26
d Iklim Pemilihan lokasi di daerah lembah dan hutan rimbun, berdampak langsung
pada penyesuaian iklim di Kampung Naga. Suhu rata-rata di wilayah sekitar kampung ini berkisar antara 21,5
o
-23
o
Celcius saat siang dan sore serta 18
o
-20
o
Celcius saat pagi dan malam. Angka curah hujan setiap tahun mencapai 3.468 mm. Kelembaban udara di daerah ini berkisar antara 61 - 73.
4.1.2 Aspek Sejarah
Kampung Naga memiliki cerita historis yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya sampai saat ini. Ada banyak versi
mengenai sejarah berdirinya Kampung Naga, namun tidak terdapat catatan resmi. Salah satu cerita yang paling kuat di masyarakat, Kampung Naga berdiri pada
masa kewalian Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, sekitar abad 15-16 Masehi. Seorang abdinya yang bernama Singaparana, yang juga putra
bungsu Prabu Rajadipuntang, ditugasi untuk menyebarkan agama Islam dan membawa pusaka ke sebelah Barat. Suatu hari Singaparana mendapat ilapat atau
petunjuk untuk bersembunyi dari kejaran pemberontak yang mengincar pusaka yang dibawanya dan mendiami satu tempat di lereng bukit yang sekarang disebut
Ka
mpung Naga. Nama “Kampung Naga” sendiri diduga berasal dari sebutan lokasinya, yaitu “kampung na gawir”, yang berarti kampung yang berada di
lerengtebing. Sebutan ini tampaknya lama kelamaan menjadi kampung na ga- wir, yang kemudian menjadi “Kampung Naga” Harun et al, 2011.
Pada awal pembangunan Kampung Naga, Singaparana beserta pengikutnya telah memiliki pengetahuan lokal mengenai lingkungan di tanah Sunda. Pemilihan
mengenai tapak yang baik atau yang buruk telah dibukukan dalam warugan lemah, yaitu sebuah ketentuan pemilihan tapak Sunda wiwitan Sunda kuno.
Masyarakat Sunda adat menjalankan kehidupan dengan pemahaman ekologis yang sangat kuat serta tunduk terhadap aturan alam. Masyarakat percaya hidup
Gambar 5 Pembagian Tatanan Kampung Padma et. al, 2011
27 berdampingan dengan alam, dan tidak melawan siklus alam, maka alam turut
menjaga kelestarian kehidupan mereka. Kampung Naga pernah mengalami rekontruksi massal setelah masa
pemberontakan separatis islam DITII pada tahun 1956. Pemberontak pada masa itu membakar habis Kampung Naga yang menjadi tempat persembunyiannya,
untuk menghapus jejak keberadaannya. Namun setelah polemik DITII usai, masyarakat membangun kembali kampungnya sesuai dengan tata letak semula.
Beruntung, semua material yang digunakan untuk membangun kampung berasal dari lingkungan sekitar, sehingga rekontruksi berjalan lancar dan sesuai kondisi
kampung semula. Masyarakat semakin menyadari bahwa rentannya fisik kampung terhadap penyebab bencana seperti api. Oleh karena itu, listrik yang diketahui
sebagai salah satu pemicu kebakaran, dilarang masuk ke areal permukiman Kampung Naga.
4.1.3 Aspek Sosial dan Budaya
Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat di Indonesia yang memiliki lingkungan arsitektural khas, yaitu lingkungan arsitektur tradisional
Sunda. Lingkungan arsitektural ini terbentuk oleh banyak sebab. Pada kasus Kampung Naga, aspek sosial, budaya dan agama sangat kuat mempengaruhi
perkembangan kampung yang relatif lambat dalam puluhan tahun terakhir. Masyarakat Kampung Naga membentengi cara hidup mereka dengan aturan adat
yang kuat. Pola kampung yang sederhana dan unik secara arsitektural, mencerminkan sistem organisasi sosial kemasyarakatan komunal. Sistem ini
menjelaskan bahwa kepentingan bersama berada di atas kepentingan pribadi. Aturan yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, tata lingkungan dan
arsitektur dilaksanakan dengan relatif patuh oleh masyarakatnya.
Penduduk asli areal permukiman Kampung Naga dikenal dengan sebutan Sanaga. Pada data tahun 2013, jumlah sanaga di kampung ini sekitar 315 jiwa
atau sekitar 112 KK dan mengisi sekitar 109 bangunan rumah tinggal adat di areal permukiman. Keseluruhan masyarakat adat Kampung Naga dipimpin oleh seorang
kuncen yang disebut Kuncen Naga atau disebut juga juru kunci. Seorang Kuncen yang biasanya seorang laki-laki, mengemban tugas untuk menjaga dan
melestarikan pusaka dan adat Kampung Naga, di antaranya ialah menjadi utusan kampung dan memimpin upacara ritual adat Kampung Naga Suryani 2013.
Masyarakat adat Kampung Naga memiliki sistem upacara ritual adat sesuai penanggalan islam. Terdapat enam kali upacara adat yang berlangsung dalam
setahun. Upacara tersebut disebut juga dengan upacara Hajat Sasih yang merupakan upacara ziarah makam leluhur. Hajat Sasih dilaksanakan pada:
a. Bulan Muharam, tanggal 26, 27 atau 28
b. Bulan Maulud, tanggal 12, 13 atau 14
c. Bulan Jumadil Akhir, tanggal 16, 17 atau 18
d. Bulan Ruwah Sya‟ban, tanggal 14, 15 atau 16
e. Bulan Syawal, tanggal 1, 2 atau 3
f. Bulan Rayagung Zulhijah, tanggal 10, 11 atau 12
Di samping itu juga terdapat upacara lain di luar Hajat Sasih, seperti upacara Mauludan yakni merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW, upacara
atau tradisi Nyiram, yakni upacara pembersihan pusaka di Kampung Naga, tradisi Gusaran atau dikenal juga dengan upacara khitanan bagi anak laki-laki dan tradisi