Perbandingan Perilaku Bersarang Karakteristik Pohon Sarang
66 Tabel 4.10 Persentase jumlah sarang berdasarkan tipe sarang dan kelas fokal di
KP Batubara KPB dan Prevab TN Kutai Kelas fokal
New nest Reusedrepaired nest
KPB Prevab
KPB Prevab
FM 33.33
71.43 66.67
28.57 UFM
66.67 100.00
33.33 0.00
AF 68.33
85.71 31.67
14.29 Adol
50.00 60.00
50.00 40.00
Keseluruhan 64.47
83.61 35.53
16.39 Hasil pengamatan di KP Batubara menunjukkan bahwa jumlah sarang
yang tidak terlindung tajuk pohon mencapai 82.67, sedangkan jumlah sarang yang terlindung tajuk hanya 17.33 dari total jumlah sarang yang dibangun
orangutan. Data tentang proteksi sarang oleh tajuk pohon di kawasan Prevab TN Kutai tidak tersedia, sebagai pembanding digunakan data hasil penelitian
Niningsih 2009.
Gambar 4.20 Frekuensi pemilihan posisi sarang oleh orangutan di KP Batubara N=74 sarang dan di Prevab TN Kutai N=120 sarang
4.4 Pembahasan 4.4.1 Perbandingan Pola Aktivitas Harian
Waktu Mulai Aktif dan Lama Aktif
Studi ini menemukan bahwa orangutan yang hidup di KP Batubara rata-rata memulai aktivitas hariannya lebih telatsiang ±1.5 jam dibandingkan dengan
orangutan yang hidup di habitat alami Prevab TN Kutai. Keterlambatan dalam memulai aktivitas harian berarti orangutan di KP Batubara menghabiskan lebih
banyak waktu untuk beristirahat di dalam sarang malam dibandingkan dengan orangutan yang hidup di habitat alami Prevab TN Kutai 14 jam 24 menit vs 13
jam 2 menit.
Posisi I: 4,05
Posisi II: 27,03
Posisi III: 63,51
Posisi IV: 5,41
Posisi I: 11,67
Posisi II: 51,67
Posisi III: 36,67
Prevab KP batubara
67 Morrogh-Bernard et al. 2009 telah membandingkan perilaku harian
orangutan liar dari 10 situs penelitian berbeda dan menemukan bahwa orangutan di sebagian besar situs memulai aktivitas hariannya saat matahari terbit, meskipun
ada juga yang memulai aktivitasnya 0.5-1.5 jam setelah matahari terbit seperti di Ulu Segama, Danum Valley dan Kinabatangan. Mereka menyimpulkan bahwa
perbedaan habitat dan faktor makanan ketersediaan, kualitas, kuantitas merupakan faktor penting yang menentukan lama aktif dan waktu orangutan
memulai aktivitas hariannya. Disamping itu, perbedaan lama aktif pada orangutan dapat dipengaruhi oleh kelas umur dan jenis kelamin, ketersediaan pakan, dan
waktu yang dihabiskan untuk bersosialisasi.
Perubahan habitat dan aktivitas manusia di KP Batubara menjelaskan kenapa orangutan di KP Batubara terlambat memulai aktivitasnya dibandingkan
dengan orangutan di berbagai lokasi penelitian lainnya. Kegiatan penambangan batubara dengan sistem terbuka open pit mining telah menyebabkan terciptanya
ekosistem baru yang berbeda dengan habitat alami, antara lain terjadinya perubahan biofisik lingkungan serta kehadiran manusia dalam jumlah yang lebih
banyak dan intensitas yang lebih sering daripada sebelumnya. Pola aktivitas manusia di KP Batubara yang relatif sama dan berulang setiap hari dalam jangka
waktu yang lama tampaknya telah membuat orangutan yang hidup disana belajar dan mengingat pola tersebut sehingga beradaptasi dengan cara mengubah waktu
mulai aktif mereka menjadi lebih siang, setelah waktu jemput-antar karyawan berakhir. Pukul 05.00 wita sampai dengan pukul 08.00 wita merupakan waktu lalu
lintas paling sibuk di KP Batubara untuk mobilitas karyawan perusahaan dan kontraktor. Selain faktor aktivitas rutin karyawan di KP Batubara, dugaan lain
penyebab orangutan terlambat bangun dan beristirahat lebih lama di sarang malam adalah faktor makanan. Menu utama orangutan di KP Batubara bukanlah buah-
buahan berdaging lunak yang mudah dicerna sebagaimana saudaranya di habitat alami Prevab TN Kutai, melainkan terdiri dari kulit, biji-bijian dari suku Fabaceae
dan daun yang membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk mencernanya. Morrogh-Bernard et al. 2009 mengemukakan bahwa peningkatan komponen
berserat pada diet orangutan meningkatkan waktu yang dibutuhkan oleh orangutan untuk mencerna makanan.
Konsekuensi dari banyaknya waktu yang digunakan oleh orangutan di KP Batubara untuk beristirahat dalam sarang malam adalah menjadi berkurangnya
waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas harian. Hasil studi ini menunjukkan bahwa rata-rata periode aktif harian orangutan di KP Batubara lebih
pendek dibandingkan dengan orangutan di Prevab, hal ini menguatkan dugaan bahwa keterlambatan orangutan memulai aktivitas hariannya berpengaruh secara
langsung terhadap rata-rata lama aktif orangutan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelas fokal tidak berpengaruh terhadap lama aktif orangutan di KP
Batubara maupun di habitat alami, namun pengaruh waktu yang dihabiskan untuk bersosialisasi terhadap lama aktif orangutan di KP Batubara masih memerlukan
kajian lebih lanjut.
Time Budget
Secara umum orangutan di Prevab TN Kutai dan orangutan di KP Batubara menggunakan sebagian besar waktu hariannya untuk aktivitas makan. Hasil ini
mirip dengan orangutan di berbagai habitat alami lainnya yang menghabiskan
68 lebih banyak waktu hariannya untuk aktivitas makan. Orangutan di Danum Valley
mengalokasikan ±47.2 waktunya untuk aktivitas makan Kanamori et al. 2010, di Ketambe sebesar ±62 Hardus et al. 2012, di Suaq Belimbing sebesar 55
Fox et al. 2004. Menurut Djojosudharmo 1978, orangutan liar di Ketambe rata-rata lama aktivitas makannya berkisar antara 4.6 hingga 7.6 jam setiap hari.
FM dan AF menunjukkan respon yang berbeda dalam pola aktivitas harian terhadap kondisi habitat di KP Batubara. FM mengalokasikan lebih banyak waktu
untuk makan dan bergerak dengan waktu istirahat yang sedikit. Sebaliknya, AF di KP Batubara mengalokasikan lebih banyak waktu untuk istirahat serta
mengalokasikan lebih sedikit waktu untuk makan dan bergerak dibandingkan AF di Prevab TN Kutai. Perbedaan alokasi penggunaan waktu untuk beraktivitas
diantara kelas fokal orangutan menunjukkan adanya strategi berbeda dalam menanggapi perubahan karakteristik habitat, terutama mungkin terkait dengan
kelimpahan dan distribusi pakan.
AF di KP Batubara terlihat jelas lebih memilih menghemat energi dengan banyak beristirahat daripada terus bergerak demi pakan yang kualitasnya kurang
lebih sama. ARKPB batubara memiliki komposisi vegetasi yang cenderung seragam, jenis buah-buahan yang merupakan pakan utama orangutan di habitat
alami sangat langka di KP Batubara atau bahkan tidak tersedia sama sekali. Pemilihan strategi ini diduga juga didukung oleh status reproduksi keenam betina
yang diobservasi, yang memiliki status reproduksi memiliki anak dan atau bayi, yaitu: 2 betina memiliki bayi dan anak Mentari dan Clotalaria, 2 betina dengan
bayi Cassia dan Alstonia, 1 betina dengan anak Jatropa, dan 1 betina dengan anak dan sedang hamil Valerin. FM merespon kelangkaan pakan bergizi di KP
Batubara dengan aktivitas makan dan bergerak yang lebih tinggi, karena FM membutuhkan jumlah kalori yang besar untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuhnya yang besar. Di KP Batubara, makan lebih banyak juga berarti makan lebih lama dan bergerak lebih jauh ke sumber pakan, sehingga akan mengurangi
alokasi waktu untuk beristirahat. Penelitian Hardus et al. 2012 di Ketambe juga menemukan bahwa perubahan habitat karena penebangan dapat mengubah
aktivitas harian orangutan yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk bergerak dan mengurangi alokasi waktu untuk beristirahat.
Perbedaan persentase aktivitas harian antara orangutan bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena proses adaptasi terhadap keadaan lingkungan
sehingga dapat mempengaruhi perilaku dalam beraktivitas Knott 1998. Kedua, karena perbedaan kelimpahan sumber makanan pada daerah jelajah Galdikas
1986. Ketiga, karena pengaruh status reproduksi pada orangutan betina Delgado dan van Schaik 2000. Proses adaptasi terhadap lingkungan dan perbedaan
kelimpahan sumber makanan merupakan dua hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan pola aktivitas harian orangutan yang hidup di KP
Batubara dengan orangutan di Prevab TN Kutai maupun dengan orangutan di berbagai habitat alami lainnya. Secara umum orangutan di KP Batubara
mengalokasikan lebih banyak waktu untuk istirahat serta lebih sedikit waktu untuk makan dibandingkan dengan orangutan di Prevab TN Kutai, kecuali pada
jantan berpipi.
Model optimalitas yang menganggap trade-off antara biaya dan manfaat dalam keputusan mencari makan Dunbar 2002, menunjukkan bahwa orangutan
akan menanggapi kekurangan ketersediaan pakan, baik dengan memperluas diet
69 mereka dengan cara menambahkan makanan berkualitas rendah atau dengan
perjalanan lebih lanjut untuk mendapatkan makanan yang lebih disukai. Morrogh- Bernard et al. 2009 mengemukakan bahwa ada dua foraging strategi dari
orangutan, tergantung pada habitat di mana mereka tinggal: 1 sit and wait, menghemat energi dengan beristirahat dan mencerna makanan berkualitas rendah
sebanyak mungkin selama periode buah yang rendah dan menunggu waktu ketersediaan buah tinggi; 2 search and find, secara kontinu makan dan bergerak
mencari makanan, untuk menjaga kebutuhan metabolisme sehari-hari. Selanjutnya dikemukakan bahwa strategi ke-dua berlaku untuk orangutan yang tinggal di
hutan di mana ketersediaan buah lebih teratur tetapi dengan kualitas lebih rendah, misalnya hutan rawa gambut di Sabangau dan Suaq Balimbing.
Pemanfaatan Ruang Vertikal
Struktur vertikal dan horizontal tegakan hutan di KP Batubara dan di Prevab adalah salah satu faktor yang dapat menjelaskan kenapa terdapat perbedaan
pemanfaatan ruang vertikal oleh orangutan untuk beraktivitas. Hasil studi ini menunjukkan bahwa struktur tegakan hutan secara langsung dapat mempengaruhi
ketinggian orangutan beraktivitas. Tegakan hutan di KP Batubara disusun oleh pohon-pohon yang cenderung sejenis dan seumur, sehingga berada dalam kisaran
tinggi yang tidak terlalu jauh berbeda. Orangutan yang hidup di KP Batubara lebih banyak beraktivitas di lower canopy ketinggian 1-10 m, karena: i pada
ketinggian tersebut tajuk hutan lebih kontinu berkesinambungan dibandingkan dengan ketinggian lain; ii sebagian besar cabang dan ranting pohon yang cukup
kuat untuk menyanggah bobot tubuh orangutan berada dalam kisaran tinggi tersebut. Pengaruh perubahan struktur tegakan hutan terhadap ketinggian
orangutan beraktivitas juga telah pernah diteliti oleh Hardus et al. 2012 yang menunjukkan bahwa di hutan bekas tebangan, aktivitas orangutan pada ketinggian
0-20 m meningkat dan aktivitas pada ketinggian 20 m menurun jika dibandingkan dengan di hutan primer sebelum kegiatan penebangan.
Secara umum, orangutan di Prevab paling banyak menghabiskan waktu pada ketinggian 10-20 m middle canopy. Hasil studi ini mirip dengan hasil
beberapa studi lainnya yang menunjukkan bahwa walaupun terdapat pohon-pohon besar yang tinggi di hutan primer atau sekunder tua, orangutan lebih banyak
beraktivitas pada ketinggian 20 m. Misalnya hasil penelitian Campbell 1992, rata-rata ketinggian orangutan bergerak pada tajuk di Mentoko TN Kutai adalah
15 m.
FM beraktivitas di permukaan tanah dan lower canopy dalam proporsi waktu yang paling tinggi untuk ketiga jenis aktivitas. Beberapa hal diduga dapat
menjadi penyebab perilaku tersebut. Pertama, pohon-pohon di KP Batubara berukuran kecil dan tidak cukup kuat untuk menyanggah bobot tubuh FM,
sehingga beraktivitas pada permukaan tanah dan lower canopy dapat mengurangi risiko cidera akibat terjatuh dari pohon Ashbury et. al 2015. Kedua, FM di KP
Batubara memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di permukaan tanah dan lower canopy sebagai kompensasi atas keterbatasannya menjangkau makanan di tajuk
tengah dan atas. Jantan berpipi sering terlihat memakan kulit dari pohon muda sengon Falcataria moluccana dan kaliandra Caliandra sp. pada lower canopy.
Jantan berpipi sering terlihat memakaan daun muda dari Calopogonium caeruleum, Centrosema acutifolium, dan Centrosema pubescens yang banyak
70 tersebar di lantai hutan. Ketiga, tajuk hutan di ARKPB tidak kontinu sehingga
beraktivitas pada tajuk hutan menjadi tidak efisien, terutama untuk aktivitas bergerak Morrogh-Bernard et al. 2009.
Aktivitas terrestrial orangutan di KP Batubara terjadi pada semua kelas fokal, sedangkan di Prevab hanya pada jantan dewasa. Orangutan betina dan
remaja di habitat alami tidak pernah teramati turun ke tanah, hal tersebut diduga karena mereka menjaga jarak aman dengan pengamat Loken et al. 2013.
Ancrenaz et al. 2014b menggunakan camera trap untuk mengamati aktivitas terestrial pada orangutan, mereka melaporkan bahwa terrestriality terjadi pada
semua kelas umur dan jenis kelamin serta di semua kelas hutan meskipun yang paling umum adalah pada jantan berpipi yang lebih besar dan lebih berat.
Penelitian Ashbury et. al 2015 juga menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa penggunaan tanah adalah bagian dari perilaku alami orangutan kalimantan,
yang mengindikasikan bahwa aktivitas terestrial orangutan juga terjadi pada habitat yang tidak terganggu. Di Tanjung Puting, orangutan menghabiskan waktu
berada di permukaan tanah rata-rata sekitar 12 menit betina sampai dengan 19 menit jantan, kecuali pada jantan dewasa Nick yang menggunakan 40
waktunya berada di tanah Galdikas 1988. Rodman dan Mitani 1987 mengasumsikan bahwa perbedaan penggunaan tajuk pohon antara jantan dan
betina disebabkan oleh ukuran tubuh, dimana orangutan jantan yang berbadan lebih berat lebih sering menggunakan permukaan tanah dibandingkan dengan
orangutan betina. Perilaku orangutan kalimantan ini berbeda dengan orangutan Sumatera yang jarang sekali turun ke tanah karena keberadaan harimau sumatera
Panthera tigris sumatrae, orangutan liar di Ketambe hanya terlihat berada di permukaan tanah apabila mereka akan menyeberangi fragmen-fragmen hutan
yang gundul Rijksen 1978.
Aktivitas terestrial pada orangutan kalimantan memang bukan sesuatu yang baru, terutama pada FM kalimantan yang sering berjalan di tanah sehingga bisa
berjalan lebih cepat dan lebih jauh dibandingkan dengan berjalan melalui pohon Morrogh-Bernard et al. 2009, namun 90 dari pergerakan tetap dilakukan pada
tajuk pohon Rodman 1984. Meskipun aktivitas terrestrial pada FM merupakan perilaku alami, namun aktivitas terrestrial FM tidak pernah ditemukan sebesar di
KP Batubara yang mencapai 49.32 dari waktu hariannya 71 untuk bergerak, 47.8 untuk makan, dan 59.0 untuk istirahat. Hasil analisis Ancrenaz et al.
2014b dapat membantu menjelaskan kenapa aktivitas terestrial orangutan di KP Batubara lebih tinggi daripada orangutan di habitat alami. Menurut Ancrenaz et
al. 2014b, tingkat terrestriality dimodulasi oleh struktur hutan, yang menunjukkan bahwa gangguan tajuk antropogenik karena aktivitas manusia akan
meningkatkan aktivitas terestrial orangutan, meskipun gangguan habitat bukan satu-satunya pemicu perilaku tersebut.
Beberapa hal diduga berkontribusi terhadap tingginya aktivitas terrestrial orangutan di KP Batubara. Pertama, habitat orangutan di KP Batubara
terfragmentasi berat, sehingga untuk bergerak dari satu fragmen ke fragmen lainnya orangutan harus menyeberangi lahan terbuka pitlubang tambang,
jaringan jalan, badan air, dumping area, infrastruktur, tanggul, dan lain-lain. Kedua, tajuk hutan di KP Batubara tidak selalu kontinu, sehingga untuk bergerak
pindah dari pohon ke pohon orangutan harus lebih sering turun ke tanah dibanding di habitat alami. Ketiga, beberapa jenis tumbuhan pakan orangutan ada di