Green Building Council Indonesia GBCI

12 Gambar 2 Pandangan dan Kearifan Lokal Sunda Renovatio 2011

2.7 Kondisi Permukiman Kampung Naga

Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak dari Tasikmalaya menuju Kampung Adat Naga sekitar 30 km, sedangkan dari Garut 26 km. Pencapaian ke lokasi tidak sulit karena dekat dari jalan raya Garut-Singaparna. Luas kawasan kampung ini sekitar 10 Ha, terdiri dari kawasan hunian seluas 1,5 Ha, hutan lindungan atau hutan larangan 3,5 Ha, dan lahan kebun serta pertanian 5 Ha. Mata pencaharian penduduk Kampung Naga adalah bertani dengan sistem tadah hujan atau irigasi air pegunungan. Lahan pertanian diolah dengan cara dan peralatan tradisional serta menggunakan pupuk kandang. Sebagian penduduk juga menekuni pembuatan barang-barang kerajinan, seperti bakul boboko, kukusan aseupan, kipas, tampah nyiru , dan barang kreasi „baru‟. Nama “Kampung Naga” sendiri diduga berasal dari sebutan lokasinya, yaitu “kampung na gawir” yang berarti kampung yang berada di tebing Harun et al. 2011. Tata lingkungan Kampung Naga tidak lepas dari keberadaan Sungai Ciwulan yang sejak awal menjadi sumber kehidupan penduduk. Cara hidup menyatu dengan alam terlihat dari tatanan lingkungan Kampung Naga. Rumah tinggal tersusun menyebar ke arah Utara, Selatan dan Barat. Di sebelah Timur menghadap Sungai Ciwulan, terdapat gerbang masuk Kampung Naga. Sekeliling kampung dipagari dengan pagar bambu yang disebut kandang jaga, sehingga batas kampung pun terlihat jelas. Jumlah rumah di Kampung Naga dipertahankan sebanyak 108 rumah. Apabila jumlah penduduk bertambah, maka harus ada yang tinggal di luar area kampung ini. 13 Kampung Naga merupakan salah satu pemukiman tradisional yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi dalam membangun desanya. Sejumlah pantangan atau larangan terkait dengan rancangan dan penggunaan material bangunan yang mereka huni mencerminkan keyakinan-keyakinan yang positif terhadap kualitas lingkungan yang mereka harapkan bagi kehidupan mereka. Keyakinan semacam ini secara langsung memiliki arah yang sama dengan konsep arsitektur hijau, yakni bagaimana material bangunan diharapkan berasal dari jenis material yang renewable, serta material yang memiliki kandungan energi rendah karena tidak diproduksi oleh industri yang banyak mengonsumsi energi.