menstimulasi osteoclast untuk melepaskan kalsium tulang ke dalam plasma. Sebaliknya, jika kadar kalsium dalam darah meningkat kelenjar tiroid akan
terstimulasi untuk mengeluarkan hormon kalsitosin. Hormon kalsitosin akan menghambat aktivasi vitamin D, mencegah reabsorpsi kalsium pada ginjal,
membatasi absorpsi kalsium pada saluran cerna, serta menghambat pelepasan kalsium tulang oleh osteoclast Rolfes Whitney 2008.
Almatsier 2006 menambahkan, kalsium tulang tersebar di pool cadangan yang relatif tidak berubahstabil dan pool yang cepat dapat berubah.
Pool kalsium yang dapat cepat berubahlah terlibat dalam mekanisme homeostatis kalsium plasma. Cadangan kalsium tulang terutama disimpan pada
bagian ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada masa
pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui. Menurut Martin et al. 1987, kalsium yang diabsorpsi akan diekskresikan
melalui beberapa jalan. Sebagian besar kalsium disekresikan ke dalam lumen usus dan hampir semuanya hilang dalam feses. Ginjal mengekskresikan kalsium
bila kadar kalsium plasma di atas 7 mg100mL dan hanya sejumlah kecil kalsium diekskresikan melalui keringat. Weavey Heaney 2008 menambahkan, jumlah
kalsium yang diekskresikan melaui urin setiap hari berkisar antara 100-200 mg, adapun melalui feses 100-120 mg dan 16-24 mg melalui keringat.
C. Kebutuhan kalsium
Menurut Winarno 2008, keperluan kalsium dalam tubuh biasanya dihitung berdasarkan keseimbangan kalsium dimana cara perhitungannya
hampir sama dengan cara menghitung keseimbangan nitrogen. Meskipun demikian menurut Muhilal, Jalal Hardinsyah 1998, kecukupan kalsium untuk
Indonesia lebih rendah daripada yang dianjurkan di berbagai negara industri, dengan pertimbangan bahwa perbandingan Ca dan P hidangan serta konsumsi
protein umumnya rendah. Berdasarkan WKNPG 2004, ditetapkan angka kecukupan kalsium
remaja 10 - 18 tahun dan dewasa 19 – 65+ tahun, baik pria maupun wanita,
berturut-turut adalah 1000 mghari dan 800 mghari. Ibu hamil maupun menyusui membutuhan tambahan asupan kalsium sebanyak 150 mghari. Konsumsi
kalsium sebesar 200-400 mghari menyebabkan keseimbangan kalsium tubuh menjadi negatif, sedangkan konsumsi 500-800 mghari dapat menyebakan
keseimbangan normal dan cenderung positif.
Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yoghurt. Pangan sumber
kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi
kalsium seperti sereal dan jus buah Bredbenner et al. 2007.
D. Kekurangan dan Kelebihan kalsium
Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium.
Defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan
kejadian kejang tetani, hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih Gropper et al. 2005.
Osteoporosis terjadi akibat aktifitas osteoklas yang berlanjut dan tidak diimbangi dengan aktifitas osteoblast sehingga resorpsi kalsium tulang lebih
besar daripada formasi kalsium tulang. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria karena wanita mengalami penurunan estrogen yang
membantu penyerapan kalsium pada plasma darah khususnya pada masa manopause. Selain itu orang kulit putih kaukasia dan asia lebih beresiko
mengalami osteoporosis daripada orang kulit berwarna Afrika karena massa tulangnya lebih kecil. Osteoporosis juga lebih banyak terjadi pada perokok dan
peminum alkohol Almatsier 2006; Brody 1999. Kondisi di mana kadar kalsium plasma berada di bawah kisaran normal
9-10 mg100 mL disebut hypokalsemia. Hypokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang karena kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap
rangsangan meningkat. Sebaliknya, konsumsi kalsium lebih dari 2500 mg sehari berpotensi menyebabkan hyperkalsemia yang selanjutnya dapat menyebabkan
hyperkalsuria kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mghari. Hyperkalsuria dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Disamping
itu dapat juga menyebabkan konstipasi kesulitan buang air besar. Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami, umumnya terjadi karena
mengkansumsi suplemen kalsium secara terus menerus Almatsier 2006; Brody 1999.
Bioavailabilitas Kalsium
Tidak semua kalsium dalam bahan pangan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya bioavailabilitas.
Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi Miller
1996. Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium,
yakni secara in vitro ataupun in vivo. Metode in vivo mengukur mengukur absorpsi zat gizi pada manusia atau hewan. Adapun metode in vitro merupakan
simulasi proses pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal dalam kondisi tetap Roig et al. 1998. Prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in
vitro adalah teknis dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan untuk memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil
berdasarkan sifat membran semi permeabel yang meloloskan molekul kecil namun menahan molekul besar Nur et al. 1989. Molekul kecil berpindah secara
difusi, dimana terdapat suatu bagian larutan yang memiiki konsentrasi lebih tinggi sehingga terjadi perpindahan molekul kecil dari daerah berkonsentrasi tinggi ke
daerah berkonsentrasi rendah Gaman Sherrington 1992. Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang
mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan metode in vivo Gueguen Pointillart
2000. Hal ini dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah
protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat
dua enzim dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar
mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in
vitro Wilson et al. 1979. Meskipun demikian metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah
Damayanthi Rimbawan 2008. Metode in vitro juga memungkinkan pengontroloan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi
keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo Sudharma 1995. Secara umum bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
faktor interinsik dan eksterinsik. Faktor interinsik berkaitan dengan keadaan fisiologis individu seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, genetik, status
gizi, efisiensi absorbansi dan interaksi zat gizi dalam tubuh. Adapun faktor
eksterinsik berkaitan dengan keadaan makanan seperti perlakuan pengolahan dan pemasakan, daya cerna makanan, keanekaragaman pangan, kelarutan zat
gizi, interaksi sinergisme dan antagonisme dengan zat gizi lain dalam makanan yang berpengaruh pada penyerapan O‘dell 1997; Potter Hotckiss 1995; WHO
1996 dalam Rajagukguk 2004.
Allen 1982 menyebutkan, komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan serat, fitat,
dan oksalat, laktosa, dan lemak. Lebih lanjut Gropper et al. 2005 menambahkan, keberadaan kation divalen bervalensi dua juga dapat
mengurangi absorpsi kalsium. Berikut adalah penjelasan masing-masing komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium.
A. Fosfor