6 menjawab semua permasalahan lingkungan, baik alamiah maupun buatan yang
sedang dalam proses degradasi menuju kehancuran. Diakui atau tidak, gerakan ini muncul dan menyadarkan manusia akan adanya pergeseran titik tolak dan tujuan
manusia dalam berarsitektur Karyono 2010.
2.2 Definisi dan Prinsip Arsitektur Hijau
Arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, termasuk energi, air dan material, serta minim menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan. Arsitektur hijau merupakan langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Ketika komisi PBB untuk Lingkungan
dan Pembangunan menghasilkan suatu deklarasi yang populer dengan Brundtland report, dimana di dalamnya diformulasikan definisi Pembangunan Berkelanjutan,
para arsitek mulai memahami dan mengambil sikap terhadap kandungan deklarasi tersebut. Di negara maju, gerakan arsitektur berkelanjutan sudah mengarah kepada
perundangan, sehingga pada saatnya hanya arsitek yang merancang dengan konsep keberkelanjutan yang diberi izin bekerja sebagai perancang Karyono
2010.
Arsitektur hijau
merupakan konsekuensi
dari konsep
arsitektur berkelanjutan. Bahwa dengan merancang arsitektur hijau, diharapkan manusia
dapat hidup dan melakukan aktivitas di muka bumi ini secara berkelanjutan. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh manusia
untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupannya kelak. Arsitektur hijau juga menggarisbawahi perlunya meminimalkan dampak
negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan, dimana manusia hidup Priatman 2002.
Robert dan Brenda Vale 1991 mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan,
semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material, bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika
arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der Ryn dan Calthorpe 1996 menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan
sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk, bangunan, dan lanskap.
Menurut Brenda dan Robert Vale 1991, terdapat 6 prinsip dasar dalam perencanaan Green Architecture, yaitu :
1. conserving energy, yang berarti sebuah bangunan seharusnya didesain atau
dibangun dengan pertimbangan operasi bangunan yang meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil,
2. working with climate, bangunan seharusnya didesain untuk bekerja baik
dengan iklim dan sumber daya energi alam, 3.
minimizing new resources, bangunan seharusnya didesain untuk meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaannya
bisa digunakan untuk hal arsitektur lainnya,
4. respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia
yang terlibat didalamnya, 5.
respect for site, bangunan didesain dengan meminimalisir perusakan alam.
7 6.
holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan.
Selain pengertian mengenai arsitektur hijau di atas, ada pula yang
menyebutkan bahwa arsitektur hijau adalah arsitektur ekologis. Salah satu kebutuhan dasar kehidupan adalah papan rumah di samping pangan dan
sandang. Papan berarti perumahan atau pemukiman. Pemuasan kebutuhan dasar di bidang arsitektur sebaiknya dilaksanakan dengan pembangunan yang sehat, yang
ekologis, dan yang menurut Rudolf Doernach pada bukunya Biohaus fur Dorf und Stadt
tahun 1981, merupakan „bangunan hidup‟, dan bukan dengan pembangunan teknis saja yang menantang kehidupan, yang menurut Rudolf Doernach adalah
bangunan mati Frick dan Suskiyatno 2007. Arsitektur hijau atau arsitektur ekologis tersebut mengandung juga bagian-
bagian dari arsitektur biologis arsitektur kemanusiaan yang memperhatikan kesehatan penghuni, arsitektur alternatif, arsitektur matahari dengan
memanfaatkan energi surya, arsitektur bionik teknik sipil dan konstruksi yang memperhatikan pembangunan alam, serta pembangunan berkelanjutan. Maka,
istilah arsitektur ekologis adalah istilah holistic yang sangat luas dan mengandung semua bidang tersebut. Arsitektur ekologis tidak menentukan apa yang seharusnya
terjadi dalam arsitektur karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai standar atau ukuran baku, melainkan arsitektur ekologis menghasilkan keselarasan antara
manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur ekologis juga mengandung dimensi lain seperti waktu, lingkungan alam sosial budaya, ruang serta teknik bangunan.
Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur ekologis bersifat lebih kompleks, padat dan vital dibandingkan arsitektur pada umumnya Frick dan Suskiyatno 2007.
2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau
Sejumlah standar yang dikeluarkan oleh sejumlah institusi, baik pemerintah maupun swasta di negara maju, mengisyaratkan sejumlah kriteria yang harus
dipenuhi oleh karya arsitektur agar masuk ke dalam kategori hijau. Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisikan dalam level yang
dapat dimengerti atau diukur oleh suatu acuan atau standar tertentu. Diperlukan suatu alat ukur dan tolok ukur untuk mengukur level kehijauan suatu bangunan
atau kawasan. Berbagai acuan, alat ukur, dan standar telah banyak dirumuskan di negara-negara maju untuk mengukur tingkat kehijauan suatu rancangan kawasan
dan bangunan. Menurut Karyono 2010, terdapat beberapa standar pengukuran tingkat kehijauan, di antaranya:
1.
BREEAM Building Research Establishment’s Environmental Assessment
Method. BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di dunia, dan termasuk paling banyak digunakan di dunia saat ini. Acuan ini
membedakan delapan tipologi bangunan secara terpisah di dalam penilaian, seperti bangunan pengadilan, bangunan pendidikan, bangunan industri,
bangunan kesehatan, bangunan perkantoran, bangunan perdagangan, bangunan penjara, dan bangunan hunian. Parameter yang dinilai BREEAM
meliputi 10 aspek, yaitu manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan
inovasi. Standar ini memberikan lima kategori hasil penilaian, Pass, Good, Very Good, Excellent, dan Outstanding.
8 2.
LEED Leadership in Energy and Environmental Design. Standar LEED ini dicetuskan oleh United States Green Building Council USGBC tahun
1988. LEED digunakan untuk menilai bangunan atau lingkungan binaan, baik dalam tahap pra perancangan maupun sudah terbangun. Parameter
yang dinilai dalam LEED adalah keberlanjutan tapak, penghematan air, energi dan atmosfer, material dan sumber daya, kualitas lingkungan ruang
dalam, inovasi dan proses desain. Sistem penilaian LEED menggolongkan enam tipe proyek, fasilitas, atau bangunan, yakni bangunan baru, bangunan
eksisting, ruang interior komersil, inti bangunan dan selubung bangunan, rumah, pengembangan lingkungan perumahan, sekolah, dan bangunan
perbelanjaan. Empat penggolongan sertifikasi yang diberikan LEED adalah Certified, Silver, Gold, dan Platinum.
3. Green Star Standar Bangunan Hijau Australia. Standar penilaian Green
Star dicetuskan oleh Green Building Council Australia GBCA tahun 2002. Penilaian ini membagi bangunan ke dalam sejumlah tipe, yakni bangunan
hunian, kesehatan, perbelanjaan, pendidikan, perkantoran baru, perkantoran eksisting dan interior kantor. Beberapa standar untuk tipe bangunan lainnya
dikembangkan GBCA di antaranya untuk bangunan industri, convention centre, dan bangunan campuran.
4. NABERS the National Australian Built Environment Rating System.
NABERS merupakan penilaian kinerja bangunan eksisting terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari pengoperasian bangunan tersebut terhadap
lingkungan. Saat ini tipe bangunan yang masuk ke dalam lingkup pengukuran NABERS adalah bangunan perkantoran dan bangunan rumah
tinggal. Sementara masih dalam perkembangan adalah bangunan hotel, sekolah dan bangunan perbelanjaan. Standar NABERS mengukur tingkat
hijau bangunan eksisting atas dasar empat parameter, yaitu; penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca, penggunaan air, penanganan limbah dan
kualitas lingkungan ruang dalam. Untuk memberikan gambaran tentang
tingkat hijau suatu bangunan, diperkenalkan penggunaan „jumlah bintang‟ dari satu bintang hingga empat bintang sebagai indikasi tingkat hijau.
5. Green Mark Standar Bangunan Hijau Singapura. Green Mark dikeluarkan
oleh Building Council Association BCA Singapura pada tahun 2005. Standar ini memberikan penilaian terhadap sejumlah tipe bangunan dan
proyek, yakni bangunan hunian, non-hunian, bangunan eksisting, interior bangunan kantor, bangunan menapak tanah, infrastruktur, dan taman baru
dan lama. Parameter yang dipakai adalah efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, perlindungan terhadap lingkungan, kualitas fisik
ruang dalam, aspek hijau lainnya dan inovasi desain. Bangunan yang dinilai dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi emas, emas plus, dan
platinum.
6. GREENSHIP Standar Bangunan Hijau Indonesia. GREENSHIP
merupakan standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia GBCI. GBCI menyusun standar bangunan
hijau dengan enam aspek yang menjadi penilaian, yaitu ketepatan pengembangan tapak, efisiensi dan penghematan energi, penghematan air,
sumber material dan daur ulang, kesehatan ruang dalam dan kenyamanan serta kondisi lingkungan bangunan dan manajemen tapak. Masing-masing