereduksi oleh aliran angin yang berputar di langit-langit rumah. Masyarakat Kampung Naga beranggapan bahwa menggunakan jenis atap dari genteng adalah tabu, karena pada hakikatnya tanah letaknya tetaplah di bawah. Namun di samping itu, melalui hasil pengalaman dan penelitian, material ijuk dinilai lebih tahan lama dibanding genteng Gambar 25. Gambar 25 Atap ijuk yang telah bertahan berpuluh-puluh tahun Selanjutnya, material yang digunakan untuk dinding luar ialah anyaman bambu atau bilik. Bilik dari bambu ini memiliki karakter yang unik dalam hal penyerapan panas. Menurut H. Jatnika Nanggamihardja, BBA, seorang pakar bambu, pada siang hari material dari bahan bambu menyerap panas dan mengeluarkannya pada malam hari. Sebaliknya, pada malam hari, bambu menyerap dingin dan melepaskannya pada siang hari. Dengan siklus demikian, kondisi dalam rumah yang menggunakan material bambu terbilang sejuk dan nyaman, karena penghuni mendapatkan dingin pada siang hari dan panas pada malam hari. Nilai absorbtansi untuk material ini sama dengan material kayu permukaan halus, yaitu α sekitar 0,78. Cat yang digunakan oleh rumah-rumah di Kampung Naga adalah kapur dolomit putih yang dicampur air. Warna rumah menjadi lebih terang dan cerah. Untuk pemakaian cat dengan warna putih, nilai absorbtansinya adalah 0,3. Cukup tingginya nilai absorbtansi pada dinding dan rendahnya nilai absorbtansi pada warna cat memungkinkan penyerapan radiasi panas yang terkendali dan nyaman bagi penghuni. Kaca jendela dan sky light menggunakan kusen kayu yang menyerap panas atau radiasi matahari. Panasnya sinar yang masuk melalui kaca juga direduksi dengan pemasangan kain gordin. Secara keseluruhan, perbedaan komposisi material pada 4 jenis bangunan di Kampung Naga seperti pada Gambar 26. Rumah-rumah adat di Kampung Naga mampu mereduksi radiasi matahari dengan material-material yang mereka gunakan. Di samping itu, penataan orientasi rumah yang melintang dari arah barat ke arah timur, dipercaya juga menjadi salah satu faktor penambah kesejukan ruang dalam rumah. Efek orientasi bangunan terhadap suhu udara di dalam bangunan juga tampak jelas. Suhu yang terdapat pada sisi Timur dan Barat lebih tinggi 1 C dibandingkan dengan suhu di 54 ruangan tengah Karyono 2010. Pada rumah Kampung Naga, sisi Timur berupa tepas atau ruang tamu, dan pangkeng atau kamar tidur. Ruang tengah merupakan tengah imah, tempat berkumpul keluarga, dan pada sisi Barat merupakan gowah atau tempat penyimpanan padi. Penataan ruang dalam ini menyesuaikan dengan kondisi panas matahari sehingga penghuni tetap nyaman dan terjaga kesehatannya. Dengan uraian demikian, Kampung Naga memiliki poin tinggi pada aspek reduksi panas ini. .

4.3.5 Sumber Energi Terbarukan

Pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi sangat penting dalam suatu keberlanjutan hidup. Sumber energi terbarukan seperti radiasi sinar matahari, aliran air dan angin mulai banyak dimanfaatkan dan diubah menjadi energi listrik. Sumber energi listrik yang didapat dari proses pembangkit listrik sendiri memerlukan bahan bakar non-terbarukan seperti minyak bumi dan gas bumi. Maka, apabila terdapat pemanfaatan sumber energi terbarukan dalam suatu kawasan permukiman, kawasan tersebut sudah dapat dikatakan memiliki nilai ekologis save material, save land, save energy. Standar GREENSHIP menyebut bahwa sebuah kawasan memenuhi poin ini bila rumah pada kawasan tersebut menggunakan pemanas air tenaga surya dan kawasan tersebut memiliki fitur pembangkit listrik alternatif untuk energi listrik. Pada Kampung Naga, masyarakat tidak memerlukan air hangat. Mereka menggunakan air yang cukup dingin dari mata air untuk aktifitas sehari-hari. Keperluan air hangat untuk diminum didapat dengan memasak air pada tungku dari kayu bakar yang jatuh di kebun masing-masing. Mereka tidak menebang Gambar 26 Komposisi rancangan pereduksi panas 55 pohon untuk mendapatkan kayu bakar. Sekalipun menebang pohon, mereka menggantinya dengan pohon baru untuk regenerasi lahan Gambar 27. Sedangkan untuk sumber energi listrik alternatif, beberapa rumah 9 rumah menggunakan sumber energi terbarukan seperti accu dan solar cell. Tidak semua rumah menggunakan energi listrik alternatif, karena masyarakat memang tidak mengkonsumsi listrik. Energi listrik yang dihasilkan oleh sumber energi listrik terbarukan ini menghasilkan jumlah daya yang terbatas. Sehingga hal ini dapat mengendalikan kehidupan agar tidak berlebihan sesuai denga prinsip mereka. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga mampu mengurangi ketidakberlanjutan energi non-terbarukan dengan menggunakan air langsung dari mata air, menggunakan tungku kayu bakar dan menggunakan sumber listrik alternatif.

4.3.6 Hasil Skoring Kategori Efisiensi Konservasi Energi Kampung Naga

Hasil penilaian dengan metode skoring standar tingkat hijau GREENSHIP untuk kategori efisiensi dan konservasi energi disajikan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13 Hasil skoring kategori efisiensi dan konservasi energi KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI ANALISIS GREENSHIP CHECK LIST KETERANGAN EEC1 Sub Meteran Sub-Metering 2 Memfasilitasi agar mudah dalam pemantauan konsumsi listrik 1A Menyediakan sub metering untuk lampu 1 Tidak terdapat sub metering lampu di dalam areal permukiman. − Kampung Naga tidak memiliki jaringan listrik untuk mempertahankan bangunan dan adat kampung 1B Menyediakan sub metering untuk AC 1 Tidak terdapat sub metering AC dalam areal permukiman. − 1C Menyediakan sub metering untuk kotak kontak stop kontak 1 Tidak terdapat sub metering untuk kotak kontak stop kontak − EEC2 Pencahayaan Buatan 4 Mengetahui besar konsumsi energi dari sistem pencahayaan buatan. 1 Mengetahui penggunaan rata- rata penggunaan lampu dalam perhitungan satuan Wattm 2 2 Tidak terdapat jaringan listrik sehingga tidak ada penggunaan lampu listrik di areal permukiman − Masyarakat menggunakan lampu petromak dengan bahan bakar minyak tanah yang lebih mahal dibanding mengonsumsi listrik untuk 2 buah lampu Gambar 27 Penggantian tanaman baru 56 KODE TUJUAN NO TOLOK UKUR NILAI ANALISIS GREENSHIP CHECK LIST KETERANGAN 2 Menggunakan fitur otomatis seperti sensor gerak, timer, atau sensor cahaya minimal pada 1 arearuangan rumah 2 Tidak terdapat fitur otomatis di dalam arearuangan rumah. − Fitur otomatis memerlukan energi listrik yang tidak terdapat di kampung ini EEC 3 Pengkondisian Udara 2 Menghemat penggunaan energi dari perencanaan penggunaan AC sesuai kebutuhan. TIDAK BERLAKU bila pemilik rumah tidak menggunakan AC di area rumahnya. TIDAK BERLAKU TB TB 1 Hanya menggunakan AC maksimum 50 dari total luas lantai 2 TIDAK BERLAKU TB TB 2 Mengetahui koefesien kinerja COP dari AC yang digunakan BONUS 1 TIDAK BERLAKU TB TB EEC 4 Reduksi Panas 1 Mengurangi panas rumah beban ACalat penyejuk ruangan 1 Menggunakan bahan bangunan yang dapat mereduksi panas pada seluruh atap tidak termasuk skylight 1 Bahan untuk atap yaitu daun eurih dan tepus serta ijuk, mereduksi panas. √ Penggunaan material dari tumbuhan bukan isolator menyebabkan suhu sejuk di dalam bangunan 2 Menggunakan bahan bangunan yang dapat mereduksi panas pada seluruh kaca dan skylight BONUS 2 Penggunaan material bambu dan kayu kusen jendela dan skylight mereduksi dan menyerap panas. √ EEC 5 Sumber Energi Terbarukan 6 Mengurangi ketidakberlanjutan energi non-terbarukan 1 Menggunakan pemanas air tenaga surya yang tidak mengkonsumsi energi listrik 2 Masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan pemanas air tenaga surya − Pemanas air menggunakan tungku dengan bahan kayu bakar dari ranting jatuh di hutankebun 2 Adanya fitur pembangkit listrik alternatif untuk energi listrik 4 Beberapa warga menggunakan solar panel dan accu untuk mendapatkan energi listrik √ Daya yang dihasilkan solar panel atau accu tidak seberapa sehingga warga tetap pada konsep kesederhanaan TOTAL NILAI KATEGORI EEC 13 15 7

4.4 Konservasi Air di Kampung Naga

Suatu lingkungan hidup membutuhkan air untuk keberlangsungan kehidupan. Pada lingkungan modern ini, ketersediaan air bersih sangat diperhitungkan agar tetap mencukupi kebutuhan manusia. Kondisi dan ketersediaan air bersih, yang layak digunakan bagi kehidupan sehari-hari manusia, berbeda-beda di setiap daerah. Ada daerah yang kekurangan air bersih dan ada pula daerah yang memiliki sumber mata air yang berlimpah. Standar GREENSHIP menentukan perlunya upaya konservasi air bersih di suatu pemukiman. Standar ini tentunya adalah upaya agar pengelolaan air yang dihemat dapat membantu ketersediaan air di wilayah yang membutuhkan. Aspek konservasi yang penilaiannya didasarkan pada penghematan pemakaian air tanah atau air bersih belum dapat disesuaikan pada kondisi wilayah Indonesia yang beragam. Penghematan tentu ditekankan pada daerah yang sulit mendapatkan air tanah, seperti di daerah pesisir, padang pasir dan dataran rendah 57 lainnya. Namun, hal ini akan menjadi aspek yang kurang diperhitungkan bagi daerah dengan aliran air permukaan yang melimpah, seperti di daerah aliran sungai, pegunungan dan dataran tinggi lainnya, termasuk pada Kampung Naga. Areal permukiman Kampung Naga diapit oleh dua aliran Sungai Ciwulan. Dengan kondisi topografi yang berupa perbukitan dan lereng, serta lingkungan yang didominasi oleh hutan dan kebun, ketersediaan air tanah sangat terjaga dan air aliran permukaan pun berlimpah, sehingga penghematan air bukan menjadi prioritas di lingkungan seperti ini. Warga memanfaatkan air dari mata air untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi, cuci dan kakus. Mereka menggunakan aliran permukaan dengan sirkulasi air yang bermuara pada Sungai Ciwulan di sebelah Timur kampung. Dengan desain kamar mandi yang terbuat dari bilik bambu jamban, dimana air yang jatuh langsung ke kolam ikan dan selanjutnya dilimpahkan pada drainase menuju sungai. Dalam jamban tidak menggunakan keran melainkan pipa atau suluh bambu yang meneruskan air dari mata air. Air kotor dibiarkan mengalir pada permukaan melalui drainase yang kemudian menuju kolam ikan dan atau sungai, atau dibiarkan meresap ke tanah melalui proses filtrasi menjadi air tanah Gambar 28. Gambar 28 Sirkulasi air bersih dan kotor

4.4.1 Alat Keluaran Hemat Air

Lingkup dari alat keluaran hemat air di dalam aspek ini ialah berupa water closed flush tank WC bertangki air dan flush valve penggunaan gayung tidak dihitung, shower, keran untuk wastafel, keran dinding dan keran wudhu jika ada. Untuk mendapatkan poin tertinggi konservasi air pada tolok ukur ini, alat keluaran hemat air harus mampu menghemat 4,5 liter air untuk seluruh WC, 9 liter untuk seluruh shower serta 7 liter untuk seluruh keran dalam 1 rumah. Tabel 14 Skoring tiap alat keluaran air menurut standar GBC Indonesia WC Skor 6 L untuk seluruh WC 1 4,5 L untuk 50 total WC 2 4,5 L untuk seluruh WC 3 Shower Skor 9 L untuk 50 total shower 1 9 L untuk seluruh shower 2 58 Keran Skor 7 L untuk 50 total keran 1 7 L untuk seluruh keran 2 Pada Kampung Naga, tidak terdapat alat keluaran hemat air seperti di atas. Di dalam jamban, tidak tersedia alat penampung air seperti flush tank, tidak juga terdapat shower dan keran putar Gambar 29. Yang terdapat di dalam jamban hanyalah pipa suluh bambu atau pipa paralon PVC yang dibiarkan terbuka dan mengalir sepanjang hari. Jika dianalogikan dengan tolok ukur yang ditentukan, jamban-jamban di Kampung Naga memiliki skor yang rendah, karena memakai air lebih dari 6 L untuk kebutuhan buang air seperti pada WC, lebih dari 9 L untuk kebutuhan mandi seperti pada shower, dan lebih dari 7 L untuk kebutuhan cuci seperti pada keran. Gambar 29 Jamban tanpa alat keluaran hemat air Secara eksplisit, tentu dengan tidak adanya kontrol keluaran air, masyarakat Kampung Naga tidak melakukan penghematan air. Namun, pada prinsipnya masyarakat hanya memanfaatkan air dari mata air yang melewati wilayahnya, tidak dengan sengaja menyedot air tanah atau air dari PDAM yang memerlukan sumber energi lain, tidak juga membuang-buang air karena air yang digunakan langsung jatuh ke kolam untuk diteruskan ke sungai. Dapat disimpulkan meskipun nilai penghematan airnya rendah, masyarakat Kampung Naga tidak memerlukan biaya dan energi lain untuk mendapatkan air bersih, dan dengan pemanfaatan sirkulasi air yang baik mereka turut mengonservasi air beserta lingkungan hidup lainnya.

4.4.2 Penggunaan Air Hujan

Air hujan merupakan sumber kehidupan bagi daerah-daerah yang sering mengalami kekeringan. Pengairan sawah dan kebun seringkali menggunakan air hujan sebagai pengganti inlet air saat sumber air lain bermasalah. Penampungan air hujan pun perlu dibuat untuk mengantisipasi kekeringan setelah hujan berhenti. Pada standar GREENSHIP, penampungan air hujan yang diperlukan yaitu berkapasitas minimal 200 liter dan maksimal di atas 500 liter untuk sebuah rumah. Hal ini merupakan nilai tambah dan aspek penting bagi rumah di daerah yang gersang. Kampung Naga memiliki bak-bak penampungan yang digunakan warga untuk menampung air dari mata air maupun air hujan Gambar 30. Bak-bak ini 59 merupakan bagian dari sirkulasi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Bak penampungan ini diletakkan di dekat masjid, tidak di dekat rumah penduduk, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga. Ada tiga buah bak penampungan; 1 buah berkapasitas 6.000 liter, 1 buah berkapasitas 10.000 liter dan 1 buah berkapasitas 5.000 liter air. Total kapasitas air yang dapat ditampung di bak penampungan ialah 21.000 liter. Artinya, jika total kapasitas terisi penuh dan dibagikan pada seluruh rumah 109 rumah, maka satu rumah memiliki bagian bak penampungan berkapasitas 200 liter. Gambar 30 Bak penampungan air terbuka

4.4.3 Irigasi Hemat Air

Irigasi atau pengairan merupakan aspek penting bagi keberlangsungan tumbuhan. Tumbuhan yang sengaja ditanam membutuhkan perawatan yang rutin seperti pengairan. Sumber air menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini. Pada standar tolok ukur GREENSHIP, poin untuk aspek ini didapat jika suatu kawasan atau bangunan tidak menggunakan sumber air primer PDAM atau air tanah untuk penyiraman tanaman. Selain itu, kawasan atau bangunan tersebut juga harus memiliki strategi penghematan air untuk penyiraman tanaman di halaman. Pada dasarnya, Kampung Naga tidak memiliki halaman yang sifatnya individual. Namun untuk menganalogikan dengan penilaian tingkat hijau, Kampung Naga memiliki lahan-lahan kebun dan sawah serta hutan yang berada di sekeliling areal permukiman. Masyarakat memanfaatkan kondisi topografi yang berupa lereng dengan membuat sistem terasering atau sengkedan untuk irigasi dan sistem penyaluran air bersih. Air yang masuk dari Sungai Ciwulan di bagian Barat keluar sebagai mata air dan dialirkan selokan buatan menuju lahan sawah paling Barat dan kemudian mengalir ke Timur Gambar 31. Oleh karena itu, warga tidak memiliki kesulitan dalam hal pengairan, sehingga tidak memerlukan sumber air dari PDAM setempat, atau menyedot air tanah yang memerlukan energi lain. Strategi penghematan air tidak terdapat pada sistem yang diterapkan masyarakat. Namun, untuk keperluan irigasi, masyarakat tidak melakukan pembelian air. Mereka hanya memanfaatkan aliran permukaan melalui kemiringan lereng, sehingga tidak memerlukan penghematan air. Pemilihan lokasi pembuatan kampung di daerah seperti ini sudah diperhitungkan sebelumnya agar masyarakat dapat bertahan, terdapat dalam aturan Sunda kuno.