KATEGORI MANAJEMEN LINGKUNGAN BANGUNAN BUILDING ENVIRONMENT

25 bagian dunia, yaitu Dunia Atas buana nyungcung, Dunia Bawah buana larang dan Dunia Tengah buana panca tengah. Dunia atas bersifat perempuan kebijaksanaan dan penuh pertimbangan, dunia bawah bersifat laki-laki tanggung jawab dan pemenuhan kebutuhan dan dunia tengah bersifat campuran persatuan fungsi yang bisa dilakukan bersama Harun et al 2011. Berdasarkan Soeganda 1982, pada aplikasinya terhadap penggunaan lahan, Tri Tangtu tersebut berimplikasi terhadap pembagian tatanan kampung, yaitu Kawasan Suci , Kawasan Bersih, dan Kawasan Kotor Gambar 5. 1. Kawasan Suci , adalah suatu kawasan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang. Kawasan itu harus dijaga kesucian dan kelestariannya dari pengaruh-pengaruh luar dan diawasi secara bersama. Secara konkrit kawasan ini berupa makam leluhur yang terletak di bukit hutan larangan, sebelah Barat areal permukiman. Selain itu juga terdapat hutan tutupan yang berisi beragam tumbuhan yang berperan terhadap iklim mikro Kampung Naga. 2. Kawasan Bersih , adalah areal permukiman Kampung Naga. Areal ini dibatasi oleh pagar batas yang disebut kandang jaga. Di dalam areal permukiman, terdapat 113 bangunan yang terdiri dari 109 bangunan rumah, 1 balai pertemuan bale patemon, 1 masjid, 1 rumah pusaka Bumi Ageung dan 1 lumbung padi saung lisung. Rumah-rumah di Kampung Naga sejajar, menghadap ke Utara-Selatan dan memanjang Barat-Timur, serta tidak membelakangi bagian depan rumah lainnya. 3. Kawasan Kotor , adalah daerah permukaan tanah yang lebih rendah. Kawasan ini terletak di dekat Sungai Ciwulan. Kawasan kotor umumnya berisi fasilitas-fasilitas penunjang yang dianggap tabu pamali jika kegiatan di dalamnya dilakukan di areal permukiman kawasan bersih, seperti jamban, kolam balong, pancuran, tempat mencuci, saung lisung, tempat pembuangan sampah sementara TPS dan kandang ternak. Topografi tapak Kampung Naga berupa lembah, di antara bukit dan sungai. Kemiringan yang terbentuk terjadi pada arah Barat-Timur sehingga melahirkan aliran ruang yang dominan pada arah tersebut. Pola aliran udara, orientasi matahari dan curah hujan adalah elemen iklim yang berkenaan langsung dengan keseharian manusia. Pada tapak Kampung Naga, angin adalah gejala alam yang sangat dominan di antara faktor iklim lainnya. Lembah dan bukit menciptakan pola aliran angin yang spesifik, yaitu arah Timur-Barat. Pola peletakan massa linier searah aliran angin menciptakan lorong-lorong angin di antara massa bangunan. Pola vegetasi sekitar tapak, yaitu rimbunnya pepohonan di bukit membantu meredam angin kencang yang datang ke areal permukiman. Sinar matahari sebagai elemen iklim berkaitan erat dengan kelembaban suatu areal tertentu. Pola peletakan massa linier yang saling berdekatan satu dengan yang lain berpotensi menimbulkan kelembaban yang tinggi pada lorong-lorong di antara massa bangunan. Adanya aliran angin pada lorong tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi kelembaban. Masyarakat Kampung Naga menentukan sirkulasi pejalan kaki searah dengan pola aliran angin. Sirkulasi pejalan kaki ini diselingi dengan lahan-lahan terbuka untuk membentuk kantung-kantung udara. Berdasarkan pola ini tekanan dan kecepatan angin dapat optimal direduksi untuk kemudian didistribusikan ke setiap rumah yang ditata pada kedua jalur sirkulasi. 26 d Iklim Pemilihan lokasi di daerah lembah dan hutan rimbun, berdampak langsung pada penyesuaian iklim di Kampung Naga. Suhu rata-rata di wilayah sekitar kampung ini berkisar antara 21,5 o -23 o Celcius saat siang dan sore serta 18 o -20 o Celcius saat pagi dan malam. Angka curah hujan setiap tahun mencapai 3.468 mm. Kelembaban udara di daerah ini berkisar antara 61 - 73.

4.1.2 Aspek Sejarah

Kampung Naga memiliki cerita historis yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya sampai saat ini. Ada banyak versi mengenai sejarah berdirinya Kampung Naga, namun tidak terdapat catatan resmi. Salah satu cerita yang paling kuat di masyarakat, Kampung Naga berdiri pada masa kewalian Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, sekitar abad 15-16 Masehi. Seorang abdinya yang bernama Singaparana, yang juga putra bungsu Prabu Rajadipuntang, ditugasi untuk menyebarkan agama Islam dan membawa pusaka ke sebelah Barat. Suatu hari Singaparana mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersembunyi dari kejaran pemberontak yang mengincar pusaka yang dibawanya dan mendiami satu tempat di lereng bukit yang sekarang disebut Ka mpung Naga. Nama “Kampung Naga” sendiri diduga berasal dari sebutan lokasinya, yaitu “kampung na gawir”, yang berarti kampung yang berada di lerengtebing. Sebutan ini tampaknya lama kelamaan menjadi kampung na ga- wir, yang kemudian menjadi “Kampung Naga” Harun et al, 2011. Pada awal pembangunan Kampung Naga, Singaparana beserta pengikutnya telah memiliki pengetahuan lokal mengenai lingkungan di tanah Sunda. Pemilihan mengenai tapak yang baik atau yang buruk telah dibukukan dalam warugan lemah, yaitu sebuah ketentuan pemilihan tapak Sunda wiwitan Sunda kuno. Masyarakat Sunda adat menjalankan kehidupan dengan pemahaman ekologis yang sangat kuat serta tunduk terhadap aturan alam. Masyarakat percaya hidup Gambar 5 Pembagian Tatanan Kampung Padma et. al, 2011