27 berdampingan dengan alam, dan tidak melawan siklus alam, maka alam turut
menjaga kelestarian kehidupan mereka. Kampung Naga pernah mengalami rekontruksi massal setelah masa
pemberontakan separatis islam DITII pada tahun 1956. Pemberontak pada masa itu membakar habis Kampung Naga yang menjadi tempat persembunyiannya,
untuk menghapus jejak keberadaannya. Namun setelah polemik DITII usai, masyarakat membangun kembali kampungnya sesuai dengan tata letak semula.
Beruntung, semua material yang digunakan untuk membangun kampung berasal dari lingkungan sekitar, sehingga rekontruksi berjalan lancar dan sesuai kondisi
kampung semula. Masyarakat semakin menyadari bahwa rentannya fisik kampung terhadap penyebab bencana seperti api. Oleh karena itu, listrik yang diketahui
sebagai salah satu pemicu kebakaran, dilarang masuk ke areal permukiman Kampung Naga.
4.1.3 Aspek Sosial dan Budaya
Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat di Indonesia yang memiliki lingkungan arsitektural khas, yaitu lingkungan arsitektur tradisional
Sunda. Lingkungan arsitektural ini terbentuk oleh banyak sebab. Pada kasus Kampung Naga, aspek sosial, budaya dan agama sangat kuat mempengaruhi
perkembangan kampung yang relatif lambat dalam puluhan tahun terakhir. Masyarakat Kampung Naga membentengi cara hidup mereka dengan aturan adat
yang kuat. Pola kampung yang sederhana dan unik secara arsitektural, mencerminkan sistem organisasi sosial kemasyarakatan komunal. Sistem ini
menjelaskan bahwa kepentingan bersama berada di atas kepentingan pribadi. Aturan yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, tata lingkungan dan
arsitektur dilaksanakan dengan relatif patuh oleh masyarakatnya.
Penduduk asli areal permukiman Kampung Naga dikenal dengan sebutan Sanaga. Pada data tahun 2013, jumlah sanaga di kampung ini sekitar 315 jiwa
atau sekitar 112 KK dan mengisi sekitar 109 bangunan rumah tinggal adat di areal permukiman. Keseluruhan masyarakat adat Kampung Naga dipimpin oleh seorang
kuncen yang disebut Kuncen Naga atau disebut juga juru kunci. Seorang Kuncen yang biasanya seorang laki-laki, mengemban tugas untuk menjaga dan
melestarikan pusaka dan adat Kampung Naga, di antaranya ialah menjadi utusan kampung dan memimpin upacara ritual adat Kampung Naga Suryani 2013.
Masyarakat adat Kampung Naga memiliki sistem upacara ritual adat sesuai penanggalan islam. Terdapat enam kali upacara adat yang berlangsung dalam
setahun. Upacara tersebut disebut juga dengan upacara Hajat Sasih yang merupakan upacara ziarah makam leluhur. Hajat Sasih dilaksanakan pada:
a. Bulan Muharam, tanggal 26, 27 atau 28
b. Bulan Maulud, tanggal 12, 13 atau 14
c. Bulan Jumadil Akhir, tanggal 16, 17 atau 18
d. Bulan Ruwah Sya‟ban, tanggal 14, 15 atau 16
e. Bulan Syawal, tanggal 1, 2 atau 3
f. Bulan Rayagung Zulhijah, tanggal 10, 11 atau 12
Di samping itu juga terdapat upacara lain di luar Hajat Sasih, seperti upacara Mauludan yakni merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW, upacara
atau tradisi Nyiram, yakni upacara pembersihan pusaka di Kampung Naga, tradisi Gusaran atau dikenal juga dengan upacara khitanan bagi anak laki-laki dan tradisi
28 perkawinan atau upacara sawer. Di luar upacara tersebut, terdapat juga aturan
menyepi bagi masyarakat Kampung Naga, yakni tabu sifatnya jika membicarakan hal yang berkaitan dengan adat istiadat. Aturan ini bertujuan memberi
kesempatan pada warga untuk berinstropeksi dan bertenang diri pada kehidupan yang telah dilakukan, serta menjaga amanat dan wasiat agar tidak dilanggar dan
tidak menimbulkan malapetaka. 4.1.4 Aspek Ekonomi
Mata pencaharian pokok masyarakat Kampung Naga adalah bertani. Bertani merupakan pemenuhan kebutuhan yang dilakukan secara turun temurun. Hampir
setiap warga memiliki lahan pertanian yang dapat mereka garap sendiri. Warga mengolah lahan yang tidak begitu luas dan sesuai dengan skala tenaga manusia.
Aspek pertanian ini pula yang mempengaruhi penataan lanskap kampung seperti adanya lahan yang lapang untuk proses penjemuran padi dan upacara panen,
adanya saung lisung lumbung padi, sampai penataan ruang dalam rumah tinggal di mana terdapat gowah, yaitu ruang untuk menyimpan hasil panen dalam rumah.
Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga masih sangat sederhana dan tradisional. Masyarakat tidak pernah melakukan
intensifikasi, selain karena tradisi, sistem pertanian tradisional dinilai lebih ekonomis. Oleh karena petakan lahan pertanian yang tidak begitu luas dan sesuai
dengan skala manusia, maka peralatan yang diperlukan pun hanya cangkul dan tenaga manusia. Pola tanam di Kampung Naga juga menggunakan pola tanam
serentak, sehingga memilimalisir serangan hama dan penggunaan pestisida. Kondisi lahan yang berundak-undak dan ketersedian mata air, membuat pengairan
sawah-sawah di kampung ini tidak memiliki masalah. Hasil dari bertani ini pada umumnya menjadi konsumsi pribadi warga Kampung Naga, namun beberapa
warga juga menjualnya ke luar kampung.
Selain bertani, warga juga memiliki keterampilan untuk berdagang dan membuat kerajinan tangan berupa pernak-pernik untuk cinderamata. Kegiatan
semacam ini didukung oleh pariwisata yang berkembang di Kabupaten Tasikmalaya. Pemerintah daerah mempromosikan kampung ini sebagai tujuan
wisata dan memberikan penyuluhan pada warga bagaimana bersikap menghadapi wisatawan
dan memanfaatkan
pariwisata. Penduduk
dalam kampung
memanfaatkan pariwisata dengan menjual hasil karya kerajinan mereka yang mayoritas berupa anyaman bambu. Beberapa penduduk lain menjajakan makanan
dan jajanan untuk melayani wisatawan. Kondisi ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada keadaan sosial budaya masyarakat. Aturan adat yang kuat dan
dipegang erat oleh tetua adat tidak boleh dilanggar oleh masyarakat adat.
Kebanyakan pemuda Kampung Naga yang tidak bertani dan berdagang di dalam kampung, memiliki pengalaman merantau ke luar kampung untuk
berdagang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bandung. Beberapa warga memiliki hewan ternak seperti domba, ayam, itik atau ikan. Pada
umumnya, kebutuhan primer masyarakat Kampung Naga, dapat mereka penuhi sendiri melalui sistem pertanian terpadu dan perdagangan. Masyarakat mengolah
lingkungan alam dengan agroforestry perpaduan sawah dan pohon produksi di kebun, agropastural perpaduan sawah dan ternak dan livestockfishery
perpaduan ternak dan kolam ikan.
29
4.2 Tepat Guna Lahan Kampung Naga
Lanskap perkampungan Kampung Adat Naga terletak pada suatu lereng yang cukup curam. Masyarakat pendahulu kampung ini menyiasatinya dengan
rekayasa tapak berupa terasering atau berundak-undak. Pemilihan tapak Kampung Naga memiliki pertimbangan tertentu. Menurut Harun et al. 2011, masyarakat
Sunda menentukan mana tapak yang baik maupun buruk berdasarkan bagaimana letaknya, kemiringannya, nilai historisnya, warna dan aroma lahan serta bentuk
alamiah lahan tersebut. Penentuan itu tercantum pada naskah kuno yang disebut Sanghyang Siksakandang Karesian. Terdapat 19 kategori lahan yang bersifat
buruk dan 7 kategori yang bersifat baik bagi pemukiman Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3 Daftar lahan bersifat negatif mala ning lemah
No Nama Lahan Negatif
Uraian 1
Sodong Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran sungai yang
berbelok sehingga sisi luarnya tergerus dan menjadi lubuk Sunda: leuwi tempat persembunyian ikan Coolsma Sp.. Dapat diartikan
sebagai ceruk atau goa dangkal yang umumnya pada tebing.
2 Sarongge
Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat dipercaya menjadi pangkalan setan, jurig, dan ririwa.
3 Cadas Gantung
Padas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk naungan shelter alami.
4 Mungkal Pategang
Bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan yang dikelilingi oleh bongkahan karang atau gundukan batuan di
sekelilingnya. 5
Lebak Lurah atau ngarai, yakni permukaan lantai jurang, terlindung dari
pandangan dan sinar matahari. 6
Rancak Batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung oleh batu-batu
besar sehingga sulit dihampiri. 7
Kebakan Badak Kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk berkubang oleh
badak. 8
Catang Nunggang Batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah. Merupakan
lahan yang ditengahnya dipisahkan oleh satu selokanngarai, namun dihubungkan oleh suatu jembatan alami berupa cadas atau karang.
9 Catang Nonggeng
Batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni, sebidang lahan yang lokasinya terletak pada lereng yang curam.
10 Garunggungan
Lahan membukit kecil. 11
Lemag Sahar Lahan panas, sangar, tempat bekas terjadinya pembunuhan, atau
pertumpahan darah. 12
Garenggengan Lahan kering permukaannya, namun di bawahnya berlumpur.
13 Dangdang Wariyan
Dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang.
14 Hunyur
Sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit kecil atau gundukan lahan, lebih kecil dari gunung Sunda: incuna gunung.
Gunung, pasir, hunyur. 15
Lemah Laki Lahan tandus, atau lahan berbentuk dinding curam.
16 Pitunahan Celeng
Tempat berkeliaran babi. 17
Kolomberan Kecomberan, atau genangan air yang mandeg.
18 Jarian
Tempat pembuangan sampah. 19
Sema Kuburan.
Sumber: Harun et al. 2011
30 Tabel 4 Daftar lahan bersifat positif
No Nama
Uraian 1
Galudra Ngupuk Lahan yang letaknya diantara dua bukit atau gunung: lahan yang
mendatangkan kekayaan duniawi. 2
Pancuran Emas Lahan yang posisinya tepat di lereng bukit atau gunung yang
menurun dan menghadap ke arah Barat Daya: mendirikan bangunan pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya
3 Satria Lalaku
Lahan yang berada di lereng bukit atau gunung yang menurun menghadap ke arah tenggara: Penghuni lokasi ini hidup prihatin
namun tidak kekurangan harta benda. 4
Kancah Nangkub Lahan di puncak perbukitan atau gundukan lahan dan dikelilingi
pegunungan: penduduk atau penghuni lokasi ini sehat sejahtera. 5
Gajah Palisungan Lahan datar yang berada di puncak bukit: lahan seperti ini akan
dapat mendatangkan banyak kekayaan duniawi. 6
Bulan Purnama Desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada lahan yang
dialiri sungai dekat mata air di arah Utara. Sedangkan arah bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di arah Barat dan
Timur.
7 Kampung Gajah Katunan
Kampung yang letaknya di dataran rendah, dikelilingi bukit atau pasir.
Sumber: Harun et al. 2011 Pemilihan lokasi Kampung Naga sendiri dianggap baik karena terletak pada
lahan di antara dua buah bukit Galudra Ngupuk, berada pada kelerengan yang menurun condong ke arah tenggara Satria Lalaku dan berada pada lokasi yang
dialiri oleh dua buah sungai Sungai Ciwulan di Barat dan Timur Bulan Purnama seperti pada Gambar 6. Selain itu secara konsep tata lahan Sunda,
apabila lahan sebelah Barat lebih tinggi dan sebelah Timur lebih rendah, itu menunjukkan lahan yang baik untuk dijadikan lahan pekarangan. Lahan seperti ini
dianggap memberi banyak berkah.
Pemilihan tapak pemukiman dengan cara seperti ini merupakan tindakan menjaga kearifan lokal dalam masyarakat. Warga membangun kampung secara
holistik dan mereka percaya pada pepatah, suruhan serta larangan dari para sesepuh kampung. Pemahaman alamiah yang berkaitan langsung dengan
Gambar 6 Pemilihan lokasi pembangunan kampung
31 bagaimana alam bekerja. Pada zaman dahulu perbukitan atau pegunungan menjadi
lahan yang subur bagi kegiatan bercocok tanam. Suhu yang relatif sejuk dan curah hujan yang optimal menjadi salah satu alasan mengapa vegetasi di sekitar lahan
perbukitan tumbuh dengan baik. Curah hujan rata-rata Kampung Naga sekitar 3.468 mm per tahun, sangat baik bagi lahan bercocok tanam. Keberadaan
pemukiman yang berjejer dari Barat atas tumpah ke Timur bawah memiliki fungsi yang baik bagi sirkulasi udara dan angin yang berhembus ke arah timur.
Kondisi ini menyebabkan kelembaban tinggi yang terjadi oleh rimbunnya pepohonan, dapat direduksi optimal oleh angin, sehingga suhu di area pemukiman
menjadi sejuk Gambar 7. Penentuan selanjutnya ialah terdapatnya sungai Ciwulan yang mengalir dari bagian Barat Kampung Naga dan bagian Timur
kampung. Tentu saja sungai merupakan sumber penghidupan bagi manusia dan juga makhluk lainnya.
Menurut tolok ukur GREENSHIP, aspek tepat guna lahan meliputi penilaian area hijau, adanya infrastruktur pendukung, aksesibilitas kampung, sistem
pengendalian hama, sistem transportasi masyarakat dan adanya penanganan limpasan air hujan.
4.2.1 Area Hijau
Selain pemilihan lokasi pemukiman, kesejukan Kampung Naga juga dipengaruhi oleh rerimbunan vegetasi yang mengelilingi area permukiman.
Sampai sekitar radius 0,5 – 3 kilometer sekeliling area permukiman seluas 1,5 ha,
merupakan area kebun dan hutan. Terdapat pula hutan larangan yang terletak di seberang Sungai Ciwulan di bagian Timur yang tidak boleh dimasuki oleh
manusia Gambar 8. Suatu tindakan pelestarian atau konservasi hutan melalui Gambar 7 Proses reduksi kelembaban pada vegetasi oleh angin
Gambar 8 Hutan larangan, ruang terbuka sebagai area konservasi
32 mitos-mitos yang dikembangkan di masyarakat. Oleh karena itu, ruang terbuka di
sekitar Kampung Naga masih terbilang lebih dominan dibanding ruang terbangun. Untuk mengukur area hijau di Kampung Naga, perlu diketahui Koefisien
Daerah Hijau KDH tapak. Menurut Green Building Council Indonesia, Koefesien Daerah Hijau KDH adalah angka persentase perbandingan antara
luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamananpenghijauan dan luas tanah perpetakandaerah perencanan yang
dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
KDH = RHDP x 100 Di mana ;
KDH : Koefisien Daerah Hijau 100 RH : Ruang HijauLuas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang
diperuntukkan bagi pertamananpenghijauan m
2
dan bebas struktur bangunan
DP : Daerah PerencanaanLuas tanah perpetakanyang dikuasai m
2
Pada penggunaan formula demikian, perlu diketahui luas tanah perpetakan daerah yang dikuasai DP dalam skala makro area permukiman inti dan skala
mikro area kavling bangunan. Namun, untuk skala makro, batas wilayah kampung tidak begitu jelas sehingga luasan tanah disesuaikan dengan luas areal
permukiman inti yang dibatasi kandang jaga, yaitu seluas 1,5 Ha. Luasan ini hanya sebagian dari luas tanah ulayat hak adat yang ditangguhkan
pertanggungjawabannya kepada masyarakat adat Gambar 9.
Gambar 9 Batas area permukiman inti Kampung Naga