9 aspek dibagi ke dalam butir-butir penilaian yang lebih detail di mana
masing-masing butir memiliki skor tertentu. Tingkat hijau bangunan ditentukan oleh total skor. Nilai skor tinggi menunjukkan bangunan
mengarah kepada pemenuhan kriteria hijau, sementara skor rendah berarti sebaliknya.
2.4 Green Building Council Indonesia GBCI
Salah satu pencetus penilaian tingkat hijau di Indonesia adalah Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia GBC
Indonesia. GBC Indonesia yang berdiri pada tahun 2009 ini merupakan lembaga mandiri non pemerintah dan nirlaba non-for profit yang berkomitmen penuh
terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang
berkelanjutann. GBC INDONESIA merupakan Emerging Member dari World Green Building Council WGBC yang berpusat di Toronto, Kanada. WGBC saat
ini beranggotakan 97 negara dan hanya memiliki satu GBC di setiap Negara
. GBC Indonesia merumuskan standar-standar khusus untuk menilai tingkat hijau
bangunan berdasarkan parameter-parameter yang telah disesuaikan dengan kondisi wilayah Indonesia yang disebut GREENSHIP. Penilaian ini berfungsi
untuk sertifikasi bangunan hijau di Indonesia.
Sistim Rating GREENSHIP dipersiapkan dan disusun oleh Green Building Council yang ada di negara-negara tertentu yang sudah mengikuti gerakan
bangunan hijau. Setiap negara tersebut mempunyai sistem rating masing-masing, sebagai contoh Amerika Serikat - LEED, Singapura - Green Mark, Australia -
Green Star dan sebagainya
. GREENSHIPmerupakan suatu tolak ukur atau rating tools yang digunakan untuk mendapatkan nilai tingkat hijau pada kategori tertentu
platinum, emas, perak, perunggu dan dengan melihat pada aspek-aspek tertentu. Aspek-aspek yang menjadi standar dalam GBC Indonesia telah disesuaikan
dengan keadaan alam dan sosial budaya di Indonesia, sehingga menjadi perangkat penilaian yang khas yang mengakomodasi kepentingan lokal Indonesia
GREENSHIP sebagai sebuah sistem rating terbagi atas enam parameter yang terdiri dari :
1.
Tepat Guna Lahan
Appropriate Site DevelopmentASD
2.
Efisiensi Energi Refrigeran Energy Efficiency RefrigerantEER
3.
Konservasi Air Water ConservationWAC
4.
Sumber Siklus Material Material Resources CycleMRC
5.
Kualitas Udara Kenyamanan Udara Indoor Air Health
ComfortIHC
6.
Manajemen Lingkungan
Bangunan Building
Enviroment ManagementBEM
Masing-masing aspek terdiri atas beberapa rating yang mengandung kredit yang masing-masing memiliki muatan nilai tertentu dan akan diolah untuk
menentukan penilaian. Poin nilai memuat standar-standar baku dan rekomendasi untuk pencapaian standar tersebut.
10
2.5 Arsitektur Tradisional Indonesia
Arsitektur tradisional dapat disebut juga dengan arsitektur vernakular. Beberapa menyebutkan bahwa arsitek vernakular adalah arsitektur “setempat”,
“primitif” atau “asli”. Akan terlihat, bahwa penyebutan “primitif” yang seringkali dikaitkan dengan kesederhanaan yang dimiliki oleh bentuk suatu arsitektur
menurut cara pandang konvensional, banyak mengandung kesalahan. Kata
vernakular sendiri memang berarti “setempat” native. Suatu arsitektur adalah vernakular apabila memenuhi kriteria-kriteria yang terkait dengan lingkungan
masyarakat tertentu dilihat dari pengaturan material, teknologi, aturan, dan sistem sosial atau sistem budayanya Wiranto 1999.
Aturan dan sistem sosial budaya setempat yang berlaku dalam menghasilkan arsitektur vernakular, dengan sendirinya menyiratkan adanya sebuah tradisi. Hal
ini dikarenakan, untuk membuat adanya peran sistem sosial atau budaya setempat di dalam pembentukan arsitektur vernakular, diperlukan waktu yang panjang,
yang selanjutnya diturunkan pada generasi-generasi berikutnya. Tradisi dan kondisi kebersamaan komunitas adalah dua faktor penting dalam penciptaan
bentuk-bentuk dasar dari permukiman dan penciptaan unsur-unsur dari suatu kelompok budaya, walaupun banyak faktor lain yang menghasilkan bentuk dan
tatanan rumah permukiman vernakular Harun et al. 2011. Sebagai contoh, pendirian rumah di permukiman adat mengikuti aturan-aturan adat tentang
penggunaan bahan, peletakkan rumah, bentuk rumah, dan sebagainya. Aturan-
aturan ini mengandung “sanksi”, bisa yang kongkrit berupa sanksi adat, atau berupa tabu yang menyiratkan akibat-akibat apabila dilanggar.
Menurut Turan 1990 dalam Harun et al. 2011, melalui bentuk rumah atau permukiman yang dihasilkan melalui alur-alur tersebut, arsitektur tradisional
atau vernakular adalah hasil aktivitas dan upaya mencapai kesesuaian lingkungan ketimbang suatu pengetahuan yang diaplikasikan. Aktivitasnya merupakan cara
untuk merespon kondisi yang ada, memenuhi kebutuhan-kebutuhan lingkungan tertentu bagi sekelompok manusia tertentu atau komunitas tertentu. Sedangkan
lebih jauh lagi, menurut Oliver 1997 dalam Harun et al. 2011, arsitektur vernakular umumnya mengandung bentuk embodies nilai-nilai suatu komunitas,
bahkan menyimbolkan konsep kosmos. Atau bertindak sebagai suatu analogi untuk suatu abstraksi kepercayaan tertentu. Oleh karena itu bahkan suatu rumah
atau hunian yang sederhana dalam suatu tradisi vernakular mungkin merefleksikan suatu dunia material dan spiritual dari pembangun dan
penghuninya.
Menurut Prij otomo dan Sulistyowati 2009, istilah „Arsitektur Tradisional
Indonesia‟ merupakan istilah yang diberikan oleh ilmuwan dan penulis kolonial Belanda di zaman sebelum perang dunia ke II. Sebutan yang berasal dari kata
Belanda ‘traditioneele architectuur’ itu diberikan bagi karya-karya arsitektur asli
daerah di Indonesia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah untuk membedakan jenis arsitektur yang timbul, berkembang dan merupakan
karakteristik suku-suku bangsa di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh atas dasar perkembangan Arsitektur di Eropa, khususnya Belanda. Alasan kedua
adalah karena masyarakat asli Indonesia masih mempertahankan bentuk arsitekturnya sebagai warisan dari generasi ke generasi tanpa menunjukkan
adanya perubahan mendasar.