10
2.5 Arsitektur Tradisional Indonesia
Arsitektur tradisional dapat disebut juga dengan arsitektur vernakular. Beberapa menyebutkan bahwa arsitek vernakular adalah arsitektur “setempat”,
“primitif” atau “asli”. Akan terlihat, bahwa penyebutan “primitif” yang seringkali dikaitkan dengan kesederhanaan yang dimiliki oleh bentuk suatu arsitektur
menurut cara pandang konvensional, banyak mengandung kesalahan. Kata
vernakular sendiri memang berarti “setempat” native. Suatu arsitektur adalah vernakular apabila memenuhi kriteria-kriteria yang terkait dengan lingkungan
masyarakat tertentu dilihat dari pengaturan material, teknologi, aturan, dan sistem sosial atau sistem budayanya Wiranto 1999.
Aturan dan sistem sosial budaya setempat yang berlaku dalam menghasilkan arsitektur vernakular, dengan sendirinya menyiratkan adanya sebuah tradisi. Hal
ini dikarenakan, untuk membuat adanya peran sistem sosial atau budaya setempat di dalam pembentukan arsitektur vernakular, diperlukan waktu yang panjang,
yang selanjutnya diturunkan pada generasi-generasi berikutnya. Tradisi dan kondisi kebersamaan komunitas adalah dua faktor penting dalam penciptaan
bentuk-bentuk dasar dari permukiman dan penciptaan unsur-unsur dari suatu kelompok budaya, walaupun banyak faktor lain yang menghasilkan bentuk dan
tatanan rumah permukiman vernakular Harun et al. 2011. Sebagai contoh, pendirian rumah di permukiman adat mengikuti aturan-aturan adat tentang
penggunaan bahan, peletakkan rumah, bentuk rumah, dan sebagainya. Aturan-
aturan ini mengandung “sanksi”, bisa yang kongkrit berupa sanksi adat, atau berupa tabu yang menyiratkan akibat-akibat apabila dilanggar.
Menurut Turan 1990 dalam Harun et al. 2011, melalui bentuk rumah atau permukiman yang dihasilkan melalui alur-alur tersebut, arsitektur tradisional
atau vernakular adalah hasil aktivitas dan upaya mencapai kesesuaian lingkungan ketimbang suatu pengetahuan yang diaplikasikan. Aktivitasnya merupakan cara
untuk merespon kondisi yang ada, memenuhi kebutuhan-kebutuhan lingkungan tertentu bagi sekelompok manusia tertentu atau komunitas tertentu. Sedangkan
lebih jauh lagi, menurut Oliver 1997 dalam Harun et al. 2011, arsitektur vernakular umumnya mengandung bentuk embodies nilai-nilai suatu komunitas,
bahkan menyimbolkan konsep kosmos. Atau bertindak sebagai suatu analogi untuk suatu abstraksi kepercayaan tertentu. Oleh karena itu bahkan suatu rumah
atau hunian yang sederhana dalam suatu tradisi vernakular mungkin merefleksikan suatu dunia material dan spiritual dari pembangun dan
penghuninya.
Menurut Prij otomo dan Sulistyowati 2009, istilah „Arsitektur Tradisional
Indonesia‟ merupakan istilah yang diberikan oleh ilmuwan dan penulis kolonial Belanda di zaman sebelum perang dunia ke II. Sebutan yang berasal dari kata
Belanda ‘traditioneele architectuur’ itu diberikan bagi karya-karya arsitektur asli
daerah di Indonesia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah untuk membedakan jenis arsitektur yang timbul, berkembang dan merupakan
karakteristik suku-suku bangsa di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh atas dasar perkembangan Arsitektur di Eropa, khususnya Belanda. Alasan kedua
adalah karena masyarakat asli Indonesia masih mempertahankan bentuk arsitekturnya sebagai warisan dari generasi ke generasi tanpa menunjukkan
adanya perubahan mendasar.
11
2.6 Kondisi Umum Permukiman Tradisional di Jawa Barat
Permukiman tradisional tersebar di seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat, baik di wilayah pesisir dataran rendah yang lebih panas suhunya maupun di
wilayah pegunungan dataran tinggi yang dikenal sebagai daerah sejuk. Perbedaan geografis dan perbedaan kondisi sosio-ekonomi wilayahnya, perdesaan
atau perkotaan, memberi warna tersendiri pada sifat fisik wilayahnya serta kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat yang tinggal di
dalamnya termasuk perkembangan dan perubahannya Harun et al. 2011.
Kearifan-kea rifan adalah “kekayaan” yang terdapat di banyak permukiman
tradisional Sunda di Jawa Barat. Ada pemeo yang berbunyi Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana. Pemeo ini mengandung makna bahwa lahan yang subur harus
tetap terjaga dan tetap subur, sumber air tidak tercemar, udara terjaga bersih, semua makhluk hidup mendapat ruang hidup masing-masing sesuai dengan waktu
dan tempatnya. Hal ini yang menjadi dasar bagaimana masyarakat adat Sunda memanfaatkan lahan Depdikbud 1982.
Dalam kearifan lokal, air menjadi titik pusat kehidupan sanghyang udel layaknya raga yang berpusat pada perut di tengah-tengah. Mata air sendiri dalam
kearifan Sunda akan disebut sebagai sanghyang pertiwi karena keluar dari perut bumi. Pandangan-Pandangan yang berkaitan dan yang mendasari terhadap
pemahaman lingkungan dalam adat Sunda adalah:
- Pandangan tentang alam. Masyarakat sunda memiliki falsafah, bahwa
antara manusia dan alam merupakan sebuah bagian yang menyatu. Manusia merupakan sebuah bagian dari sub sistem alam “seke seler ”
hingga memiliki kesamaan rasa dan ikatan batin dan lahir yang sangat kuat.
- Pandangan tentang gunung. Selain memandang sebagai sumber utama
kehidupan, gunung juga diyakini sebagai salah satu tempat yang memberikan unsur sistem tubuh bagi manusia dalam wujud “sari pati”
yang ditransfo rmasikan melalui “air”. Maka penamaan bagian-bagian
gunung pun sama dengan penamaan bagian tubuh manusia. Pandangan-pandangan tersebut diatas sesuai dengan konsep ekologi,
yaitu dimana hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya sangat berkaitan erat dengan pola perkembangan suatu wilayah. Manusia mempunyai
tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, perkembangan dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu dapat
mempengaruhi perubahan-perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan masyarakat, urbanisasi, pertanian, ekonomi dan sosial budaya. Penggambaran dari
pandangan dan pemahaman kearifan lokal Sunda di atas, dapat dilihat pada Gambar 2.
Pemukiman adat Sunda mengenal aturan dan tata cara dalam menentukan suatu wilayah yang cocok untuk dijadikan tempat bermukim. Terdapat aturan
Sunda kuno yang disebut warugan lemah, yang berisi jenis-jenis lahan yang baik dan tidak baik untuk ditinggali. Konsep kosmologis, yaitu hubungan antara
manusia – Tuhan – alam, menjadi dasar pemikiran masyarakat terdahulu
bahwasanya manusia harus hidup berdampingan dengan kepercayaan terhadap Tuhan agama dan kekuatan alam Handayani 2013. Oleh karena itulah pada
perkampungan adat Sunda biasanya masih terdapat rerimbunan hutan dan aliran sungai serta hidup dalam lingkungan rohani yang kental.
12
Gambar 2 Pandangan dan Kearifan Lokal Sunda Renovatio 2011
2.7 Kondisi Permukiman Kampung Naga
Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak dari Tasikmalaya menuju Kampung
Adat Naga sekitar 30 km, sedangkan dari Garut 26 km. Pencapaian ke lokasi tidak sulit karena dekat dari jalan raya Garut-Singaparna. Luas kawasan kampung
ini sekitar 10 Ha, terdiri dari kawasan hunian seluas 1,5 Ha, hutan lindungan atau hutan larangan 3,5 Ha, dan lahan kebun serta pertanian 5 Ha. Mata
pencaharian penduduk Kampung Naga adalah bertani dengan sistem tadah hujan atau irigasi air pegunungan. Lahan pertanian diolah dengan cara dan peralatan
tradisional serta menggunakan pupuk kandang. Sebagian penduduk juga menekuni pembuatan barang-barang kerajinan, seperti bakul boboko, kukusan
aseupan, kipas, tampah nyiru
, dan barang kreasi „baru‟. Nama “Kampung Naga” sendiri diduga berasal dari sebutan lokasinya, yaitu “kampung na gawir”
yang berarti kampung yang berada di tebing Harun et al. 2011. Tata lingkungan Kampung Naga tidak lepas dari keberadaan Sungai
Ciwulan yang sejak awal menjadi sumber kehidupan penduduk. Cara hidup menyatu dengan alam terlihat dari tatanan lingkungan Kampung Naga. Rumah
tinggal tersusun menyebar ke arah Utara, Selatan dan Barat. Di sebelah Timur menghadap Sungai Ciwulan, terdapat gerbang masuk Kampung Naga. Sekeliling
kampung dipagari dengan pagar bambu yang disebut kandang jaga, sehingga batas kampung pun terlihat jelas. Jumlah rumah di Kampung Naga dipertahankan
sebanyak 108 rumah. Apabila jumlah penduduk bertambah, maka harus ada yang tinggal di luar area kampung ini.