24
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakter Lanskap Kampung Naga
4.1.1  Aspek Fisik a Geografis
Kampung  Naga  atau  Kampung  Adat  Naga  merupakan  wilayah  adat  yang secara  administratif  terletak  di  Desa  Neglasari,  Kecamatan  Salawu,  Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak dari Tasikmalaya menuju Kampung Naga sekitar 30  km,  sedangkan  dari  arah  Kabupaten  Garut  sekitar  26  km.  Tidak  disebutkan
jelas  mengenai  batas  kampung  karena  masyarakat  Kampung  Naga  tidak  hanya berada di satu wilayah dan masih memiliki keterikatan adat. Namun, terdapat area
inti yang merupakan permukiman pusat dari Kampung Adat Naga dengan batasan jelas berupa pagar yang disebut kandang jaga. Luas area kawasan Kampung Naga
sekitar  10  Ha,  terdiri  dari  kawasan  hunian  batas  kandang  jaga  seluas  1,5  Ha, hutan lindung atau hutan larangan seluas 3,5 Ha, dan lahan kebun serta pertanian
seluas 5 Ha. Secara fisik, batas Kampung Naga ini meliputi:
Utara : Kampung Nangtang, Kecamatan Cigalontang
Barat : Lahan kebun dan pemakaman leluhur
Timur : Sungai Ciwulan, Hutan Larangan, Kampung Babakan
Selatan : Bukit dan Jl. Raya Tasikmalaya-Garut
Secara  umum,  Kampung  Naga  dikelilingi  oleh  ruang  terbuka  hijau  seperti hutan yang luas radius 200 m dari areal permukiman, berada di lereng lembah
dan memiliki sumber air dari resapan Sungai Ciwulan yang terdapat di Barat dan Timur kawasan. Untuk memasuki permukiman pusat Kampung Naga, masyarakat
harus  menuruni  anak  tangga  yang  jumlahnya  439  buah.  Oleh  karena  itu  warga tidak dapat membawa kendaraan ke dalam kampung. Jarak antara Kampung Naga
dengan akses kendaraan terdekat adalah 1000 langkah sekitar 500 meter.
b Topografi Kampung  Naga  terletak  di  Desa  Neglasari  dengan  topografi  dominan
perbukitan  dan  pegunungan.  Desa  Neglasari  sendiri  memiliki  luas  305  Ha  yang terdiri  dari  121,05  Ha  lahan  topografi  datar  dan  183,95  lahan  dengan  topografi
perbukitan  dan  pegunungan.  Kampung  Naga  berada  di  suatu  lembah berketinggian  rata-rata  500  meter  di  atas  permukaan  laut  Suryani  2013.  Jenis
tanah  di  wilayah  ini  adalah  tanah  latosol  lempung  berpasir  kemerahan  yang berasal  dari  erupsi  Gunung  Galunggung.  Kondisi  kampung  yang  berada  pada
lereng  curam  dari  Barat  ke  Timur  membuat  penduduk  Kampung  Naga merekayasa  lahan  permukiman  dengan  membentuk  undakan-undakan  sistem
teras datar untuk dibangun rumah dan fasilitas-fasilitas kampung lainnya.
c Tata Guna Lahan Di  kalangan  masyarakat  Sunda  buhun  lama  dikenal  azas  kesatuan  tiga,
yang  disebut  sebagai  Tri  Tangtu.  Azas  ini  mendasari  berbagai  aspek  peri kehidupan  masyarakat  Sunda,  baik  yang  bersifat  fisik  maupun  sosial,  termasuk
hubungan kekuasaan. Terdapat pembagian kosmologi Sunda yang terdiri atas tiga
25 bagian dunia, yaitu Dunia Atas buana nyungcung, Dunia Bawah buana larang
dan  Dunia  Tengah  buana  panca  tengah.  Dunia  atas  bersifat  perempuan kebijaksanaan  dan  penuh  pertimbangan,  dunia  bawah  bersifat  laki-laki
tanggung jawab dan pemenuhan kebutuhan dan dunia tengah bersifat campuran persatuan fungsi yang bisa dilakukan bersama Harun et al 2011.
Berdasarkan Soeganda 1982, pada aplikasinya terhadap penggunaan lahan, Tri  Tangtu  tersebut  berimplikasi  terhadap  pembagian  tatanan  kampung,  yaitu
Kawasan Suci , Kawasan Bersih, dan Kawasan Kotor Gambar 5.
1. Kawasan  Suci
,  adalah  suatu  kawasan  yang  tidak  boleh  dikunjungi oleh  sembarang  orang.  Kawasan  itu  harus  dijaga  kesucian  dan
kelestariannya  dari  pengaruh-pengaruh  luar  dan  diawasi  secara bersama.  Secara  konkrit  kawasan  ini  berupa  makam  leluhur  yang
terletak  di  bukit  hutan  larangan,  sebelah  Barat  areal  permukiman. Selain  itu  juga  terdapat  hutan  tutupan  yang  berisi  beragam  tumbuhan
yang berperan terhadap iklim mikro Kampung Naga.
2. Kawasan Bersih
, adalah areal permukiman Kampung Naga. Areal ini dibatasi  oleh  pagar  batas  yang  disebut  kandang  jaga.  Di  dalam  areal
permukiman,  terdapat  113  bangunan  yang  terdiri  dari  109  bangunan rumah,  1  balai  pertemuan  bale  patemon,  1  masjid,  1  rumah  pusaka
Bumi  Ageung  dan  1  lumbung  padi  saung  lisung.  Rumah-rumah  di Kampung Naga sejajar,  menghadap ke Utara-Selatan dan memanjang
Barat-Timur, serta tidak membelakangi bagian depan rumah lainnya.
3. Kawasan  Kotor
,  adalah  daerah  permukaan  tanah  yang  lebih  rendah. Kawasan  ini  terletak  di  dekat  Sungai  Ciwulan.  Kawasan  kotor
umumnya  berisi  fasilitas-fasilitas  penunjang  yang  dianggap  tabu pamali  jika  kegiatan  di  dalamnya  dilakukan  di  areal  permukiman
kawasan  bersih,  seperti  jamban,  kolam  balong,  pancuran,  tempat mencuci,  saung  lisung,  tempat  pembuangan  sampah  sementara  TPS
dan kandang ternak.
Topografi tapak Kampung Naga berupa lembah, di antara bukit dan sungai. Kemiringan  yang  terbentuk  terjadi  pada  arah  Barat-Timur  sehingga  melahirkan
aliran  ruang  yang  dominan  pada  arah  tersebut.  Pola  aliran  udara,  orientasi matahari  dan  curah  hujan  adalah  elemen  iklim  yang  berkenaan  langsung  dengan
keseharian  manusia.  Pada  tapak  Kampung  Naga,  angin  adalah  gejala  alam  yang sangat  dominan  di  antara  faktor  iklim  lainnya.  Lembah  dan  bukit  menciptakan
pola  aliran  angin  yang  spesifik,  yaitu  arah  Timur-Barat.  Pola  peletakan  massa linier  searah  aliran  angin  menciptakan  lorong-lorong  angin  di  antara  massa
bangunan.  Pola  vegetasi  sekitar  tapak,  yaitu  rimbunnya  pepohonan  di  bukit membantu  meredam  angin  kencang  yang  datang  ke  areal  permukiman.  Sinar
matahari  sebagai  elemen  iklim  berkaitan  erat  dengan  kelembaban  suatu  areal tertentu. Pola peletakan massa linier yang saling berdekatan satu dengan yang lain
berpotensi  menimbulkan  kelembaban  yang  tinggi  pada  lorong-lorong  di  antara massa  bangunan.  Adanya  aliran  angin  pada  lorong  tersebut  dimanfaatkan  untuk
mereduksi kelembaban. Masyarakat Kampung Naga menentukan sirkulasi pejalan kaki  searah  dengan  pola  aliran  angin.  Sirkulasi  pejalan  kaki  ini  diselingi  dengan
lahan-lahan  terbuka  untuk  membentuk  kantung-kantung  udara.  Berdasarkan  pola ini  tekanan  dan  kecepatan  angin  dapat  optimal  direduksi  untuk  kemudian
didistribusikan ke setiap rumah yang ditata pada kedua jalur sirkulasi.