Kadar Fosfor Kadar Vitamin C

H. Kadar Zat Besi Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 4 kandungan zat besi

minuman berbeda nyata p0.05. Berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 5H kandungan zat besi susu berbeda nyata p0.05 dengan kandungan zat besi AMDK dan air teh, meskipun demikian kandungan zat besi air teh dan kopi tidak berbeda nyata. Kandungan zat besi AMDK, air teh, air kopi, dan susu berturut- turut 2,75 mg100g, 2,59 mg100g, 3,31 mg100g dan 3,70 mg100g. Menurut Hardinsyah Briawan 1994 kandungan kalsium susu segar mencapai 3,4 mg100 g. Kandungan zat besi pada penelitian ini lebih tinggi daripada literatur.

I. Kadar Zinc

Sepertihalnya zat besi, zinc tergolong sebagai mikromineral. Zinc meskipun dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit, namun merupakan komponen penting berbagai enzim. Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 4 kandungan zinc minuman berbeda nyata p0.05, namun berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 5I diketahui kandungan zinc AMDK, air teh, dan air kopi tidak berbeda nyata p0.05. Meskipun demikian kandungan zinc susu berbeda nyata p0.05 dengan ketiga minuman lainnya. Kandungan zinc AMDK, air teh, air kopi, dan susu berturut-turut adalah 0,56 mg100g, 1,46 mg100g, 0,56 mg100g dan 0,91 mg100g. BSN 1998 dalam SNI 01-3950-1998 tentang susu UHT dan SNI 01-4446-1998 tentang kopi mix menetapkan, kandungan zinc susu UHT bercitarasa dan kopi mix maksimum 40,0 mgKg. Berdasarkan penelitian ini, susu UHT dan kopi mix yang diteliti telah memenuhi ketentuan tersebut, Tidak ada ketentuan kandungan zinc pada AMDK dan teh celup hitam yang ditetapkan oleh BSN.

J. Kadar Fosfor

Kandungan fosfor di dalam suatu bahan pangan dapat meningkatkan ataupun menurunkan penyerapan kalsium. Bahan pangan yang tinggi kalsium umumnya tinggi fosfor juga Winarno 1997. Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 4 kandungan fosfor minuman berbeda nyata p0.05. Namun berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 5J, kandungan fosfor AMDK, air teh, dan air kopi tidak berbeda nyata p0.05. Meskipun demikian kandungan zinc susu berbeda nyata p0.05 dengan ketiga minuman lainnya. Kandungan fosfor AMDK, air teh, air kopi, dan susu berturut-turut 6,95 mg100g, 21,56 mg100g, 13,82 mg100g dan 9,72 mg100g. Tidak ada ketentuan kandungan fosfor pada AMDK, susu UHT, teh celup hitam dan kopi mix yang ditetapkan oleh BSN. Meskipun demikian menurut hardinsyah Briawan 1994 kadar fosfor susu segar mencapai 120 mg100 g. Kandungan zat fosfor susu pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan literatur.

K. Kadar Vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air yang dapat membantu penyerapan zat besi meskipun demikian vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak Almatsier 2006. Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 4 kandungan vitamin C minuman berbeda nyata p0.05, namun berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 5K kandungan vitamin C AMDK, air teh dan susu tidak berbeda nyata. Meskipun demikian ketiganya berbeda nyata p0.05dengan air kopi. Kandungan vitamin C air kopi mencapai 7,92 mg100g sementara susu hanya 1,17 mg100g. Kandungan vitamin C air the dan air kopi yang relatif lebih tinggi dibandinding jenis minuman lainnya. Diduga berhubungan dengan tingginya kandungan senyawa polifenol dalam kopi. Senyawa polifenol memiliki sifat antioksidasi sehingga dapat mereduksi larutan Dye yang digunakan sebagai indikator pada penentuan kandungan vitamin C minuman. Polifenol pun teranalisis sebagai vitamin C sehingga meningkatkan kandungan vitamin C pada air kopi maupun air teh. Total Kalsium Campuran Total kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam campuran cookies + minuman. Total kalsium didapat dengan menambahkan total kalsium cookies dengan total kalsium minuman pencampur. Pada penelitian ini terdapat 8 jenis campuran dari 2 jenis cookies yang diujikan cookies kontrol dan cookies torbangun dengan 4 jenis minuman pencampur AMDK, susu, teh, dan kopi. Adapun 2 campuran lain dianggap sebagai kontrol masing-masing jenis cookies sehingga tidak dicampurkan dengan minuman jenis apapun. Cookies dan minuman dicampur dengan perbandingan 1 : 1 sesuai dengan takaran saji masing-masing. Pada Tabel 12 disajikan rata-rata total kalsium campuran. Tabel 12 Rata-rata total kalsium campuran Jenis Campuran Rata-rata Total Kalsium mg100g Kontribusi AKG Cookies Minuman Campuran Cookies kontrol 265,35 a - 265,35 a 33,17 Cookies kontrol + AMDK 265,35 a 12,84 a 278,18 a 34,77 Cookies kontrol + Susu 265,35 a 61,93 b 327,27 b 40,91 Cookies kontrol + Teh 265,35 a 16,04 a 281,39 a 35,17 Jenis Campuran Rata-rata Total Kalsium mg100g Kontribusi AKG Cookies Minuman Campuran Cookies kontrol + Kopi 265,35 a 18,50 a 283,85 a 35,48 Cookies PGT 405,18 b - 405,18 c 50,65 Cookies PGT + AMDK 405,18 b 12,84 a 418,01 c 52,25 Cookies PGT + Susu 405,18 b 61,93 b 467,10 d 58,39 Cookies PGT + Teh 405,18 b 16,04 a 421,22 c 52,65 Cookies PGT + Kopi 405,18 b 18,50 a 423,68 c 52,96 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05 n = 2 Total kalsium campuran berkisar antara 265,35 - 467,10 mg100g bk. Hasil sidik ragam Lampiran 8 menunjukkan bahwa jenis kombinasi berpengaruh nyata p0.05 terhadap total kalsium. Berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 9A total kalsium cookies kontrol yang tidak dicampur minuman tidak berbeda nyata dengan cookies kontrol yang dicampur AMDK, air teh, dan air kopi. Meskipun demikian keempatnya berbeda nyata dengan cookies kontrol yang dicampur susu. Pola yang sama tampak pada cookies PGT. Cookies kontrol dan cookies PGT yang dikombinasikan dicampur dengan susu berbeda signifikan p0,05 satu sama lain. Diduga hal ini disebabkan karena perbedaan total kalsium yang signifikan p0,05 antara kedua jenis cookies yang dicampur dengan susu. Total kalsium cookies PGT mencapai 405,18 mg100g sementara total kalsium cookies PGK hanya 265,35 mg100g. Berdasarkan uji beda menggunakan one sampel t-test Lampiran 2 total kalsium cookies kontrol dan cookies PGT berbeda signifikan p0.05. Cookies kontrol maupun PGT yang dicampur susu cenderung memiliki total kalsium yang lebih tinggi dibanding cookies yang dicampur minuman lain. Menurut Rolfes Whitney 2008 ketersediaan kalsium pada susu memang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis pangan lainnya. Segelas susu dapat menyediakan sekitar 300 mg kalsium. Lebih lanjut Anwar Khomsan 2009 menjelaskan, kandungan protein susu masih dapat digantikan oleh protein hewani lainnya, akan tetapi kandungan kalsium susu agak sulit digantikan oleh bahan pangan lain seperti sayuran hijau. Meski ketersediaan kalsium sayuran hijau tinggi tapi daya serapnya bioavailabilitasnya rendah. Anwar Khomsan 2009 menyebutkan, kontribusi susu dalam memenuhi asupan kalsium orang Indonesia rata-rata hanya 23 mghari. Konsumsi susu orang Indonesia memang sangat rendah dan tidak merata. Pada tahun 2002 saja diketahui rata-rata konsumsi susu orang Indonesia hanya ½ gelas per minggu. Konsumsi susu yang sangat tinggi hanya di DKI Jakarta yakni mencapai 22.3 kgkapthn. Bioavailabilitas Kalsium Campuran Total mineral yang tinggi pada pangan tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuannya untuk diserap oleh tubuh. Berdanier 1998 mendefinisikan bioavailabilitas sebagai persentase mineral dikonsumsi yang dapat diabsorbsi oleh sel enterocyte di saluran pencernaan dan digunakan sesuai dengan fungsinya. Dengan kata lain bioavailabilitas tidak hanya menggambarkan mineral yang dikonsumsi, tetapi juga jumlah mineral yang tertahan dan tersedia untuk digunakan tubuh. Pengujian bioavailabilitas kalsium pada penelitian ini dilakukan secara in vitro yang merupakan simulasi dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal Roig et al. 1999. Pengujian bioavailabilitas in vitro dilakukan dengan teknik dialisis menggunakan kantung dialisis yang diasumsikan sebagai simulasi usus halus. Prinsip teknik dialisis adalah memisahkan makromolekul terlarut yang memiliki berat molekul rendah dari larutan terluar melalui membran semipermeabel yang memungkinkan terjadinya difusi senyawa Bisswanger 2008. Pertama-tama cookies dan berbagai jenis minuman pencampur dari masing-masing kombinasi ditimbang. Selanjutnya pH campuran diatur menjadi 2 dengan penambahan HCl 0,1 N. Pengaturan pH sampel menjadi 2 bertujuan agar kalsium dapat larut dan terbebas dari ikatan garamnya Gropper et al. 2005. Miller 1996 menambahkan mineral akan bersifat bioavailable apabila mineral tersebut berada dalam bentuk terlarut soluble dan terbebas dari ikatan garamnya. Selain itu pH 2 juga merupakan pH dimana enzim-enzim pencernaan dapat aktif. Kemudian pada campuran ditambahkan enzim pepsin dan diinkubasi pada penangas air bergoyang shake waterbath pada suhu 37˚C dengan kecepatan 5 selama dua jam. Penambahan enzim pepsin berfungsi untuk memecah protein sehingga mineral zat besi maupun kalsium dapat lepas dari bentuk ikatan zat besi-protein maupun kalsium-protein yang terdapat pada cookies Roig et al. 1999. Linder 2006 menjelaskan pemecahan protein dimulai dari lambung melalui denaturasi dengan HCl dan proteolitis dari pepsin. Pencernaan protein lebih lanjut terjadi di usus halus dengan bantuan berbagai ekso dan endopeptidase dari pankreas dan cairan intestinal. Pengaturan suhu 37˚C didasarkan pada deskripsi produk enzim pepsin yang digunakan pada penelitian ini dimana disebutkan enzim tersebut aktif pada suhu 37 C. Senada dengan deskripsi produk tersebut, Bisswanger 2008 menyatakan bahwa sebagian besar enzim aktif pada suhu fisiologis 37 o C. Kondisi penangas bergoyang selama inkubasi merupakan simulasi dari kondisi tubuh saat pencernaan gastrointestinal terjadi Puspita 2003. Gambar 8 Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air bergoyang shaker water bath. Langkah berikutnya adalah menetapkan konsentrasi NaHCO 3 yang akan dimasukkan ke dalam kantung dialisis. Kantung dialisis kemudian dimasukkan ke dalam campuran untuk diinkubasi selama 30 menit. Setelah ditambahkan enzim pepsin dan pankreatin bile inkubasi dilanjutkan kembali hingga dua jam. Cairan yang tersisa pada kantung dialisat kemudian ditimbang dibaca dengan AAS Atomic Absorption Spectrophotometric. Rata-rata bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran disajikan pada diagram batang Gambar 9. Gambar 9 Diagram batang rata-rata bioavailabilitas kalsium campuran 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 Cookies kontrol Cookies torbangun Cookies kontrol + AMDK Cookies torbangun + AMDK Cookies kontrol + Susu Cookies torbangun + Susu Cookies kontrol + Teh Cookies torbangun + Teh Cookies kontrol + Kopi Cookies torbangun + Kopi 5.92 5.70 4.62 3.42 11.46 8.91 1.48 0.76 3.99 1.51 Bioavailabilitas ketersediaan biologis mineral merupakan faktor yang menentukan kemampuan mineral untuk diserap tubuh. Bioavailabilitas kalsium campuran berada dalam rentang 0,76 – 11,46. Analisis sidik ragam Lampiran 8 terhadap rata-rata bioavailabilitas kalsium pada Tabel 13 menunjukkan jenis campuran cookies + minuman berpengaruh nyata p0.05 terhadap bioavailabilitas kalsium. Berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 9B diketahui campuran cookies kontrol + susu memiliki persentase bioavailabilitas kalsium tertinggi, meskipun demikian persentase tersebut tidak berbeda nyata p0.05 dengan campuran cookies PGT + susu. Pola yang sama nampak pada cookies kontrol dan cookies PGT yang tidak dicampur dengan jenis minuman apapun, keduanya tidak berbeda nyata satu sama lain. Bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran cookies + minuman yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan bioavailabilitas sayuran hijau dan hasil olahannya yang berkisar antara 0,69 sampai dengan 8,76 Safitri 2003. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan susu bubuk komersial high calcium yang memiliki bioavailabilitas antara 6,40 - 9,60 Puspita 2003, crackers yang memiliki bioavailabilitas antara 8,00 - 17,40 Purwawinangsih 2011 dan produk sereal sarapan yang memiliki bioavailabilitas antara 2,69 - 33,46 Rajagukguk 2004, bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran cookies + minuman pada penelitian ini dapat dikatakan lebih rendah. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan bioavailabilitas biji-bijian yang berkisar antara 3,50 - 4,20 Kamchan 2003, bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran cookies + minuman penelitian ini dapat dikatakan lebih tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik sebagai faktor pendorong maupun penghambat penyerapan kalsium. Gropper et al. 2005 menyebutkan, vitamin D, gula dan alkohol serta protein merupakan faktor pendorong penyerapan kalsium. Sebaliknya, penyerapan kalsium dihambat oleh keberadaan serat, kandungan kation divalen Zn, Mg yang tinggi, fitat, oksalat, dan asam lemak yang tidak dapat diserap. Pada penelitian ini diamati pengaruh protein, serat pangan, vitamin C, total kalsium, total zat besi, zinc, dan fosfor terhadap bioavailabilitas kalsium. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson Lampiran 10 kadar protein berkorelasi positif +0,644 secara signifikan p0.01 terhadap bioavailabilitas kalsium. Secara praktis korelasi positif memiliki makna, semakin tinggi kadar protein maka persentase bioavailabilitas kalsium campuran cookies + minuman juga akan semakin tinggi. Weaver Heaney 2008 menjelaskan absorpsi kalsium dapat terjadi melalui dua jalur, a transelular; melalui transfer aktif yang melibatkan protein pengikat kalsium, calbindin D 9k , dan b paraselular; melalui difusi pasif kalsium Kedua jalur tersebut melibatkan protein dengan mekanisme yang berbeda. Calcitriol mempengaruhi penyerapan kalsium dengan menstimulasi protein pengikat kalsium Calbindin Gropper et al. 2005. Satu molekul calbindin mengikat dua atau lebih ion kalsium Anderson 2004. Kemudian penyerapan kalsium terjadi melalui tiga langkah, yaitu melalui membran brush border, pergerakan intaseluler, dan ekstrusi melalui membran basolateral Gropper et al. 2005. Sementara itu, pada difusi pasif konsentrasi makromolekul seperti protein berperan dalam menimbulkan perbedaan tekanan osmotik di kompartemen luar sehingga ion kalsium dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis Bisswanger 2008. Winarno 2008 menyebutkan bahwa berat molekul protein sangat besar sehingga bila dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal. Peran positif protein pada kedua jalur penyerapan kalsium dapat menunjukkan bahwa peningkatan protein memberikan pengaruh yang baik bagi penyerapan kalsium dalam tubuh. Namun, intik protein yang berlebihan juga tidak dianjurkan karena hasil penelitian Heaney 2002 menunjukkan peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin sehingga menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody 1999 efek ini disebut calciuric effect of protein. Allen 1982 menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena reabsorpsi kalsium di ginjal menurun karena peningkatan glomerolus filtration rate GFR. Heaney 2002 menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet. Protein dan kalsium bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah. Uji korelasi Pearson Lampiran 10 juga menunjukkan korelasi bioavailabilitas kalsium dengan kandungan zat gizi lain. Kandungan serat pangan dan vitamin C tidak berpengaruh signifkan p0,05 terhadap bioavailabilitas kalsium. Begitu pun dengan total kalsium, kandungan zat besi, zinc dan fosfor. Lebih rendahnya bioavailbilitas kalsium pada penelitian Safitri 2003, Kamchan 2003 juga penelitian ini, diduga disebabkan karena kandungan fitat, dan oksalat dalam sampel yang dianalisis. Anwar Khomsan 2009 menyatakan, bioavailabilitas kalsium yang pada sayuran hijau memang cenderung lebih rendah karena terdapat banyak faktor penghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan atau oksalat. Diantara tiga faktor penghambat penyerapan kalsium yang disebutkan di atas, fitat memiliki korelasi paling kuat terhadap penghambatan penyerapan kalsium pada pangan berbasis tumbuhan khususnya pada biji-bijian. Mekanisme penghambatan fitat, oksalat, dan beberapa jenis serat seperti hemiselulosa yaitu dengan mengikat kalsium sehingga keberadaannya menjadi kompleks kalsium yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh kemudian dikeluarkan melalui feses Kamchan 2003. Pada penelitian ini, serat pangan tidak berkorelasi signifikan dengan bioavailabilitas kalsium. Rolfes Whitney 2008 menyebutkan, pengaruh serat terhadap penyerapan kalsium memang relatif kecil. Makanan yang tinggi kandungan vitamin C dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium. Vitamin C secara alami memiliki kemampuan mengkatalis reaksi reduksi-oksidasi. Oleh karena itu, vitamin C dapat meningkatkan absorbsi kalsium dengan merubah bentuk kalsium terokidasi menjadi bentuk kalsium tereduksi yang lebih mudah diserap Berdanier 1998. Meskipun demikian, menurut Heaney 2001 berbeda dengan kondisi pencernaan sebenarnya, kondisi asam tidak terlalu dibutuhkan pada penyerapan kalsium secara in vitro. Sejalan dengan pendapat Haeney, pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara vitamin C dan bioavailabilitas kalsium. Kadar vitamin C dalam campuran cookies + minuman juga relatif rendah, hanya berkisar antara 1,01 - 9.99 mg100 g bk. Gropper et al. 2005 menjelaskan, keberadaan kation divalen bervalensi 2 seperti magnesium, besi, dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika mineral tersebut berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena mineral tersebut akan saling berkompetisi untuk diserap di usus. Etcheverry et al. 2004 menjelaskan bahwa afinitas mineral-mineral tersebut untuk membentuk kompleks mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan afinitas mineral dengan reseptor pada sel usus. Hal ini menyebabkan kegagalan transfer kalsium ke dalam sel serta kegagalan aksi enzim proteolitis untuk melepaskan kalsium menjadi ion bebas. Meskipun demikian, korelasi kandungan magnesium, besi dan seng pada susu komersial memiliki korelasi yang lemah terhadap bioavailabilitas kalsium. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium Gropper et al. 2005. Kalsium dan fosfor memiliki hubungan yang erat dalam proses absorpsi kalsium. Berdanier et al. 2008 menyebutkan, rasio kalsium dan fosfor dapat mempengaruhi absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1. secara langsung, mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet dan 2. secara tidak langsung, dimediasi oleh respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor Allen 1982. McDowel 1992 dalam Rajagukguk 2004 menyebutkan, hubungan khusus antara kalsium dan fosfor disarankan berdasarkan kenyataan bahwa perbandingan kalsium dan fosfor dalam tulang berdasarkan berat adalah sekitar 2,2 : 1. Namun, pendapat lain menyatakan variasi perbandingan kalsium dan fosfor hanya sedikit pengaruhnya terhadap keseimbangan kalsium. Rasio kalsium dan fosfor dapat mempengaruhi absorpsi kalsium masih bersifat kontroversial dan menjadi perdebatan. Sejalan dengan pernyataan McDowel 1992, pada penelitian ini pun kandungan fosfor tidak memiliki hubungan signifikan terhadap bioavailabilitas kalsium. Haney 2001 menyebutkan, analisis bioavailabilitas secara in vitro relatif murah tetapi sering menghasilkan informasi yang kurang akurat, terutama pada penelitian terkait kalsium. Hal ini disebabkan garam kalsium pada larutan yang dianalisis umumnya memiliki kelarutan yang sangat rendah sehingga berpengaruh terhadap penyerapannya. Oleh karena itu penelitian in vitro hanya merupakan penelitian pendahuluan yang hasilnya perlu diklarifikasi lebih lanjut melalui penelitian in vivo. Total Kalsium Tersedia Campuran Total kalsium tersedia menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total kalsium dan bioavailabilitasnya. Makanan yang memiliki total kalsium tinggi namun bioavailabilitasnya rendah maka dimungkinkan total kalsium tersedianya menjadi rendah. Total kalsium tersedia dihitung dengan cara mengalikan total kalsium campuran dengan persen bioavailabilitasnya. Rata-rata total kalsium tersedia campuran disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Rata-rata total kalsium tersedia campuran Jenis campuran Total Ca Bio Ca Total Ca Tersedia Kontribusi AKG mg100g mg100g 1 SZ Cookies kontrol 265,35 a 5,92 c 15,64 bc 37,54 4,69 Cookies kontrol + AMDK 278,18 a 4,62 c 12,77 abc 30,65 3,83 Cookies kontrol + Susu 327,27 b 11,46 d 37,62 d 90,30 11,29 Cookies kontrol + Teh 281,39 a 1,48 a 4,17 a 10,01 1,25 Cookies kontrol + Kopi 283,85 a 3,99 bc 11,09 ab 26,62 3,33 Cookies PGT 405,18 c 5,70 c 23,08 c 55,39 6,92 Cookies PGT + AMDK 418,01 c 3,42 abc 14,30 abc 34,32 4,29 Cookies PGT + Susu 467,10 d 8,91 d 41,77 d 100,24 12,53 Cookies PGT + Teh 421,22 c 0,76 a 3,19 a 7,67 0,96 Cookies PGT + Kopi 423,68 c 1,51 ab 6,41 ab 15,39 1,92 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05 n = 2 SZ = Serving Size Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa total kalsium yang tersedia pada campuran berkisar antara 3,19 - 41,77 mg100g. Analisis sidik ragam Lampiran 8 menunjukkan, total kalsium tersedia dipengaruhi oleh jenis campuran secara signifikan p0.05. Campuran yang memiliki total kalsium tersedia terendah adalah campuran cookies PGT + teh. Adapun campuran yang memiliki total kalsium tersedia terbesar adalah campuran cookies PGT + susu. Uji lanjut Duncan Lampiran 9C memperlihatkan total kalsium jenis campuran cookies kontrol + susu dan campuran cookies PGT + susu berbeda nyata dengan berbagai jenis kombinasi lainnya. Meskipun demikian, keduanya tidak saling berbeda nyata Lampiran 10. Diduga penambahan susu pada campuran dapat meningkatkan total kalsium campuran dan mempengaruhi nilai akhir total kalsium tersedia. Kadar kalsium susu mencapai 61,93 mg100g. Susu memang merupakan sumber kalsium yang tidak dapat digantikan oleh bahan pangan lain seperti sayuran hijau Anwar Khomsan 2009. Berdanier 1998 menyebutkan total kalsium tersedia dipengaruhi tidak hanya oleh bioavailabilitas tetapi juga oleh total kalsiumnya. Total kalsium tersedia per takaran saji memiliki pola yang sama persis dengan total kalsium tersedia per mg100 g. Setiap satu takaran saji campuran, terdiri atas 40 gram cookies dan 200 mL minuman. Kontribusi pemenuhan AKG relatif berbeda-beda antar jenis campuran. Jenis campuran yang memiliki kontribusi terbesar dalam memenuhi AKG kalsium adalah cookies PGT + susu, yakni sebesar 12,53. Kontribusi terendah diberikan oleh campuran cookies PGT + teh dengan persentase kontribusi pemenuhan AKG 0,96. Standar AKG yang digunakan adalah kebutuhan kalsium dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yakni 800 mghari. Total kalsium tersedia campuran cookies + minuman lebih tinggi jika dibandingkan dengan sayuran hijau dan olahannya yaitu sebesar 0,24 sampai dengan 9,04 mg100g Safitri 2003 dan biji-bijian sebesar 2,90 sampai dengan 7,10 mg100g Kamchan 2003. Namun, jika dibandingkan dengan crackers yang memiliki memiliki total kalsium tersedia sebesar 15,61 sampai dengan 96,79 mg30g Purwawinangsih 2011, produk sereal sarapan komersial yang ditambah susu dengan total kalsium tersedia sebesar 109,30 sampai dengan 243,10 mg30g Rajagukguk 2004 dan produk susu bubuk komersial high calcium dengan total kalsium tersedia sebesar 92,36 sampai dengan 226,37 mg100g Puspita 2003, hasil penelitian ini jauh lebih rendah. Total Zat Besi Campuran Total zat besi menunjukkan jumlah zat besi yang terkandung dalam campuran cookies + minuman. Seperti halnya total kalsium, total zat besi didapat dengan menambahkan total zat besi cookies dengan total zat besi minuman pencampur. Menurut Winarno 2008, makanan yang dikonsumsi manusia normal umunya mengandung kira-kira 20 - 25 gram besihari. Pada tabel berikut disajikan rata-rata total zat besi campuran berikut kontribusinya dalam memenuhi kecukupan zat besi per hari tanpa memperhitungkan bioavailabilitasnya. Tabel 14 Rata-rata total zat besi campuran Jenis campuran Rata-rata Total Zat Besi mg100g Kontribusi AKG Cookies Minuman Campuran Cookies kontrol 1,63 a - 1,63 a 6,26 Cookies kontrol + AMDK 1,63 a 2,75 a 4,38 c 16,83 Cookies kontrol + Susu 1,63 a 3,70 b 5,33 d 20,50 Cookies kontrol + Teh 1,63 a 2,59 a 4,21 bc 16,21 Cookies kontrol + Kopi 1,63 a 3,31 ab 4,93 d 18,98 Cookies PGT 3,76 b - 3,76 b 14,47 Cookies PGT + AMDK 3,76 b 2,75 a 6,51 e 25,04 Cookies PGT + Susu 3,76 b 3,70 b 7,46 f 28,70 Cookies PGT + Teh 3,76 b 2,59 a 6,35 e 24,42 Cookies PGT + Kopi 3,76 b 3,31 ab 7,07 f 27,18 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05 n = 2 Rata-rata total zat besi berbagai jenis campuran berkisar antara 1,63 mg100g sampai 7,46 mg100g. Cookies kontrol yang tidak dicampur dengan jenis minuman apapun memiliki total zat besi terendah, sebaliknya cookies PGT yang dicampur susu mengandung total zat besi tertinggi. Analisis sidik ragam Lampiran 8 menunjukkan jenis campuran berpengaruh signifikan p0.05 terhadap total zat besi. Campuran cookies PGT cenderung memiliki kandungan total zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan campuran cookies kontrol, pada semua jenis minuman. Berdasarkan one sampel t-test Lampiran 2, kadar zat besi cookies PGT berbeda nyata p0.05dengan cookies kontrol. Kadar zat besi cookies PGT adalah 3,76 mg100g, sementara cookies kontrol hanya 1,63 mg100g cookies. Cookies kontrol, tanpa mempertimbangkan bioavailabilitasnya, hanya dapat memenuhi 6,26 kebutuhan besi per hari, bahkan jika dicampur dengan susu pun hanya dapat memenuhi 20,50 AKG. Namun jika cookies PGT yang dicampur dengan susu maka dapat memenuhi 28,70 AKG. Berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 9D diketahui cookies yang dicampur susu maupun kopi, baik pada cookies kontrol maupun cookies PGT tidak berbeda signifikan p0.05. Hal ini dikarenakan total zat besi kopi dan susu tidak berbeda signifikan. Mahmud et al. 2009 menyebutkan kandungan zat besi pada 100 g kopi bubuk instant mencapai 5,6 mg. Adapun kandungan zat besi pada 100 mL susu segar adalah 3,4 mg Hardinsyah Briawan 1994. Bioavailabilitas Zat Besi Campuran Tidak semua zat besi dalam produk pangan dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh, hal ini bergantung pada daya cerna bioavailabilitas zat besi tersebut. Latunde-Dada Naele 1986 mendefinisikan bioavailabilitas zat besi sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Transfer zat besi erat kaitannya dengan proses absorbsi zat besi dalam usus halus duodenum, oleh karena itu istilah bioavailabilitas zat besi dapat disamakan dengan absorbsi zat besi dalam usus halus Puspitasari 2003. Seperti halnya analisis bioavailabilitas kalsium, analisis bioavailabilitas zat besi pada penelitian ini juga dilakukan secara in vitro berdasarkan prinsip dialisis. Nur et al. 1989 menyatakan bahwa proses dialisis merupakan metode pemisahan molekul besar dari molekul kecil yang didasarkan pada sifat semipermeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil akan tetapi menahan molekul-molekul besar. Rata-rata Bioavailabilitas zat besi berbagai jenis campuran disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Diagram batang rata-rata Bioavailabilitas zat besi campuran Rata-rata bioavailabilitas zat besi berbagai jenis campuran berkisar antara 0,91 - 5,95. Cookies kontrol yang tidak dicampur dengan jenis minuman apapun memiliki bioavailabilitas zat besi tertinggi. Sebaliknya, cookies + teh memiliki bioavailabilitas zat besi terendah. Analisis sidik ragam Lampiran 8 menunjukkan jenis campuran berpengaruh signifikan p0.05 terhadap bioavailabilitas zat besi. Berdasarkan uji lanjut Duncan Lampiran 9E diketahui, bioavailabilitas zat besi cookies kontrol yang dicampur AMDK, susu, air teh, maupun air kopi tidak berbeda signifikan dengan cookies PGT yang dicampur dengan jenis minuman yang sama. Meskipun demikian, cookies kontrol dan cookies PGT yang tidak dicampur dengan minuman manapun berbeda signifikan dengan seluruh jenis campuran lain. Williams et al. 1995 menjelaskan, zat besi dalam bahan pangan terdapat dalam dua bentuk, heme dan non-heme. Zat besi heme berhubungan dengan hemoglobin dan myoglobin, sehingga hanya ditemukan pada pangan hewani seperti daging, ayam, dan ikan. Zat besi non-heme ditemukan baik pada pangan hewani maupun pangan nabati. Pangan hewani 60 zat besinya berupa zat besi non-heme, sementara pangan nabati 100 zat besinya berada dalam bentuk non-heme. Zat besi heme memiliki daya cerna lebih tinggi dibandingkan zat besi non-heme. Sekitar 10-30 zat besi heme diserap oleh usus, sementara hanya 2-10 zat besi nonheme yang dapat diserap usus. Torbangun merupakan pangan nabati, sehingga zat besi yang ditambahkan pada cookies diduga adalah zat besi non-heme yang bioavailabilitasnya rendah. 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 Cookies kontrol Cookies torbangun Cookies kontrol + AMDK Cookies torbangun + AMDK Cookies kontrol + Susu Cookies torbangun + Susu Cookies kontrol + Teh Cookies torbangun + Teh Cookies kontrol + Kopi Cookies torbangun + Kopi 5.95 3.77 2.12 0.96 2.56 2.05 1.30 0.91 1.94 1.62 Bioavailabilitas zat besi dan kalsium yang relatif rendah pada penelitian ini diduga disebabkan karena keberadaan zat anti-gizi, seperti fitat, oksalat, dan tanin. Hal ini didasari dari kecenderungan campuran cookies PGT yang memiliki bioavailabilitas zat besi dan kalsium lebih rendah dibandingkan dengan campuran cookies kontrol, pada semua jenis kombinasi minuman. Dugaan adanya zat anti-gizi yang menghambat bioavailabilitas zat besi dan kalsium pada penelitian ini diperkuat oleh pernyataan Stephenson 2001, dimana berdasarkan uji fitokomia di dalam tanaman torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin. Tanin memang tersebar luas pada sayuran dan berbagai minuman seperti teh dan kopi Stipanuk 1995. Williams 1995 menambahkan, makanan dengan kandungan tanin yang tinggi dapat menurunkan bioavailabilitas zat besi nonheme hingga 60. Fitat dan oksalat umum dikenal sebagai penghambat bioavailabilitas zat besi. Fitat tersebar luas pada berbagai sayuran dan serealia. Fitat dan oksalat menurunkan bioavailabilitas zat besi non-heme melalui pembentukan garam yang tidak larut sehingga zat besi tidak bioavailable untuk diserap Gallagher 2007. Lebih lanjut Marliyati 1995 menjelaskan, berdasarkan penelitiannya diketahui fitat mempunyai efek menghambat ketersediaan zat besi lebih besar dibandingkan zat anti-nutrisi lain seperti lignin, serat pangan, tanin, oksalat, gum arab, dan pektin. Menurut Oberleas 1971, berdasarkan struktur molekulnya, setiap molekul fitat dapat mengikat empat buah zat besi. Rolfes Whitney 2008 menyebutkan, bioavailabilitas zat besi secara keseluruhan tergantung pada proporsi relatif antara faktor-faktor pendorong dan penghambat. Kedua faktor tersebut melalui interaksi sinergis mempengaruhi pelepasan zat besi dari bahan makanan. Gropper et al. 2005 menyebutkan, asam seperti asam askorbat, asam sitrat, asam laktat, dan asam tartarat berpotensi meningkatkan bioavailabilitas zat besi. Begitupun dengan gula, daging merah, daging unggas, daging ikan, dan mucin. Sebaliknya, kandungan polifenol seperti tanin dan turunannya yang terdapat dalam teh dan kopi, oksalat, fitat, dan zat gizi lain seperti kalsium, fosfat, mangan, dan nikel dapat menghambat penyerapan zat besi. Pada penelitian ini hanya diamati pengaruh kandungan protein, serat pangan, vitamin C, kalsium, total zat besi, zinc dan fosfor terhadap bioavailabilitas zat besi. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson Lampiran 10 kadar protein dan vitamin C tidak berpengaruh signifkan p0.05 terhadap bioavailabilitas zat besi. Begitu pun dengan total kalsium. Sebaliknya, kadar serat pangan, zinc, dan fosfor berkorelasi negatif secara signifikan p0.05 terhadap bioavailabilitas zat besi. Korelasi negatif memiliki makna semakin tinggi kadar zinc, fosfor, dan total serat pangan pada campuran, maka bioavailabilitas zat besi akan semakin redah. Hubungan antagonis nampak sangat jelas antara total zat besi dengan biovailabilitas zat besi. Uji korelasi Pearson Lampiran 10 menunjukkan bahwa total zat besi berpengaruh negatif -0,743 secara signifikan p0.01 terhadap bioavailabilitas zat besi. Oleh karena itu, berbanding terbalik dengan total zat besi, campuran cookies PGT memiliki bioavailabilitas zat besi lebih rendah dibandingkan dengan campuran cookies kontrol, pada semua jenis kombinasi minuman. Korelasi negatif antara total zat besi dengan bioavailabilitasnya sejalan dengan penelitian Lewis et al. 1989 yang menyatakan bahwa terdapat indikasi adanya penurunan proporsi zat besi dari makanan yang diserap oleh usus pada asupan zat besi yang tinggi. Weaver Heaney 2008 juga menyatakan bahwa fraksi zat besi yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan asupannya. Efisiensi absorbsi zat besi memang berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah Yeung Laquarta 2003 Menurut Gropper et al. 2005, kalsium dan fosfor saling berinteraksi dan berpotensi menghambat absorbsi zat besi melalui pembentukan kelat Fe : Ca : PO 4 pada mukosa usus . Kalsium mempengaruhi absorbsi zat besi heme maupun non-heme terutama pada tahap transportasi zat besi di mukosa usus. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian 300 – 600 mg kalsium baik dalam bentuk kalsium fosfat, kalsium sitrat, kalsium karbonat, maupun kalsium klorida jika dilakukan bersamaan dengan pemberian 18 mg zat besi dalam bentuk ferro sulfat atau bersamaan dalam makanan, berpotensi menurunkan absorbsi zat besi hingga 70. Meskipun demikian, menurut Gallagher 2007, jumlah kalsium yang adekuat dalam makanan berpotensi meningkatkan bioavailabilitas zat besi melalui pembentukan kompleks dengan zat penghambat absorbsi zat besi seperti fosfat, fitat, dan oksalat. Selain berinteraksi dengan kalsium dan fosfor, zat besi juga berinteraksi dengan zinc. Interaksi zinc dan zat besi berpotensi menurunkan bioavailabilitas keduanya. Hal ini dikarenakan zat besi dan zinc berkompetisi untuk diserap pada jalur yang sama, yakni dimediasi oleh DCT 1. Perbandingan zinc dan zat besi pada konsentrasi 1:1 terbukti menghambat penyerapan zat besi hingga 66, sementara perbandingan zinc dan zat besi pada konsentrasi 2,5:1 menghambat penyerapan zat besi hingga 80 Gropper et al. 2005. Serat pangan dalam jumlah besar berpotensi menurunkan bioavailabilitas zat besi non-heme Stipanuk 1995. Mekanisme penghambatan absorbsi zat besi oleh serat terjadi melalui pembentukan kelat yang tidak larut atau memicu pengangkutan zat besi yang cepat di saluran pencernaan Williams et al. 1995. Meskipun demikian, Marliyati 1995 menyebutkan, serat pangan dan komponennya menunjukkan pengaruh yang bervariasi terhadap ketersediaan zat besi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam membentuk kelat dengan zat besi. Faktor utama dalam makanan yang berpotensi meningkatkan bioavailabilitas zat besi non-heme adalah keberadaan asam organik, baik dalam bentuk asam sitrat, asam askorbat, asam malat, dan asam laktat. Asam organik ini umumnya ditemukan pada buah-buahan yang memiliki rasa asam Stipanuk 1995. Vitamin C mencegah oksidasi zat besi ferro Fe 3+ menjadi ferri Fe 2+ sehingga melindungi zat besi dari pembentukan ferri hidroksida yang tidak larut. Selain itu, vitamin C juga dapat membentuk kelat dengan Fe 3+ pada pH asam sehingga zat besi tetap larut meskipun terjadi kenaikan pH dalam sistem pencernaan di usus halus Hurrel et al. 1988. Pengaruh asam askorbat dalam meningkatkan penyerapan zat besi hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Setelah 4 sampai 6 jam mengkonsumsi makanan, pemberian asam askorbat tidak berpengaruh. Asam askorbat jika dikonsumsi bersama dengan makanan dapat memperkuat penyerapan zat besi sebanyak 3-6 kali. Asam askorbat yang telah mengalami oksidasi hampir tidak lagi mempunyai kemampuan memperkuat zat besi Monsen 1988. Williams 1995 menambahkan, MFP Meat, Fish, Poultry adalah faktor yang belum diketahui dengan pasti namun terbukti dapat meningkatkan absorbsi zat besi heme maupun non-heme. Penambahan sejumlah kecil MFP factor pada sayuran dan serealia terbukti meningkatkan zat besi non-heme. Menurut Berdanier 1998, diperkirakan lisin, histidin, sistein, dan metionin adalah komponen protein yang memegang peranan dalam proses tersebut. Puspitasari 2003 melakukan studi pengaruh pemasakan terhadap bioavailabilitas zat besi sayur santan daun bangun-bangun. Bioavailabilitas zat besi daun bangun-bangun yang dimasak, baik yang ditambahkan bumbu dan santan 3,41 ataupun tidak 3,76 memiliki bioavailabilitas lebih rendah dibandingkan dengan daun torbangun segar 6,61. Menurut Puspitasari 2003, proses pemasakan relatif tidak berpengaruh signifikan p0.05 terhadap bioavailabilitas zat besi. Tingginya bioavailabilitas sayuran dalam bentuk segar atau mentah dikarenakan ketersediaan zat gizinya masih berada dalam jumlah maksimum dan belum terjadi interaksi antara komponen-komponen yang ada dalam sayuran tersebut. Selain itu faktor pendorong penyerapan zat besi pada daun bangun-bangun segar, dalam hal ini vitamin C, juga relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan karena belum banyak kehilangan akibat perlakuan. Studi lain terkait bioavailabilitas zat besi dilakukan oleh Marliyati 1995, lebih tepatnya untuk melihat pengaruh pengeringan terhadap kadar senyawa antinutrisi yang mempengaruhi ketersediaan zat besi serta fortifikasi zat besi pada rempah-rempah. Terdapat 24 jenis rempah-rempah yang diteliti bioavailabilitasnya setelah masing-masing rempah-rempah difortifikasi fero sulfat dan fero furamat. Ketersediaan zat besi setelah difortifikasi fero sulfat dan fero furamat berturut-turut berada pada kisaran 2,37 - 22,89 dan 2,33 - 23,03. Ketersediaan zat besi pada penelitian Marliyati 1995 relatif tinggi untuk bahan pangan nabati. Marliyati 1995 menduga hal ini disebabkan karena adanya mineral lain dalam bahan pangan yang terikat pada senyawa antinutrisi sehingga senyawa besi yang ditambahkan tidak membentuk kompleks kelat dengan senyawa antinutrisi dan terukur hampir seluruhnya. Pencampuran yang tidak sempurna antara senyawa besi dan tepung rempah-rempah juga diduga berperan menyebabkan senyawa besi berada dalam keadaan bebas sehingga bioavailabilitas zat besi yang terukur tinggi. Whitney et al. 1998 mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan berdasarkan penyerapannya, yaitu 1 ketersediaan tinggi; jika besi nonheme diserap sebesar 8, 2 ketersediaan sedang; jika besi nonheme diserap sebesar 5, dan 3 ketersediaan rendah; jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3. Berdasarkan klasifikasi tersebut sebagian besar jenis campuran tergolong ke dalam jenis makanan dengan nilai ketersediaan zat besi rendah, yaitu kurang dari 3. Hanya cookies kontrol 5,95 yang tidak ditambah minuman apapun tergolong memiliki ketersediaan zat besi sedang. Menurut Rolfes Whitney 2008, zat besi nonheme umumnya memang memiliki bioavalilabilitas yang rendah karena adanya efek dari ligan-ligan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung. Bioavailabilitas zat besi yang tinggi umumnya terdapat pada daging, ikan dan unggas, sedang pada serealia dan kacang-kacangan memiliki kandungan zat besi sedang, adapun ketersediaan zat besi pada sayuran umumnya rendah, terutama pada sayuran yang mengandung oksalat dan fitat seperti pada bayam. Analisis bioavailabilitas metode in vitro memiliki beberapa keterbatasan, antara lain adalah enzim yang digunakan hanya dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia yang sebenarnya, tidak hanya terdapat dua enzim, dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro Wilson et al. 1979. Meskipun demikian metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah Damayanthi Rimbawan 2008. Metode in vitro juga memungkinkan pengontroloan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo Sudharma 1995. Total Zat Besi Tersedia Campuran Total zat besi tersedia menunjukkan jumlah zat besi yang dapat diserap oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total zat besi serta bioavailabilitasnya. Total zat besi tersedia dihitung dengan cara mengalikan total zat besi campuran cookies + minuman dengan persen bioavailabilitasnya. Jika di dalam suatu bahan pangan kandungan total zat besinya tinggi namun bioavailabilitasnya rendah maka total zat besi tersedianya pun menjadi relatif lebih rendah. Total zat besi tersedia campuran disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata total zat besi tersedia campuran Jenis kombinasi Total Fe Bio Fe Total Fe Tersedia Kontribusi AKG mg100g mg100g 1 SZ Cookies kontrol 1,63 a 5,95 d 0,097 ab 0,232 0,89 Cookies kontrol + AMDK 4,38 c 2,12 ab 0,093 ab 0,223 0,86 Cookies kontrol + Susu 5,33 d 2,56 b 0,137 c 0,330 1,27 Cookies kontrol + Teh 4,21 bc 1,30 ab 0,056 a 0,134 0,52 Cookies kontrol + Kopi 4,93 d 1,94 ab 0,097 ab 0,232 0,89 Cookies PGT 3,76 b 3,77 c 0,142 c 0,340 1,31 Cookies PGT + AMDK 6,51 e 0,96 a 0,062 a 0,150 0,58 Cookies PGT + Susu 7,46 f 2,05 ab 0,153 c 0,368 1,41 Cookies PGT + Teh 6,35 e 0,91 a 0,058 a 0,139 0,54 Cookies PGT + Kopi 7,07 f 1,62 ab 0,114 ab 0,275 1,06 Ket : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05 n = 2 SZ = Serving Size Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa total zat besi tersedia pada campuran berkisar antara 0,056 - 0,153 mg100 g. Campuran yang memiliki total zat besi tersedia terendah adalah campuran cookies kontrol + teh. Adapun campuran yang memiliki total zat besi tersedia terbesar adalah campuran cookies PGT + susu. Campuran cookies PGT + susu memang memiliki persentase bioavailabilitas zat besi terendah, namun karena total zat besi campuran cookies PGT + susu lebih tinggi secara signifikan p0.05 dibandingkan jenis campuran lain, maka total zat besi tersedia campuran cookies PGT + susu dapat mencapai 0,153 mg100g. Hal ini menunjukkan total zat besi tersedia untuk dimanfaatkan tubuh tidak hanya bergatung pada bioavailabilitas pangan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh total mineral pangan. Yeung Laquarta 2003 menyebutkan total zat besi tersedia akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan total zat besi. Penambahan tepung torbangun dapat dikatakan bermanfaat dalam meningkatkan total zat besi maupun kalsium cookies PGT. Kandungan zat besi cookies kontrol hanya 2.00 mg100 g, sedangkan cookies PGT sebesar 4.26 mg100g. Begitupun dengan konsumsi cookies PGT dengan susu, dapat meningkatkan total zat besi campuran. Kandungan zat besi susu mencapai 3,70 mg100g, sehingga total zat besi campuran cookies PGT + susu mencapai 7,46 mg100g. Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 8 diketahui total zat besi tersedia dipengaruhi oleh jenis campuran secara signifikan p0.05. Uji lanjut Duncan Lampiran 9F juga memperlihatkan total zat besi campuran cookies kontrol + susu, cookies PGT + susu dan cookies PGT yang tidak ditambah minuman pencampur berbeda signifikan p0,05 dengan total zat besi campuran lain. Meskipun demikian total zat besi tersedia ketiganya tidak berbeda signifikan satu sama lain. Total zat besi tersedia per takaran saji memiliki pola yang sama persis dengan total zat besi tersedia mg100 g. WKNPG 2004 menetapkan AKG zat besi bagi wanita dewasa adalah 26 mghari. Kontribusi AKG tertinggi terdapat pada campuran cookies PGT + susu dengan persentase 1,41. Campuran yang memberi kontribusi AKG terendah adalah campuran cookies kontrol + teh dengan persentase 0,52. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Cookies PGT mengandung energi 527 Kal dengan kadar air 3,70 bb, kadar abu 1,84 bk, kadar protein 10,52 bk, kadar lemak 23,64 bk, kadar karbohidrat 64,14 bk, serat makanan 5,19 bk, kadar kalsium 405,18 mg100g, kadar besi 3,76 mg100g, kadar fosfor 30,08 mg100g, kadar zinc 0,81 mg100g dan kadar vitamin C 1,04 mg100g. Minuman dengan kadar air tertinggi adalah AMDK 99,35 bb. Adapun kadar kadar abu, protein, lemak, dan serat makanan tertinggi terdapat pada susu dengan kadar berturut-turut 2,80 bk, 5,78 bk, 1,63 bk dan 3,44 bk. Kadar kalsium 61,93 mg100g, zat besi 3,70 mg100g, zink 1,46 mg100g, dan fosfor 21,56 mg100g tertinggi juga terdapat pada susu. Vitamin C tertinggi terdapat pada air kopi dengan kadar 7,92 mg100g. Rata-rata bioavailabilitas kalsium campuran berada dalam rentang 0,76 campuran cookies PGT + teh - 11,46 campuran cookies kontrol + susu. Sementara itu, rata-rata bioavailabilitas zat besi berkisar antara 0,92 campuran cookies PGT + teh - 5,95 campuran cookies kontrol. Analisis sidik ragam menunjukkan jenis campuran berkorelasi signifikan p0.05 terhadap bioavailabilitas kalsium maupun zat besi. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson diketahui kadar protein berpengaruh positifsinergis +0,644 secara signifikan p0,01 terhadap bioavailabilitas kalsium. Adapun bioavailabilitas zat besi berhubungan negatifantagonis -0,743 secara signifikan p0,01 dengan total zat besi. Total kalsium dan zat besi tersedia menunjukkan jumlah zat besi yang dapat diserap oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total zat besi serta bioavailabilitasnya. Total kalsium yang tersedia pada campuran berkisar antara 3,19 mg100g campuran cookies PGT + teh - 41,77 mg100g campuran cookies PGT + susu. Total zat besi tersedia campuran berkisar antara 0,056 mg100 g campuran cookies kontrol + teh - 0,153 mg100 g campuran cookies PGT + susu. Yeung Laquarta 2003 menyebutkan total kalsium dan zat besi tersedia akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan total kalsium dan zat besi. Penambahan tepung torbangun dapat dikatakan bermanfaat dalam meningkatkan total kalsium maupun zat besi cookies PGT. Begitupun dengan penambahan susu pada campuran. Saran Jenis kombinasi berpengaruh nyata terhadap bioavailabilitas kalsium dan zat besi secara signifikan. Oleh karena itu, jenis minuman yang dianjurkan untuk dikombinasi atau dikonsumsi bersama cookies PGT adalah susu. Sebaliknya, cookies PGT sebaiknya tidak dikonsumsi bersamaan dengan teh dan kopi. Selain itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai interaksi yang lebih kompleks dari faktor-faktor yang menghambat bioavailabilitas kalsium dan zat besi cookies PGT seperti tanin, oksalat, dan fitat. Perlu diuji pula mengenai pengaruh kombinasi minuman sari buah terhadap bioavailabilitas campuran cookies PGT. DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. Ed ke-14. AOAC inc, Airlington. Allen LH. 1982. Calcium bioavailability and absorption: a review. Am J Clin Nutr ;35:738-808. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anderson JJB. 2004. Minerals. Di dalam : Mahan K, Stump SE. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 11th edition. Philadelphia : Saunders. Hlm 120 – 128. Anwar F dan Khomsan A. 2009. Makan Tepat, Badan sehat. Jakarta : PT Mizan Publika. Apriantono A. Fardiaz D, Puspitasari NL, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Appriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2007. Acuan label gizi produk pangan. www.pom.go.id. [10 November 2010]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01- 2973-1992. Biskuit. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. . 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01- 3753-1995. Teh Hitam Celup. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. . 1998. Standar Nasional Indonesia. SNI 01- 3950-1998. Susu UHT. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. . 1998. Standar Nasional Indonesia. SNI 01- 4446-1998. Kopi Mix. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. . 2006. Standar Nasional Indonesia. SNI 01- 3553-2006. Air Minum Dalam Kemasan. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Berdanier CD. 1998. Advance Nutrition Micronutrient. USA : CRC Press Bisswanger H. 2008. Enzyme Kinetics; Principles and Methods. Weinheim : Wiley-VCH. Bredbenner CB, Beshgetoor D, Moe G, Berning J, editor. 2007. Wardlaw’s Perspective in Nutrition. Ed ke-8. New York: McGraw Hill. Broody T. 1999. Nutritional Biochemistry. New York: Academic press. Ciptadi, W. dan Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi, Institut Pertanian Bogor. Charney P. 2008. Water, electrolytes, and acid-base balance. Clarke, R. J. And Macrae, R. 1987. Coffe Chemestry Volume 1. Elsevier Applied Science, London And New York. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. _______ __ . 2010. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan. Damanik et al. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves Coleus amboinicus Lour to increase breast milk production among Batakneese women in North Sumatra Island, Indonesia. Proceedings of the Nutrition Society of Australia: 25. ___________. 2001. Tradisi Sukubangsa Batak Simalungun Mengkonsumsi Daun Bangun-Bangun Coleus amboinicus Lour untuk Meningkatkan Produksi ASI Dalam L Nuraida dan RD Hariyadi Eds. Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional dan Suplemen hal 1-6. Bogor: Pusat kajian makanan Tradisional IPB. ___________. 2005. Effect of consumption of torbangun soup Coleus amboinicus Lour on Micronutrient intake of the Bataknese Lactating women. Media Gizi dan Keluarga. Vol 29 No.1. Damayanthi E dan Rimbawan. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Nilai Gizi. [diktat] Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor. DeMan JM. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Garut. http:www.deptan.go.idditjentanadminrbGarut.pdf [12 Juni 2010] [Deperindag] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2009. Roadmap industri pengolahan kopi. Jakarta; Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Etcheverry P, Wallingford JC, Miller DD, Glahn RP. 2004. Calcium, zinc, and iron bioavailabilities from commercial human milik fortifier: a comparison study. J Dairy Sci 87: 3629 – 3637. Fairbanks VF. 1999. Iron in Medecine and Nutrition. Dalam Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross AC eds. Modern Nutrition in Health and Disease 9th ed hlm 194-201. Baltimore USA : Williams Walkins. Faridah A. 2008. Patiseri. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism 4 th edition. USA: Wadsworth. Gueguen L dan Pointillart. 2000. The bioavailability of dietary calcium. Journal of America College of Nutrition, 19 90002, 119-136 Hambracus. 1999. Dalam Anonimus Ed.. Iron. http:www.nucycletherapy.com. Hallberg L. 1988. Besi. Dalam Minerl Olson RE, Broquist HP, Chicester CO, Darby AC, Kolbye Jr, dan Stalvey RM Ed. hlm. 74-92. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Handoko DD, Soekarto ST, Sugiyono. 2004. Karakterisasi Dekstrin Pati Garut Maranta arundinaceae pada Berbagai Tingkat Hidrolisis. http:iirc.ipb.ac.idjspuibitstream123456789259261prosiding_seminar_ teknologi_inovatif_pascapanen-8.pdf [12 Juni 2010] Hartoyo, A. 2003. Teh Dan Khasiatnya Bagi Kesehatan. Penerbit Kanisius. Jakarta. Heaney RP. 2001. Factor influencing the measurement of bioavailability, taking calcium as a model. The Journal of Nutrition ; 0022-3166 01 _______. 2002. Protein and calcium: antagonists or synergists?. Am J Clin Nutr ;75:609 –10. Hurrel RF, Lynch SR, Trinidad TP, Dassenko dan Cook DJ. 1988. Iron absorption in human : bovine serum albumin compared with beef muscule and egg white. Am. J. Clin. Nutr. 47 : 102-7 Herminiati A. 2005. Pengembangan Biskuit dari Campuran Dekstrin Garut dan Tepung Pisang untuk Terapi Gizi Tikus Penderita Autis. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kamchan A. 2003. In vitro bioavailability of calcium and the presence of some inhibitory factors in vegetables, legumes, and seeds. [tesis]. Bangkok; Madihol University Kurniasih A, Hilmansyah H, Astuti P, dan Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Ink SL.1988. Fiber-Mineral and Fiber-Vitamin Interactions. Di dalam: Bodwell CE, Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 253-255. Irawan H. 2008. Top brand index. http:www.scribd.comdoc31128056Pemanfaatan-Pati-Ubi-Kayu-Dalam- berbagai-Industri?secret_password=autodown=pdf [12 Juni 2010] Kay DE. 1973. Root crops, The Tropical Product. London: Institute, Foreign, and Common Wealth Office. Lewis NM, Marcus MSK, Behling AR, Greger JL. 1989. Calcium supplements and milk: effect on acid-base balance and on retention of calcium, magnesium, and phosphorus. Am J Clin Nut 49 : 527-33. Latunde-Dada GO dan Neale RJ. 1986. Review: Availability of Iron fro, Foods. Journal of Food Technology, 21, 255-268. Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminnudin Parakkasi, penerjemah. Jakarta: UI press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Lingga P, Sarwono B, Rahardi F, Rahardja PC, Anfiastini JJ, Rini W, Apriadji WH. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta: Penebar Swadaya. Mahmud et al. 2009.Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo. Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies 3 th edition. New York: Woodhead Publishing. Marliyati SA. 1995. Pengaruh pengeringan terhadap kadar senyawa antinutrisi yang mempengaruhi ketersediaan zat besi serta fortifikasi zat besi pada rempah-rempah. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Martin DW, Mayes PA, Rodwell VW, dan Granner DK. 1987. Biokimia Penerjemah : I Darmawan. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Miller DD. 1996. Minerals. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York : Macel Dekker, Inc. Hlm 617 - 649 Monsen ER. 1988. Iron Nutrition and Absorbtion : Dietary Factor Which Impact Iron Bioavailability di dalam Dietetics in 90‘ Role of The DietitionNutritionist. London-Paris : John Liberty Eurotext. Muchtadi TR. 1989. Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi : Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Sinar Harapan. Marliati SA, Sulaeman A, dan Anwar F. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Muhilal F, Jalal dan Hardinsyah. 1998. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Dalam Winarno FG Ed., Prosiding Widya Karya Pangan dan Gizi VI hlm. 95-962. Jakarta : LIPI [NHEI] Native Habitat Ethnobotanicals Inc. 2005. Coleus amboinicus. London: NHEI. [terhubung berkala]. http:www.native habitat.com coleus [6 Maret 2011]. Nur MA, Rukmini HS, Adijuwana H. 1989. Teknik Labolatorium untuk Bidang Biologi dan Kimia. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB Oberleas D. 1971. The determination of phytat and inositol phosphate. Methods Biochem. Anal 20, 87. O‘dell BL. 1997. Mineral-Ion interaction as assessed by biavailability and iron channel function. Dalam Handbook of Nutritionally Essential Mineral Elements O‘dell BL dan Sunde RA Ed.. New York : Marcell Dakker Omtatok M.2009. Bulung Torbangun. http:halibitonganomtatok.wordpress.com. [2 April 2009]. Paul I, Turner RE Ross D. 2004. Nutrition. New York : Jones and Barlett Publishers. Poerwadi R. 2011. Salah olah teh, bisa- bisa hanya ‗numpang lewat‘ di tubuh. http:36436-salah-olah-teh-bisa-bisa-hanya-qnumpang-lewatq-di- tubuh.html. [ 22 Maret 2011]. Popkin BM, Armstrong LE, Bray GM, Cahallero B, Frei B, dan Willen WC. 2006. A new proposed guidance system for baverage consumption in the United States. Am J Clin Nutr 2006:83:529-42 Purwawinangsih EF. 2011. Ketersediaan Biologis Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo Clarias gariepinus. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspita ID. 2003. Bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada susu bubuk yang diberi klaim high calsium dengan penambahan serat dan tanpa penambahan serat yang beredar di pasaran. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspitasari SP. 2003. Pengaruh pemasakan terhadap bioavailabilitas zat besi sayur santan daun bangun-bangun Plectranthus amboinicus Lour. Spreng. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman A, Fardiaz S, Rahaju WP, Suliantri, dan Nurwitri CC. 1992. Teknelogi Fermentasi Susu. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Rapuri PB, Gallagher JC, Kinyamu HK, Ryschon KL. Caffeine intake increases the rate of bone loss in elderly women and interacts with vitamin D receptor genotypes. Am J Clin Nutr 2001;74; 694 –700. Massey LK. 2001. Is caffeine a risk factor for bone loss in the elderly?. Am J Clin Nutr 2001;74:569 –70 Rajagukguk LM. 2004. Bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada produk sereal sarapan komersial yang difortifikasi kalsium. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reiser.1988. Carbohydrate-Mineral Interactions. Di dalam: Bodwell CE, Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 244- 245. Roig MJ, Alegria A, Barbera R, Farre R, Lagarda MJ. 1999. Calcium bioavailability in human milk, cow milk and infant formulas —comparison between dialysis and solubility methods. Food Chem 65: 353 – 357 Rolfes SR dan Whitney E. 2008. Understanding Nutrition 11 th Ed. Belmont USA : Thomson Higher Education Learning Inc. Rumetor SD. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun Coleus amboinicus Lour dan zinc-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksiI susu kambing peranakan etawah. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Safitri RN. 2003. Bioavailabilitas mineral kalsium Ca secara in vitro pada beberapa sayuran hijau dan hasil olahannya. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Santosa CM. 2001. Khasiat konsumsi daun bangun-bangun Coleus ambonicius Lour sebagai pelancar sekresi air susu ibu menyusui dan pemacu pertumbuhan bayi. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Savithramma N, CH Sulochana, KN Rao. 2007. Ethnobotanical survey of plants used to treat asthma in Andhra Pradesh India. Journal of Ethnopharmacology 113: 54-61. Schuette SA dan Linkswiler HM. 1988. Kalsium. Dalam Olson Re, Bruquist HP, Chichester CO, Darby WJ, Kolbye AC, Stalvey RM Eds, Pengetahun Gizi Mutakhir Mineral. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama Soediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi I. Jakarta : PT. Dian rakyat Stephenson J. 2001. Fruit extract for PMS. Journal American Medical Association 285: 6 Stipanuk MH. 1995. Biochemical and Physiological Aspect of Human Nutrition. USA : W.B. Saunders Company. Sudarmadji, S, Haryono, B., Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Sudharma E. 1995. Evaluasi ketersedian mineral besi dan seng, iodium serta vitamin B12 dalam produk fermentasi susu kacang merah Phaseolus vulgaris L dan kacang tolo Vigna unguculata L. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Suhardjo Kusharto CM. 1992. Prinsip – prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius. Tensiska. 2008. Serat makanan [makalah]. Bandung: Jurusan Teknologi Industri Pangan. Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran. Towers PA, Harden TJ, Nichol AW, Halley S. 1997. The role of milk in human health an australian perspective. Nutrition Today, Vol 32, No.5, SeptemberOktober. Weaver CM dan Heaney RP.2007. Calcium. Di dalam: Shils EM, Olson JA, editor. Modern Nutrition in Health and Diseases. New York: Lippincott Williams and Wilkins. hlm 194-210. William MH. 1995. Nutrition for Fitness and Sport 4 th Edition. USA : Brown Benchmark Publisher Wilson ED, Fisher KH, Garcia PA. 1979. Principles of Nutrition 4 th Ed. New York : John Wiley Sons. Winarno FG.. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. Bogor: M-Brio Press. LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Analisis Kandungan Gizi Cookies A. Kandungan gross energy Tabel 16 Kandungan gross energy cookies kontrol dan cookies PGT Kode sampel Ulangan Energi Rataan KU 1 527 528 2 528 TU 1 529 527 2 525 B. Kandungan air Tabel 17 Kandungan air cookies kontrol dan cookies PGT Kode Sampel Berat Berat cawan g Cawan + sampel g Berat akhir g Berat sampel kering g Berat hilang g Dry base Wet base sampel KU1 3,028 6,3978 9,4258 9,2972 2,89935 0,12865 4,44 4,25 KU2 3,0515 5,6788 8,7303 8,6051 2,9263 0,1252 4,28 4,10 TU1 3,0206 5,6339 8,6544 8,5306 2,8968 0,1238 4,27 4,10 TU2 3,0810 6,7159 9,7969 9,6951 2,9792 0,1018 3,42 3,30 C. Kandungan abu Tabel 18 Kandungan abu cookies kontrol dan cookies PGT Kode sampe l Berat sampel g B.cawan awal g B cawan akhir g B. Abu g abu Berat kering Abu bk Rata- rata KU1 3,0366 33,7641 33,7931 0,0290 0,96 4,44 1,00 1,00 KU2 3,0389 24,8593 24,88895 0,0297 0,98 4,80 1,02 1,02 TU1 3,0938 21,2757 21,33085 0,0552 1,78 4,29 1,86 1,86 TU2 3,0475 21,9660 22,0196 0,0536 1,76 3,42 1,82 1,82 D. Kandungan protein Tabel 19 Kandungan protein cookies kontrol dan cookies PGT Kode sampel Berat sampel N HCl Vol. Titrasi Protein Bahan kering Protein g mL bb bk KU1 0,1494 0,0979 1,65 9,46 4,46 9,90 KU2 0,1204 0,0979 1,1 7,83 4,80 8,22 TU1 0,1000 0,0979 1,2 10,28 4,26 10,74 TU2 0,1378 0,0979 1,6 9,95 3,39 10,30 E. Kandungan lemak Tabel 20 Kandungan lemak cookies kontrol dan cookies PGT Kode sampel Berat B. labu awal B.labu akhir B. lemak lemak Berat kering Lemak bk